Minggu, 12 Februari 2012

6 Hadis Dha'if tentang Keutamaan Menuntut Ilmu

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Ilmu bagaikan cahaya penerang, terutama bagi siapa saja yang memilikinya. Oleh karena itu menuntut ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, sampai-sampai Allah swt berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu (QS. 59: 11). Al-Baghawi dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang beriman akan diangkat derajatnya karena keutamaan ilmu mereka (Ma’alim al-Tanzil, vol. VIII, hal. 58). Bahkan Syaikh Yusuf Qaradhawi membuat satu bab khusus tentang prioritas ilmu atas amal (awlawiyah al-‘ilmi ‘ala al-‘amal) (Fiqh al-Awlawiyat, hal. 49). Ibnu ‘Abd al-Barr (w. 463 H), seorang ulama yang berasal dari Andalusia juga menyusun kitab khusus yang membahas tentang hakikat dan keutamaan menuntut ilmu. Beliau memberi nama kitabnya dengan nama Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi. Tidak hanya Syaikh Yusuf Qaradhawi dan Ibnu ‘Abd al-Barr yang memberikan semacam perhatian khusus tentang keutamaan ilmu dan menuntut ilmu, ulama lain juga banyak yang memberikan perhatian khusus. Diantaranya adalah penulis buku best seller, La Tahzan,  Dr. ‘Aidh al-Qarni dengan judul kitabnya Kayfa Tathlubu al-‘Ilmi dan Dr. Anas Ahmad Karzun dengan kitabnya yang berjudul Adabu Thalib al-‘Ilmi. Kedua buku tersebut telah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.

Selain al-Qur’an, al-Sunnah juga menerangkan tentang keutamaan menuntut ilmu dan kemulian orang yang berilmu. Namun tidak seperti al-Qur’an yang mutawatir, al-Sunnah banyak riwayat yang lemah (dha’if) yang disandarkan kepada Nabi, bahkan ada sebagian yang palsu (maudhu’). Penyebab munculnya hadis palsu di antaranya adalah sikap fanatik (ta’asshub) terhadap suatu golongan, bahasa, madzhab, atau negeri (Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, hal. 34). Sehingga terkadang muncul hadis-hadis yang mengindikasikan tentang kefanatikan perawi terhadap suatu madzhab yang dipegangnya, golongan atau bahasa tertentu, atau suatu negeri khusus yang disebutkan oleh perawi. Selain itu, ulama hadis juga telah menetapkan beberapa kaidah untuk menetapkan ke-maudhu’-an (kepalsuan) suatu hadis. Salah satu kaidahnya ialah apabila suatu hadis di dalamnya memuat ancaman keras terhadap hal sepele, atau janji besar terhadap perkara ringan (Subhi Shalih, 2009: 245).

Mengenai hadis dha’if, Para ahli hadis bersikap tasyaddud (ketat dan keras) dalam menilainya, terutama terhadap hadis yang menginformasikan tentang halal dan haram. Sehingga mereka hanya menerima hadis yang paling tinggi derajatnya, atau yang biasa disebut dengan istilah ‘sahih’ (Subhi Shalih, 2009: 196). Namun dalam hal-hal  keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal) terjadi perbedaan pendapat. Ada sebagian ulama yang menolak secara mutlak. Ada yang menerimanya tanpa syarat apapun. Dan ada Sebagian lagi menerima hadis dha’if dengan beberapa syarat.

Bagi yang memegang pendapat tentang kebolehan menyampaikan hadis dha’if tentang keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal) – dalam hal ini keutamaan menuntut ilmu – hendaknya menjelaskan kedha’ifannya dan menunjukkan macam kelemahannya (subhi shalih, 2009: 197) sehingga kita terhindar dari kegabahan mengambil hadis yang disandarkan kepada nabi.

Di dalam tulisan ini ada beberapa hadis lemah (dha’if) dan bahkan sebagian di nyatakan palsu (maudhu’) oleh para ulama hadis, yang sering di sampaikan oleh para mubaligh atau sering dijumpai dalam masyarakat.

Hadis Dha’if Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu

1.      Menuntut ilmu sekalipun sampai ke negeri China

حدثنا أَبُو عَاتِكَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَاطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّين

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri China”.

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1543) dan al-Madkhal (vol. I, no. 243), al-Bazzar dalam kitab Musnad (vol. I, no. 95), al-Rubai’ dalam Musnad-nya (no. 18) dalam Bab fi al-‘Ilmi wa Thalabihi wa Fadlihi, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Akhbar Ashbahan (vol. VII, hal. 376), Ibnu ‘Abd al-Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi (vol. I, no. 15 & 16, hal. 25-26), Ibnu ‘Addi dan al-‘Uqaili sebagaimana dinukil oleh al-Suyuthi dalam kitabnya al-Âlî al-Masnu’ah bab Kitab al-‘Ilmi (vol. I, hal. 175) .  Mereka semua meriwayatkan dari Abu ‘Atikah melalui jalur Anas bin Malik secara marfu’ (disandarkan sampai kepada nabi) .

Kedha’ifan hadis ini terletak pada perawi yang bernama Tharif bin Sulaiman Abu ‘Atikah al-Bashari atau al-Kuffi (al-Dhu’afa wa al-Matrukin li Ibn al-Jauzi, vol. II, hal. 63). Menurut an-Nasai dalam kitabnya al-Dhu’afa wa al-Matrukin, ia bukanlah orang yang tsiqah/kredibel (laysa bi tsiqoh) (vol.I, hal. 198), al-Bukhari mengatakan bahwa ia seorang munkar al-hadits (orang yang hadisnya diingkari) (Tahdzib al-Tahdzib, vol. XII, hal. 127). Selain itu Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wa al-Ta’dil mengatakan bahwa ia adalah dzahib al-hadits (orang yang hadisnya hilang) dan dha’if al-hadits (orang yang hadisnya dha’if) (vol. IV, hal. 494). Para kritikus hadis juga telah mendla’ifkannya dalam kitab-kitab mereka; seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Lisan al-Mizan (vol. VII, hal. 251), al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal (vol. II, hal. 335), al-‘Uqaili dalam Dhu’afa al-‘Uqaili (vol. II, hal. 230).

Sesungguhnya para mukharrij mencantumkan hadis ini dalam kitab-kitab mereka dengan tambahan lafal di belakangnya: فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (maka sungguh menunut ilmu itu wajib bagi setiap muslim). Namun yang sering disampaikan oleh para mubaligh atau sering dijumpai hanya sepenggal saja tanpa tambahan lafal tersebut setelahnya.
Walaupun dari segi sanad hadis ini dha’if (lemah), namun bila dilihat dari segi matan nampaknya perspektif Syaikh Abdul Aziz bin Baz sangat baik dalam menjelaskan kandungan matan hadis ini. Beliau berkata: “Seandainya hadis ini shahih, maka tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri China dan penduduknya, karena maksud hadis ini - kalaulah memang shahih - adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, sebab menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting sekali, karena ilmu merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah maksud hadis ini adalah negeri China itu sendiri, tetapi karena China adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi saw menjadikannya sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas sekali bagi orang yang mau memperhatikan hadis ini” (al-Tuhfah al- Karimah fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah,  hal. 60)

2.      Kewajiban menuntut ilmu bagi muslim dan muslimah

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Artinya: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”.

Hadis ini asalnya tidak ada tambahan lafal “wa muslimatin” . Namun yang populer di kalangan masyarakat adalah matan hadis yang disertai dengan tambahan lafal tersebut. Hal ini dikuatkan oleh statement Imam al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah. Beliau berujar “Sebagian penulis telah memasukkan hadis ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ, padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalur hadis sedikitpun” (al-Maqashid al-Hasanah, hal. 442).

Bila matan hadis yang disertai dengan tambahan “wa muslimatin”  itu tidak ada sumbernya, maka matan hadis yang tidak ada tambahan lafal tersebut sangat banyak jalurnya. Sebagian riwayat, seperti yang di-takhrij oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. V, no. 2837) dan al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 6746) yang melalui jalur Anas bin Malik sanadnya didha’ifkan oleh Husain Salim Asad ketika mentahqiq kitab Musnad Abi Ya’la (Musnad Abi Ya’la, vol. V, no. 2837) karena di dalamnya terdapat Hafsh bin Sulaiman al-Asadi yang mendapat jarh (celaan) dari para kritikus hadis (al-Dhu’afa wa al-Matrukin li Ibn al-Jauzi, vol. I, hal. 221, Tahdzib al-Tahdzib, vol.1, hal. 172, dan al-Majruhin, vol. I hal, 255), kemudian riwayat dari Abu Ya’la juga dalam Musnad-nya (vol. V, no. 2903) yang di dalamnya terdapat seorang perawi dari penduduk Syam yang tidak diketahui identitasnya (majhul).

Namun perlu diketahui bahwa jalur hadis yang banyak bisa saling mengangkat derajat suatu hadis yang dha’if menjadi hasan (hasan lighairih) dengan syarat di dalam sanad hadis tersebut tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta dan hadisnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadis yang lebih shahih) (Manhaj al-Naqd, hal. 268). Hal ini juga kiranya yang membuat ahli hadis kontemporer sekelas Nashirudin al-Albani menilai hadis ini sebagai hadis hasan karena menurutnya, ke-dha’ifan hadis ini tidak terlalu parah dan jalur hadisnya sangat banyak sehingga bisa menguatkan satu sama lain (Silsilah al-Ahaditsah al-Dha’ifah, hal. 604).

Riwayat yang lain dari berbagai jalur diantaranya terdapat dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1545), Ittihaf al-Khoyrah (vol. I, no. 261), al-Mu’jam al-Awsath (vol. I, no. 9, vol. III, no. 2462, vol. VIII, no. 8381, no. 8567 dan no. 8833), al-Mu’jam al-Shaghir (vol. I, no.22 dan no. 61), al-Mu’jam al-Kabir (vol. X, no. 10439), Musnad al-Syamiyyin (vol. III, no. 2084 dan vol. IV, no. 3375), Musnad al-Syihab (vol. I, no. 174 dan 175), Amali Ibn Basyran (vol. I, no.245), Amali Ibn Sama’un (vol. I, no. 23), Amali al-Baghindi (vol. I, no. 18), al-Fawaid karya al-Ashbahani (vol. I, no. 14), Gharaib Malik Ibn Anas (vol. I, no. 176), ‘Awali al-Imam Abi Hanifah (vol. I, no. 41), Masyikhah al-Abnusi (vol. I, no. 154), Mu’jam Abi Ya’la (vol. I, no. 154), Mu’jam Asami (vol. II, no. 397), Mu’jam Ibn al-‘Arabi (vol. I, no. 304, vol. IV, no. 1786 dan vol. V, no. 2036), Mu’jam Ibn al-Muqri (vol. II, no. 839), dan Mu’jam al-Syuyukh li Ibn Jami’ al-Shaidawi (vol. I, no. 123).

Di samping hadis ini diriwayatkan dari banyak jalur, beberapa riwayat juga ada yang menyebutkan dengan matan yang sedikit berbeda, yaitu dengan lafal طَلَبُ الْعِلْمِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim). Mereka yang meriwayatkan dengan matan ini ialah al-Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1552), al-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath (vol. VIII, no. 8611), Ibnu Abd al-Bar dalam Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi (vol. I, no. 20), Baybi binti Abd al-Shomad al-Harwiyah dalam Juz Baybi (vol. I, no. 110), dan al-Shaidawi dalam Mu’jam al-Syuyukh (vol. II, no. 337).
Walaupun hadis yang mendapat tambahan “wa muslimatin” tidak ada sumbernya, namun bila dilihat dari segi matan hadis yang mendapat tambahan lafal tersebut shahih, yaitu kewajiban menuntut ilmu tidak hanya untuk seorang muslim tapi juga muslimah. Musthafa al-Istanbuli, seorang  mufassir bermadzhab Hanafi dalam tafsirnya menerangkan bahwa menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan yang telah mukallaf (mukallaf dzakaran kana aw untsa)  (Tafsir Ruh al-Bayan, vol. VIII, hal. 61 ). Selain beliau, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha juga mengatakan bahwa “Hadits - menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim - mencakup wanita juga dengan kesepakatan ulama, sekalipun tidak ada tambahan lafadz “wa muslimatin”". (Huquq al-Nisa Fi al-Islam)

3.      Dunia dan akhirat dengan ilmu

وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki dunia maka wajib baginya dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki akhirat maka wajib baginya dengan ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki keduanya (dunia dan akhirat) maka wajib dengan ilmu”.

Hadis ini sangat populer dan sering disandarkan kepada Nabi. Namun ini sesungguhnya bukanlah perkataan beliau melainkan perkataan Imam al-Syafi’i. Perkataan Imam Syafi’i ini tercantum diantaranya dalam kitab Nasyarthi fi Fadhl Hamlah al-‘Ilmi (vol. I, hal.162) karangan Muhammad bin Abdurrahman bin Umar, Tafsir al-Siraj al-Munir (vol. IX, hal.162) karangan Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini, Tahdzib al-Asma wa al-Lughat (hal. 78) karangan Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, al-Da’wah al-Salafiyyah (hal. 89) karangan Mahmud Abdul Hamid al-‘Asqalani, Mafatih Tadabbur al-Sunnah, Hadzihi Hiya Zaujati karangan Abu Ahmad, dan Arsyifi Multaqi Ahl al-Hadits.

Dari ke semua kitab di atas yang mencantumkan perkataan Imam al-Syafi’i tersebut, seluruhnya menuliskan وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ tanpa tambahan وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ. Hanya ada satu riwayat dari Imam Ali dalam Arsyifi Multaqi Ahl al-Hadits dengan tambahan وَمَنْ أَرَادَهُمَامعاً فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ.


4.      Menuntut ilmu dari buaian sampai liang kubur 

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buain sampai ke liang kubur”.

Hadis ini sangat populer di kalanngan masyarakat. Namun hadis tentang perintah menutut ilmu dari buaian sampai liang kubur ini tidak bersumber dari Nabi. Bahkan ahli ilmu menyatakan hadis ini palsu (maudhu’). Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Durus (vol. X, hal. 35). Sepanjang penelitian ini, penulis tidak menemukan jalur sanadnya di kitab hadis manapun, maupun kitab-kitab lainnya. Hanya saja dalam kitab Nashaih wa Taujihat fi al-‘Ilmi wa Da’wah dan kitab Kutub Shalih Âli Syaikh karangan Shalih bin Abdul Aziz Âli Syaikh disebutkan bahwa ini adalah perkataan sebagian orang-orang salaf (qala ba’dhu salaf). Bahkan ada pendapat yang mengatakan ini adalah perkataan Imam Ahmad (Nashaih wa Taujihat fi al-‘Ilmi wa Da’wah, vol. I, hal. 1 dan Kutub Shalih Âli Syaikh).

Maksud hadis ini sesungguhnya sangat baik, yaitu memerintahkan manusia untuk mencari ilmu sejak dini. Namun sekali lagi, menyandarkan berita kepada nabi yang datangnya bukan dari nabi tentu bukanlah hal yang baik. Apalagi hadis ini dinyatakan palsu.


5.      Ilmu sebagai penghapus dosa yang telah lalu

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ ، كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ : عَنِ النَّبِيِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ

Artinya: “Dari Abdullah bin Sakhbarah, dari Sakhbarah, dari Nabi Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang mecari ilmu maka ilmu tersebut akan menjadi kafarat
(penghapus) bagi dosa-dosa yang telah lampau”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. V, no. 2648) dan Ibnu Qani’ dalam Mu’jam al-Shahabah (vol. I, hal. 321). Di dalam sanadnya terdapat Abu Dawud al-A’ma yang menurut Ibnu Ma’in, dia adalah seorang perawi yang tidak tsiqah/kredibel dan tidak dapat dipercaya (laysa bi tsiqah wa la mamun) (al-Majruhin, vol. III, hal. 55). Ibnu Qayyim dalam Miftah Dar al-Sa’adah juga berkomentar bahwa ia bukanlah orang yang tsiqah/kredibel (ghayru tsiqah) (vol. I, hal. 76). Sementara al-‘Uqaili memasukan Abu Dawud al-A’ma dalam kitab kumpulan orang-orang dha’if miliknya (Dhu’afa al-‘Uqaili, vol. IV, hal. 307). Nashirudin al-Albani bahkan mengangap hadis ini sebagai hadis palsu (maudhu’) (Dha’if al-Jami’, no. 5686).

Matan hadis ini bila dilihat pun sedikit berlebihan, karena hanya dengan menuntut ilmu bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu. Padahal semangat al-Qur’an dan al-Sunnah tidak hanya menyeru umat islam untuk menuntut ilmu saja tapi juga semangat mengamalkan amal shalih.


6.      Orang yang menuntut ilmu berada di jalan Allah sampai ia kembali pulang

عَنْ أَنَسٍ بْنِ ماَلِكٍ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فيِ طَلَبِ الْعِلْمِ كاَنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Artinya: “Dari anas bin malik berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah (fi sabilillah) sampai ia kembali pulang”.

Hadis ini termasuk hadis marfu’ (disandarkan sampai kepada Nabi). Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. V, no. 2647), al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 6520) dan al-Thabrani dalam Mu’jam al-Shaghir (vol. I, no.). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Khalid bin Yazid al-Lu-lu serta Abu Ja’far al-Razi yang menyendiri (tafarrada) dalam meriwayatkannya dari jalur Anas bin Malik.

Sebenarnya Khalid bin Yazid al-Lu-lu al-‘Itqi adalah perawi yang lemah (dha’if) (al-Mughni Fi al-Dhu’afa, vol. I, hal. 207). Menurut al-‘Uqaili kebanyakan hadisnya tidak dapat diikuti (la yutabi’u ‘ala katsir min haditsihi) (Dhu’afa al-‘Uqaili, vol. II, hal. 17). Sehingga al-Albani mendhaifkannya (Misykah al-Mashabih, vol. I, no. 220). Namun oleh Tirmidzi hadis ini di anggap hadis hasan (Mizan al-I’tidal, vol. I, hal. 648).

Secara matan hadis ini memang memberikan berita tentang keutamaan orang yang pergi menuntut ilmu sampai ia kembali pulang. Namun untuk alternatif lain ada hadis yang lebih aman – karena derajatnya lebih tinggi – yang bisa disampaikan kepada masyarakat. Diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda:
فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَ إِنَّ الْملَاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهاَ رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَان فيِ الْماَءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَماَءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِياَءِ إنَّ الْأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُواْ دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إنَّماَ وَرَثُوْا العِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya: “Sesungguhnya aku (Abu Darda) r.a mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan bukakan baginya salah satu jalan menuju syurga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu akan benar-benar dimintakan ampun oleh semua penduduk langit dan bumi, bahkan ikan hiu yang ada di air (laut). Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya, berarti ia telah mengambil jatah yang cukup banyak”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Abu Syaibah, Ibnu Basyran. Dan lafal ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Nashirudin al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibn Majah, (vol. I, hal. 295)).

Di dalam hadis ini dijelaskan penghormatan besar yang diperoleh para penuntut ilmu. Para malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada penuntut ilmu dengan rendah diri dan rasa hormat. Begitu juga halnya para makhluk Allah yang berada di langit, bumi bahkan lautan. Semuanya akan memintakan ampun dan berdoa untuk mereka.

Begitulah kemulian para penuntut ilmu. Orang yang berilmu diibaratkan seperti purnama yang bersinar di antara bintang-bintang yang lain. Semoga kita termasuk dalam golongan-golongan penuntut ilmu yang benar-benar bisa menjadi pewaris para Nabi. Amiin yaa Rabbal’alamin...




*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah  Yogyakarta

4 komentar: