Jumat, 02 Maret 2012

WANITA DALAM SHALAT; Shaf Seorang Wanita Yang Makmum Kepada Seorang Lelaki Dan Posisi Imam Wanita Dalam Shalat Jama’ah Wanita (Sebuah Pendekatan Kritik Hadis)


Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi

Perbincangan atau isu yang paling menarik untuk dibahas dan sering sekali dibicarakan dalam kajian keislaman klasik maupun modern adalah pembahasan seputar wanita. Baik dalam ranah fikih, hadis, tafsir, maupun pemikiran. Pun demikian dalam intern Muhammadiyah. Yang paling Terakhir - sepengetahuan penulis - adalah makalah Ustadz  Muhammad Rofiq Lc., M.A., salah seorang anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membahas tentang hukum shalat jum’at bagi wanita dengan makalahnya yang berjudul “Perspektif Ilmu Hadis dan Fikih Tentang Shalat Jum’at Bagi Wanita”. Walaupun makalah ini pada awalnya disiapkan untuk menjawab pertanyaan seorang penanya dari Tegal yang diajukan kepada Majelis Tarjih, namun tidak dapat dipungkiri tulisan tersebut semakin memperkaya pembahasan dan perbincangan tentang  hal-hal yang berkaitan dengan wanita.

Mati satu tumbuh seribu”. Peribahasa ini mungkin sangat sejalan dengan apa yang terjadi dalam dunia kewanitaaan. Selesai satu permasalahan, muncul lagi permasalahan-permasalahan berikutnya. Oleh karena itu, berangkat dari ketertarikan dan tawaran dari dosen hadis kami, dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang shaf wanita dalam shalat. Lebih spesifik lagi, tentang bagaimanakah posisi seorang wanita yang bermakmum kepada seorang laki-laki? Bolehkah? Dan bagaimanakah posisi wanita yang menjadi imam dalam shalat jama’ah wanita?

Hadis tentang seorang wanita cantik yang makmum kepada Nabi saw.

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَتْ امْرَأَةٌ حَسْنَاءُ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَسْتَقْدِمُ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ

Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas berkata: pernah suatu ketika seorang perempuan yang sangat cantik shalat di belakang (makmum) Rasulullah saw. Lalu sebagian sahabat mendahului (mempercepat langkahnya agar berada) di shaf pertama supaya  tidak melihat perempuan tersebut. Sedangkan sebagian yang lain melambatkan langkah mereka agar berada di shaf terakhir dengan tujuan apabila  ruku’ bisa melihatnya dari bawah ketiak”.

Hadis ini di riwayatkan oleh Baihaqi dalam dua karyanya; Sya’bu al-Iman (vol. VII, no. 5059) dan Sunan al-Kubra (vol. III, no. 5374), Ibnu Majah dalam Sunan  (vol. I, no 1046), Tirmidzi dalam Sunan (vol. X, no. 3122), al-Nasai dalam Sunan (vol. II, no. 870), al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 5296), al-Thayalisi dalam Musnad (vol. IV, no. 2835), Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad (vol. X, no. 2783), Ibnu Hibban dalam Shahih  (vol. II, no. 401), dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (vol. III, no. 1696). Selain itu, menurut al-Suyuthi hadis ini juga menjadi asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat) surat al-Hijr ayat 24 (Lubab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul, hal. 131).

Dari semua riwayat yang dicantumkan oleh para mukharrij dalam karya-karya mereka di atas, semuanya melalui perawi yang bernama ‘Amr bin Malik al-Nukriy al-Bashari yang berstatus lemah. Menurut Ibnu ‘Addi, perawi ini adalah seorang munkar al-hadits (orang yang hadisnya diingkari) dan juga pencuri hadis (yasriqu al-hadits) (Ibnu Jauzi, al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. II, hal. 231). Abu Ya’la al-Maushuli berkomentar bahwa ia adalah orang yang dha’if (lemah) (al-Kamil fi al-Dhu’afa al-Rijal, vol. X, hal. 150). Walaupun Ibnu Hajar al-‘Asqalani menilainya jujur, tapi menurutnya ia banyak melakukan kesalahan (shaduq lahu awham) (Taqrib al-Tahdzib, hal. 426). Kritikus hadis yang berkomentar baik tentangnya Hanya Ibnu Hibban saja. Ia menganggap hadis ‘Amr bin Malik bisa dipertimbangkan/dianggap. Itupun dengan syarat tidak boleh melalui anaknya, yaitu Yahya ibn ‘Amr ibn Malik. (al-Tsiqat, vol. VII, hal. 228).

Seorang ahli hadis kontemporer, Syaikh Syu’aib al-Arnauth pun ketika men-tahqiq (meneliti) Musnad Ahmad berkomentar bahwa hadis ini sanadnya dha’if (lemah) dan matan-nya munkar (diingkari) -- Meskipun sebelumnya ia menilai hasan ketika men-tahqiq kitab Shahih Ibnu Hibban, namun akhirnya ia merubah ijtihadnya tersebut (Musnad Ahmad, vol. V, hal. 5-6)[1]. Penilaian al-Arnauth tentang matannya yang munkar (diingkari) ini menurut hemat penulis cukup beralasan, karena dalam matan hadis tersebut terlihat ada indikasi menjelekkan sahabat (secara tidak langsung menganggap sebagian sahabat “mata keranjang” dengan mengintip perempuan dari bawah ketiak). 

Perspektif berbeda ditunjukkan oleh Syaikh Nashirudin al-Albani ketika menilai hadis ini. Menurutnya, hadis yang melalui ‘Amr ibn Malik al-Nukriy ini statusnya shahih (Shahih wa Dha’if Sunan ibn Majah, vol. III, no. 1046, hal. 46, Shahih wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, vol. VII, no. 3122, Shahih wa Dha’if Sunan al-Nasai, vol. III, no. 870). Pendapat al-Albani ini sedikit janggal, karena dalam kitab-kitab biografi yang memuat nama ‘Amr ibn Malik al-Nukriy mayoritas ulama ahli kritik hadis menilai bahwa ia bukanlah orang yang tsiqah (kredibel; ‘adil dan dhabith). Padahal salah satu syarat hadis shahih perawinya haruslah tsiqah (Tadrib al-Rawi, hal. 27). Oleh karena itu – tanpa mengurangi rasa hormat kepada Syaikh al-Albani - penulis lebih sependapat dengan penilaian Syaikh Syu’aib al-Arnauth.

Mengenai boleh atau tidaknya seorang perempuan yang makmum sendiri kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya), di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mereka yang mengaggap hadis ini shahih, tentu – seharusnya - berpendapat bolehnya seorang wanita makmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya). Sementara sebagian ulama yang lain – dengan tertolaknya hadis ini -  berpendapat tidak membolehkannya. Mereka yang tidak membolehkan juga berdalil dengan keumuman hadis Nabi tentang larangan berkhalwat (menyepi) antara laki-laki dan perempuan. Hadis tersebut berbunyi:

) رواه أحمد و إسناده على شرطهما)......  إِلَّا مَحْرَمٍ  لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لَا تَحِلُّ لَهُ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ......

Artinya: “..... janganlah seorang laki berduaan bersama seorang perempuan yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah syetan, kecuali bila bersama mahramnya ....” (HR. Ahmad. Sanadnya memenuhi syarat Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini juga yang dipegangi oleh Abu Malik ibn Kamal, seorang ulama fikih pengarang kitab Shahih Fiqh al-Sunnah. Namun menurutnya bila wanita yang makmum itu istri atau muhrimnya, maka itu dibolehkan (dengan posisi wanita berada di belakang imam)[2]. Pun demikian bila perempuan yang makmum itu lebih dari satu – walaupun perempuan tersebut bukan muhrimnya – karena itu tidak dinamakan ber-khalwat (menyepi) dan tidak ada dalil-dalil yang melarang. Akan tetapi kebolehan tersebut menurut Abu Malik, jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah maka itu juga dilarang (Abu Malik, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhih Madzahib al-Aimmah, hal. 510). Pendapat Abu Malik ini menurut hemat penulis lebih didasarkan kepada fitnah yang akan terjadi dengan “berkumpulnya” laki-laki dan perempuan. Jika demikian, berarti seharusnya boleh-boleh saja shalatnya seorang perempuan yang bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya) dengan syarat memang benar-benar aman dari fitnah. Misalnya – ketika seorang wanita yang bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrim) di tempat yang ramai  (tidak menyepi). Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Hadis Tentang Imam Wanita Dalam Shalat Jama’ah Wanita

عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّهَا كَانَتْ تُؤَذِّنُ وَتُقِيمُ وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ وَتَقُومُ وَسَطَهُنَّ

Artinya: Dari 'Atha (ia meriwayatkan) dari Aisyah ra : bahwasanya ia pernah adzan, setelah itu berdiri dan mengimami para wanita. Sedangkan posisinya berada di tengah-tengah mereka”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (vol. I, no. 1998 dan vol III, no. 5562 ), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 4990 dan 4991), dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya (vol. I no. 731).

Dalam hadis ‘Aisyah ini – khususnya kedua riwayat dari Baihaqi dan satu riwayat dari al-Hakim dalam Mustadrak-nya – terdapat perawi yang bernama Laits ibn Abi Salim yang mendapat jarh (celaan) dari para kritikus hadis. Bahkan dalam Tahdzib wa al-Tahdzib, ia diklaim sebagai orang yang sangat dha’if (asyaddu dha’fan) (vol. I, no. 274).  Namun disamping riwayat-riwayat tersebut, sesungguhnya hadis ini memiliki pendukung-pendukung  (syawahid) dari jalur lain dan beberapa mutabi’ yang tidak melalui Laits ibn Abi Salim. Diantara yang bisa dijadikan hujjah diantaranya adalah jalur dari Hujairah binti Hushain yang diriwayatkan oleh Daruquthni dalam sunan-nya (no. 1508) sebagaimana disinggung al-Albani dalam Tamamu al-Minnah (vol. I, hal 153-154) serta dishahihkan oleh al-Nawawi dalam kitabnya Khulashah al-Ahkam (vol.II, hal. 680). 

Jalur-jalur yang lain selain dari ‘Aisyah dan Hujairah ialah dari Rabithah al-Hanafiyyah, atsar dari Ibnu ‘Abbas dan Ummu al-Hasan. Riwayat-riwayat tersebut diantaranya dicantumkan oleh Abdul Razaq dalam Mushannaf-nya (vol. III no. 5082, 5083 dan 5086), Daruquthni dalam Sunan (no. 1507), Abi Syaibah dalam Mushannaf  (vol. II, no. 4988, 4989, 4992, 4993), al-Syafi'i dalam Musnad (vol. I, no. 223), Ibnu Mundzir dalam al-Awsath (vol. VI, no. 2045 dan 2046), Ibnu al-A'rabi dalam Mu'jam (vol, III, no. 1262) dan Baihaqi dalam Sunan al-Kubra-nya (vol. III, no 5563).

Dengan adanya dalil maqbul yang bisa dijadikan hujjah tersebut, maka posisi wanita yang menjadi imam dalam shalat jama’ah wanita, berada di tengah-tengah shaf. Mengenai hal ini ditegaskan pula oleh Syaikh Muqbil ibn Hadi dalam fatwanya (Fatawa al-Marah, hal. 114). Sejauh pembacaan penulis dalam penelitian ini terhadap karya fikih klasik dari empat madzhab besar dalam Islam – kecuali malikiyyah – pun tampaknya juga demikian. Ada tiga karya fikih yang penulis pilih sebagai representasi dari pendapat mereka. Al-Bahru al-Raiq karya Zainuddin ibn Nujaim (vol. I, hal. 373) dari madzhab Hanafi, al-Muhadzdzab karya Ibrahim ibn Ali al-Syirazi (vol. I, hal. 100) dari madzhab Syafi’i, al-Mughni karya Ibnu Qudamah (vol. II, hal. 36) dari madzhab Hanbali. Khusus madzhab Maliki dalam hal ini tidak membolehkan sama sekali wanita menjadi imam, baik shalat sunnah maupun shalat fardhu, baik untuk jama'ah wanita apalagi laki-laki (al-Kharrasyi, Syarhu Mukhtashar Khalil, vol. IV, hal. 388 dan al-Hajjah Kaukab 'Abid, Fiqh al-'Ibadat 'ala al-Madzhab al-Maliki, vol. I, 216).

Sementara Abu Malik walaupun berpendapat sama dengan para mayoritas ulama, tapi menurutnya boleh-boleh saja bila imam perempuan itu berada di depan jama’ah karena tidak ada dalil yang melarang (Abu Malik, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhih Madzahib al-Aimmah, hal. 531).

Kesimpulan 

Hadis tentang wanita cantik yang pernah shalat di belakang Rasulullah walaupun dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, namun Karena – sejauh penelitian ini -  penulis tidak mendapatkan statement dari para kritikus hadis tentang ke-tsiqah-an ‘Amr bin Malik al-Nukriy al-Bashari yang notabene perawi “bermasalah” menurut mayoritas kritikus, maka menurut penulis hadis ini statusnya dha’if. Sementara boleh tidaknya seorang wanita bermakmum kepada laki-laki yang bukan muhrim terjadi perbedaan pendapat, khususnya antara mereka yang menganggap hadis tersebut shahih dan tidak shahih. Sedangkan menurut hemat penulis – karena melihat dan mempertimbangkan pendapat Abu Malik ibn Kamal – menganggap boleh-boleh saja asal benar-benar tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.

Sementara hadis tentang posisi wanita yang menjadi imam dalam shalat jama’ah wanita walaupun ada sebagian riwayat yang dha’if namun hadis tersebut memiliki pendukung dari beberapa jalur (yang maqbul) sehingga bisa dijadikkan hujjah. Oleh karena itu, posisi wanita yang menjadi imam shalat jama’ah wanita berada di tengah-tengah shaf, walaupun ada sebagian juga yang berpendapat boleh di depannya. Wallohu A’lam bi al-Shawab.




[1] Penjelasan lebih jelas tentang perubahan ijtihad Syu’aib al-Arnauth mengenai hadis ini lihat Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1995,  cet I), jilid V, hal. 5-6. (catatan kaki no.2)
[2] Para ulama berpendapat tentang posisi ini berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi:
..... فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا....
Artinya: “.... lalu Rasululullah berdiri (menjadi imam  shalat) dan aku satu shaf bersama anak yatim. Sedangkan ada orang tua (ibunya Anas) yang makmum di belakang kami ...” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan posisi shaf wanita dalam shalat, yaitu di belakang laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar