Kamis, 10 November 2011

RITUAL TAHLILAN DAN YASINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Bag. 1)


(Makalah ini dipresentasekan pada tanggal 13 Oktober 2011, pada acara kajian mingguan tarjih yang diadakan oleh PDM Kota Yogyakarta)

Disusun oleh : Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta (Nicky Alma Febriana Fauzi, Aulia Abdan Idza Shalla, Ahmad Syarief, Charis Thohari Rahman, Husni Mubarak, Fadlurrahman, Miqdad Afif, Muhammad Aliyun, Waskito Hartono)


  1. Pendahuluan dan Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang membimbing pemeluk-pemeluknya agar selalu berjalan dalam koridor-koridor yang telah tertata dengan rapi di dalamnya. Sehubungan dengan ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang utusan untuk seluruh umat manusia mewasiatkan kepada kita dua perkara yang tertuang di dalam sabdanya :
تَركْتُ فيكُمْ أَمْرَيْنِ لنْ تَضِلُّوا ما تَمسَّكْتُمْ بهما : كتابَ الله ، وسنّة رسولِهِ (رواه مالك و الترمذي و الحاكم و الطبراني و اللفظ لمالك)
Artinya : telah aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang pada keduanya: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya. (Diriwayatkan oleh Malik, at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Thabrani, dan lafalnya dari Malik)
Berangkat dari hadits tersebut, bahwa selama kita berpegang dengan al-Qur’an dan al-Sunnah maka kita tidak akan tersesat sepanjang kita mengarungi kehidupan di dunia ini. Namun sebaliknya bila kita mengabaikan atau bahkan meninggalkan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka besar kemungkinann kita akan terjerumus ke dalam gumparan panasnya api jahannam.
Sementara itu di Indonesia yang notabene adalah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, terdapat tradisi atau budaya yang sebagian darinya tidak sesuai dengan syari’at Islam yang murni. Entah itu tradisi atau ajaran dari agama lain atau memang asli kebudayaan Indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena sebelum Islam tersebar di Indonesia, agama yang sedang digandrungi dan booming pada saat itu adalah agama Hindu dan Budha, sehingga dalam penyebarannya para ulama menyisipkan ajaran-ajaran Islam ke dalam ajaran Hindu-Budha agar Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Permasalahannya sekarang adalah ketika Islam telah membudaya di Indonesia, apakah cara penyebaran Islam seperti itu masih tetap harus dilestarikan? Lalu, bolehkah kita mencampuradukkan ajaran Islam yang suci dengan ajaran selain islam? Sementara di dalam al-Qur’an sendiri dengan sangat jelas bahwa Allah melarang kita untuk mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Dan janganlah kalian mencampur adukkan antara yang hak (kebenaran) dan yang batil dan jangan pula kalian menyembunyikan yang hak (kebenaran) sedangkan kalian mengetahuinya (al-Baqarah: 42).
Dari pendahuluan dan latar belakang demikian, kami mahasiswa-mahasiwa PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) khususnya semester tiga angkatan 2010 mencoba meneliti bagaimana sejarah dan hukum mencampuradukkan ajaran Islam dengan tradisi, budaya, atau ajaran selain Islam, yang dalam hal ini kami lebih mengerucutkan pada permasalahan tahlilan dan yasinan yang memang ritual seperti ini telah melumut di kalangan mayarakat kita dan seakan telah mendapat legitimasi dari sebagian ulama-ulama Indonesia saat ini.
Akhirnya, layaknya sebuah tulisan manusia pasti terdapat kesalahan dan kekurangan di sana-sini. Oleh karenanya kami sangat terbuka bila ada kritik atau saran dari para pembaca.
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang akan dicari jawabannya dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Perihal Tahlilan
    1. Bagaimanakah sejarah munculnya tahlilan?
    2. Bagaimanakah kualitas hadits tentang tahlilan?
    3. Mengapa tahlilan dilarang?
  2. Perihal yasinan
    1. Bagaimanakah kualitas hadits tentang yasinan?
    2. Mengapa yasinan dilarang?

  1. Langkah Penelitian
    1. Menentukan rumusan masalah berdasarkan topik yang telah tersedia
    2. Menetralkan pandangan dari berbagai perselisihan untuk menghindarkan diri terbelenggu pada sikap fanatisme terhadap pendapat tertentu
    3. Mengumpulkan bahan-bahan dan referensi-referensi tentang tahlilan dan yasinan
    4. Mengumpulkan hadits-hadits tentang tahlilan dan yasinan
    5. Memilih hadis-hadis yang representatif untuk di-takhrij
    6. Menganalisis dan memberikan pandangan tentang hukum tahlilan dan yasinan berdasarkan pada kesimpulan otentitas hadits-hadits tersebut disamping pendapat para ahli hukum Islam.

  1. Pembahasan Tentang Tahlilan
    1. Definisi Tahlilan
Tahlilan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata هَلَّل- 1يُهَلِّلُ- تَهْلِيْلاً yang artinya mengucapkan lafal لاَ إلهَ إلاّ اللهُ. Sedangkan secara terminologi adalah acara ritual (seremonial) memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama setelah proses penguburan selesai dilakukan. Seluruh keluarga, handai taulan serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga si mayit hendak menyelenggarakan acara pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan do’a-do’a yang ditujukan untuk si mayit di alam “sana”. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil (لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ) yang diulang-ulang ratusan kali maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”2.
    1. Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tahlilan
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menanggulangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN. Aliran Giri adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan Animisme dan Dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun aliran Tuban adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam.Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari Syari’at Islam.Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, Animisme dan Dinamisme diwarnai keislaman.Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang radikal. Aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan Syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam Abangan.
Dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayajna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya.Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan Aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Pada masa para wali di bawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
Apakah tidak dikhawatirkan di kemudian hari, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga”.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dina, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam.Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni / aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membalas dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dibunuh pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada.maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kemagian hanya dikenal di Jawa saja.Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini.Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.3
    1. Dalil yang Menganjurkan Tahlilan
      • Dalil naqli
Orang yang membolehkan ritual Tahlilan, mereka mempunyai dalil-dalil yang menurut mereka bisa dipertanggung-jawabkan. Dalil tersebut meliputi dalil naqli dan dalil aqli. Adapun dalil naqli yang mereka kemukakan adalah dalil yang diambil dari kitab Hasyiyah ‘ala Maraqy al-Falah karangan Ahmad ibn Ismail at-Thahawy, yaitu (yang artinya) :
Dimakruhkannya hukum penghidangan makanan kepada keluarga mayit bertentangan dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang Shahih dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari laki-laki Anshar ia berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله ص. م. فِي جَنَازَةٍ فَرَاَيْتُ رسُوْلَ الله ص. م. وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصَي الْحَافِرُ أَوْسَعَ مِنْ قَبْلِ رِجْلَيْهِ أَوْسَعَ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيَّ امْرَأَته فَجَاءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَاهُ ...إخ
Artinya :
Kami bersama Rasulullah keluar menuju pemakaman jenazah sewaktu hendak pulang muncullah istrinya mayit mengundang untuk singgah, kemudian menghidangkan makanan, Rasulullah pun mengambil makanan tersebut, kemdian para sahabat pun turut mengambilnya pula dan mencicipinya, pada mulut Rasulullah terdapat sekerat daging”.
Hadits tersebut oleh sebagian kalangan digunakan sebagai pembenaran perbuatan mengadakan acara Tahlilan dengan argumen keluarga si mayit menghidangkan makanan kemudian mengundang masyarakat terhadap hidangan tersebut.
      • Dalil ‘aqliy
Sedangkan alasan dalil ‘aqliy yang mereka kemukakan adalah melaui argumen al-Istihsân (mengangap sesuatu itu baik berdasarkan logika), meliputi:
  1. Bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang bernilai ibadah
  2. Nilai-nilai shadaqah (ibadah) melalui pembagian makanan, sekaligus sebagai ritual kirim do’a bagi si mayit
  3. Silaturahmi (ibadah)

    1. Sanggahan
      • Sanggahan terhadap dalil naqliy
Ahmad Ibn Isma’il at-Thahawy menyitir dalil naqliy yang dilansir dari Sunan Abu Dawud dan musnad Imam Ahmad, namun apabila kita bandingkan dengan kitab aslinya (Sunan Abu Dawud dan Musnad Imam Ahmad) ternyata di dalamnya terdapat perbdedaan yang sangat signifikan yang dapat merubah makna hadits tersebut, yaitu:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله ص. م. فِي جَنَازَةٍ فَرَاَيْتُ رسُوْلَ الله ص. م. وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصَي الْحَافِرُ أَوْسَعَ مِنْ قَبْلِ رِجْلَيْهِ أَوْسَعَ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيَّ امْرَأةٌ فَجَاءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَاهُ ...إخ
Di dalam nukilan Ahmad ibn Isma’il at-Thahawy, ia menambahkan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه) di belakang kata (امْرَأةٌ), yang mengandung arti “istrinya si mayit”, sedangkan dalam kitab aslinya (Sunan Abu Dawud dan Musnad Imam Ahmad) tanpa menggunakan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه), sehingga maknanya menjadi “seorang wanita”.
Sisi pentingnya ketika menggunakan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه), maka berarti wanita yang memanggil Rasulullah dan para sahabat sepulang dari penggunaan jenazah kemudian menghidangkan makanan yang dicicpi oleh Rasulullah beserta para sahabatnya adalah istrinya si mayit (keluarga mayit). Hal ini berarti mengandung pengertian taqrir (penetapan) dari Rasulullah, artinya penghidangan makanan oleh keluarga si mayit itu menjadi dianjurkan, kemudian implikasi hukumnya acara ritual tahilan merupakan bagian dari sunnah Rasulullah. Akan tetapi lain halnya apabila dhamir mudzakar ghaib tadi (hu/ه) tidak dicantumkan maka pengertiainnya adalah wanita tersebut bukan istri atau keluarganya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan si mayit tersebut (bukan keluarga si mayit). Bahkan di dalam hadit yang dikeluarkan Imam Ahmad bin Hambal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita tersebut adalah wanita quraisy yang hadir dalam pemakaman.
Dengan ini jelaslah sudah bahwa hidangan yang dicicipi oleh Rasulullah beserta sahabatnya adalah hidangan yang disajikan bukan dari keluarga si mayit, akan tetapi berasal dari pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga si mayit. Apabila demikian, maka sejatinya hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan acara ritual tahlilan. Sebagai konsekwensinya batallah argumen yang menerima acara ritual tersebut.
  • Bantahan terhadap dalil aqliy
Ini adalah alasan mereka yang paling umum dan sering digunakan bahwa mereka menganggap bahwa seluruh apa yang ada di dalam ritual itu adalah baik dan bermanfaat, seperti membaca al-Qur’an, tahlil, silaturahmi, dll. Mereka berpandangan bahwa melakukan ibadah-ibadah itu di dalam ritual tersebut adalah suatu perbuatan baik (mereka menganggap baik) dengan kata lain mereka menggunakan nalar al-Istihsan yang diterapkan dalam ritual itu. Pertanyaannya adalah, tepatkah asumsi tersebut?
Nalar-nalar yang dibangun dalam koridor Ushul Fiqih memang sangat rawan untuk dipelintir oleh orang-orang yang mencari pembenaran atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan Ushul Fiqih adalah sebuah dunia ilmu yang sarat dengan eksploitasi akal manusia yang pada dasarnya digunakan untuk menggali kandungan al-Qur’an dan al-Hadits, yang seharusnya akal tersebut harus didampingi oleh kendali dan rambu-rambu yang jelas agar penggunaannya tidak melenceng dan melampaui batas melebihi dua sumber hukum primer tersebut.
Lalu bagaimana jadinya kalau akal itu tidak dikendalikan dan dibiarkan lepas begitu saja? Yang terjadi adalah penyelewengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya sebagai upaya mencari pembenaran atas apa yang diperbuat dan dikehendaki oleh akal.
  • Tahlilan adalah produk al-Istihsan, kebenaran atau pembenaran?.
Al-Istihsân - meminjam istilah Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf- adalah salah satu dari dalil-dalil syar’iyyah sebagai sumber hukum yang dipakai setelah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Telah disepakati oleh para ulama bahwa kronologi pengurutan sumber-sumber hukum tersebut tidak dapat dibolak-balik.4 Maka jelas, bahwa al-Istihsan tidak bisa melampaui kehujjahan empat sumber hukum di atasnya.
Al-Istihsân adalah “menganggap baik terhadap sesuatu.” Sedangkan secara terminologi menurut Ulama Ushul, al-Istihsân adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaliy (nyata) kepada qiyas khafiy (samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhsis lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.5 Dengan kata lain, al-Istihsân adalah berpaling dari satu hukum kepada hukum lain karena suatu alasan berdasarkan pertimbangan maslahah dan madharat.
Jadi, seorang mujtahid yang menggunakan al-Istihsân itu mengubah sebuah dalil yang jelas atau hukum kully karena adanya dalil yang menuntut perpindahan itu. Sehingga bukan merupakan pembentukan hukum dengan nafsu belaka. Sehingga, pada dasarnya melakukan sesuatu itu tidak boleh hanya didasarkan pada pertimbangan baik dan buruk menurut akal semata, apalagi suatu perbuatan itu sebagai suatu ibadah.
Oleh karena itu, penisbatan tahlilan sebagai produk al-Istihsân (karena mereka mengerjakan tahlilan hanya berdasarkan persepsi nafsu belaka, disamping menganggapnya sebagai suatu ibadah) adalah tertolak, karena tidak ada dalil syar’i yang memaksa untuk dilaksanakannya pemindahan hukum, bahkan tidak ada hukum yang mendasarinya sama sekali dalam Islam.
Karenanya, Imam Syatibi mengatakan dalam Al-Muwâfaqât, bahwa orang yang menggunakan istihsân tidak boleh mengembalikan persoalan pada perasaan dan keinginannya. Namun harus dikembalikan kepada hal-hal yang telah diketahui berdasarkan tujuan syar’i secara umum.6
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hlm. 1514

2 Harry Yuniardi, Santri NU Menggugat Tahlilan, (Bandung: Mujahid Press, 2009) hlm. 11-12

4 Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf; Alih Bahasa: Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997) hlm.36

5 Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm.136

6 Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm.141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar