(Sebuah Review atas Buku al-Ijâbah li îrâdi mâ Istadrakathu ‘Âisyah ‘ala al-Shahâbah Karya Badruddîn al-Zarkasyi)
Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*
Aisyah binti Abu Bakar adalah salah satu istri Nabi yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan istri-istri Nabi yang lain. Dalam catatan sejarah, Aisyah adalah satu-satunya wanita gadis (virgin) yang dinikahi oleh Nabi Muhammad saw. selama hidupnya (al-Dzahabiy, Siyâr A’lâmi al-Nubalâ’, vol. II, hal. 141). Sebagai seorang wanita yang menjadi istri manusia terbaik di muka bumi, ia tetap bisa memposisikan dirinya sebagai seorang pendamping yang romantis. Keromantisan Aisyah dan Nabi ini, misalnya, sangat tergambar dari kisah lomba lari yang pernah mereka lakukan. Dalam kisah tersebut Aisyah yang pada pertandingan pertama melawan Rasulullah masih bisa menang karena badannya ketika itu masih kurus, tertatih-tatih pada pertandingan kedua sebab badannya telah menggemuk. Rasulullah yang menyadari akan perubahan bentuk tubuh Aisyah ini lalu mendahuluinya sambil tertawa dan berkata: “ini untuk kekalahanku yang dulu”. (Nâshiruddîn al-Albâniy, Âdâbu al-Zifâf, hal. 276). Selain itu, layaknya sepasang kekasih, romantisme diantara mereka juga tampak tatkala Aisyah mandi bersama-sama Rasulullah saw. dalam satu bejana. Sebagaimana yang diceritakan Aisyah sendiri dalam suatu riwayat:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُوْلَ دَعْ لِيْ دَعْ لِيْ قَالَتْ وَهُمَا جُنُبَانِ
Artinya:
“Aku mandi bersama Rasulullah saw. dari satu bejana (yang diletakan) antara kami berdua, maka Rasulullah saw. mendahuluiku (dalam mengambil air dari bejana) hingga aku berkata, “Sisakan air untukku, sisakan air untukku”. Dan mereka berdua dalam keadaan junub. (HR.Muslim, vol. I, no. 321)
Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Nabi Muhammad saw (HR. Bukhari, vol. V, no. 3662). Begitu pula Aisyah, cintanya yang begitu besar kepada Nabi membuat ia menjadi wanita yang sangat pencemburu. Pernah suatu ketika Aisyah terbangun di tengah malam dan mendapati Nabi tidak berada di sampingnya. Spontan, ia pun mencari-cari Nabi di kamar istri-istri yang lain, dan tetap tidak menemukannya. Sampai akhirnya ia menjumpai Nabi sedang bersujud di masjid. Aisyah pun kembali ke kamarnya dengan berlari sehingga nafasnya terengah-engah. Ketika Nabi selesai salat dan tahu apa yang baru saja Aisyah lakukan, Nabi lantas bertanya: “Wahai Aisyah, apakah engkau mengira aku mengkhianatimu?” (Yâsîn Rasydî, Nisâ’un Mu’minâtun: al-Qudwah min al-Nisâ’, hal. 29-30).
Selain wanita pencemburu dan romantis, Aisyah adalah seorang wanita yang sangat cerdas (Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Istî’âb fî Ma’rifati al-Ashhâb, hal. 920). Ia juga seorang ahli fikih terkemuka yang menjadi tempat rujukan bagi sahabat-sahabat yang lain (al-Dzahabiy, Tadzkiratu al-Huffâzh, hal. 37). Di balik kecerdasannya inilah ia memiliki sikap yang kritis, terutama pada masalah-masalah yang menurutnya tidak sesuai dengan dasar-dasar agama Islam yang ia ketahui; lebih khusus lagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan periwayatan hadis.
Dalam bidang hadis ini, Aisyah tidak perlu diragukan lagi kapasitas dan kredibilitasnya. Soal kuantitas hadis yang diriwayatkan, ia hanya satu level di bawah Abu Hurairah, dengan 2.210 hadis (Muhammad Abu Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, hal. 138). Cerminan dari kekritisan dan kecerdasan Aisyah tersebut dihimpun oleh Badruddîn al-Zarkasyi (w. 794 H), seorang ahli hadis kelahiran Mesir, dalam salah satu bukunya yang berjudul al-Ijâbah li îrâdi mâ Istadrakathu ‘Âisyah ‘ala al-Shahâbah (Jawaban untuk Mengetengahkan Tanggapan Aisyah terhadap Para Sahabat). Selain bukunya dalam bidang hadis, al-Zarkasyi yang juga bermadzhab Syafi’i ini banyak menelurkan karya-karya dalam berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya; al-Burhân fî ‘Ulûmi al-Qur’ân dalam bidang ulumul qur’an, al-Bahru al-Muhîth dalam bidang ushul fikih, dan I’lâm al-Sâjid bi Ahkâmi al-Masâjid dalam bidang fikih (al-Zarkasyi,al-Ijâbah.. hal. 6-7).
Di dalam buku al-Ijâbah-nya, al-Zarkasyi mengumpulkan tanggapan-tanggapan Aisyah terhadap riwayat-riwayat para sahabat yang menurut istri nabi tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, baik yang berdasarkan pendapatnya sendiri maupun yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang lebih otentik. Selain itu, ia juga mengemukakan – dalam bukunya – empat puluh kekhususan yang dimiliki oleh putri Abu Bakar ini (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 17-55), sekaligus tentunya riwayat-riwayat sahabat yang dikritisi olehnya. Ada kurang lebih 80 hadis yang ditanggapi oleh Aisyah. Di dalamnya ada 22 nama sahabat terkenal yang pernah ‘merasakan’ kritikan dari si Humaira (panggilan sayang nabi kepada Aisyah). Dalam tulisan ini, akan dipaparkan 4 tanggapan Aisyah – yang terdapat dalam buku al-Zarkasyi - terhadap riwayat-riwayat sahabat yang menurut hemat penulis sangat representatif untuk menunjukan kecerdasan, ‘keberanian’ dan kekritisannya.
1. Hadis tentang anjing, khimar, dan wanita yang disebut sebagai pembatal salat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الصَامِتِ قاَلَ سَمِعْتُ أَباَ ذَرٍّ يَقُوْلُ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَلَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ كَآخِرَةِ الرَّحْلِ أَوْ كَوَاسطَةِ الرَّحْلِ قَطَعَ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ وَالْمَرْءَةُ وَالحِمَارُ (رواه الترمذي)
Artinya:
“Dari Abdullah bin al-Shamith berkata: aku mendengar Abu Dzar berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda: Apabila seorang laki-laki salat dan di depannya tidak ada pembatas atau penanda, lalu melintas di depannya seekor anjing, seorang perempuan, dan khimar maka batallah salatnya” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini selain diriwayatkan oleh Tirmidzi, diriwayatkan pula oleh beberapa mukharrij dari berbagai jalur yang berbeda dengan substansi yang tetap sama, diantaranya oleh Imam Muslim (vol. I, no. 265) yang terkenal ketat dalam menerima riwayat hadis. Al-Albani juga telah menshahihkan hadis ini dalamShahîh wa Dha’îf Sunan al-Tirmidziy (vol. I, no. 338). Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarkasyi (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 153-154), hadis tersebut mendapatkan kritikan dari Aisyah seperti yang terdapat dalam riwayat di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ!؟ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ (رواه البخاري)
Artinya:
“Dari Aisyah, bahwa telah diceritakan kepadanya: ada sesuatu yang bisa membatalkan salat, yaitu: anjing, khimar, dan wanita. Kemudian Aisyah berkata: kalian menyamakan kami (wanita) dengan khimar dan anjing!? Demi Allah! Sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw. salat di depanku dan aku sedang tidur-tiduran di ranjang, kemudian aku merasa tidak nyaman kiranya aku mengganggu beliau. Lalu aku pun berpindah dan tidak menghalangi lagi kiblatnya” (HR. Bukhari)
Dalam hadis tersebut terlihat dua bentuk kritikan Aisyah terhadap matan dari Abu Dzar al-Ghifari;Pertama, mengenai masalah sosio-kultural, yakni menyamakan posisi wanita dengan anjing dan khimar dalam hal membatalkan salat. Sikap kritis Aisyah ini ditunjukan dengan perkataannya ”!? شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ” (kalian menyamakan kami (wanita) dengan khimar dan anjing!?). Kedua, masalah yang terkait dengan fikih, yaitu Aisyah tidak menganggap bahwa wanita yang lewat di depan laki-laki yang sedang salat dapat membatalkan salatnya, karena hal ini bertentangan dengan realita yang pernah terjadi antara dirinya dan Rasulullah; yakni Rasulullah saw. pernah salat di depan Aisyah yang sedang berbaring di depannya dan rasul tidak memberikan komentar apapun mengenai peristiwa tersebut.
Lalu bagaimanakah mensikapi dua hadis di atas yang sama-sama shahih namun terlihat saling bertentangan?. Para ulama berselisih pendapat terkait masalah ini, namun jalan keluar terbaik yang dipilih mayoritas ulama sebagaimana dipaparkan al-Shan’âniy dalam Subulu al-Salâm-nya adalah dengan cara mentakwilnya. Bahwa yang dimaksud dengan lafal يَقْطَعُ atau قَطَعَ dalam kedua hadis di atas ialah “mengurangi pahala orang yang sedang salat” karena dapat menyibukan hati atau dapat menggangu konsentrasi, bukan membatalkan salatnya (al-Shan’âniy, Subulu al-Salâm, vol. I, hal. 203).
2. Hadis tentang mayit yang disiksa karena tangisan keluarganya
....فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْه (رواه البخاري)
Artinya:
“.... Abdullah bin Umar ra. berkata kepada ‘Amr bin Utsman: ketahuilah bahwa engkau dilarang untuk meratap, karena Rasulullah saw. Bersabda: sesungguhnya mayit akan diadzab sebab tangisan/ratapan keluarganya.” (HR. Bukhari)
Hadis yang dibawa oleh Ibnu Umar ini dikoreksi oleh Aisyah. Menurutnya, Ibnu Umar tidak bermaksud berbohong, ia hanya salah meriwayatkan atau lupa dengan sebagian matan hadisnya. Riwayat yang benar adalah ketika itu Rasulullah saw. Sedang berjalan melewati kuburan seorang yahudi, sementara keluarga yang ada di sampingya menangis meratapi kepergiannya. Kemudian Rasulullah pun bersabda:
إِنَّهُمُ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِى قَبْرِهَا
Artinya:
“Sesunggunya mereka (keluarga) menangisi si mayit dan ia (mayit) di dalam kuburnya sedang diadzab karenanya” (HR. Bukhari)
Kesadaran Aisyah bahwa hadis tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an ditunjukan dalam hadis ini. Mungkin bila Rasulullah saw masih hidup, ia pun akan menanyakan atau mungkin bahkan mengkritisi Rasulullah perihal maksud dari hadis tersebut. Menurutnya, hadis terakhir yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas tidak sejalan dengan apa yang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an surat al-Najm ayat 38 (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 60 dan 90):
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya:
“(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Al-Najm: 38)
Terlepas dari pemahaman tekstual Aisyah terhadap ayat tersebut, dalam kasus ini ia memberikan sebuah pelajaran penting bahwa memahami hadis haruslah selalu disinergikan dengan al-Qur’an yang mulia (Yûsuf al-Qaradhâwiy, Kayfa Nata’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, hal. 93). Karena hadis pada hakikatnya tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an, sebab apa yang dikabarkan oleh Rasulullah adalah wahyu yang datangnya dari Allah swt (in huwa illâ wahyun yûhâ). Namun begitu, lantas tidak serta merta meratapi si mayit menjadi hal yang dibolehkan dan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Karena bagaimanapun juga meratapi seseorang yang telah meninggal tidak dapat dibenarkan dan tidak dianjurkan dalam Islam.
3. Hadis tentang tidak ada puasa bagi orang yang junub
عَنْ أَبِى بَكْرٍقَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ فِى قَصَصِهِ : مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُبًا فَلاَ يَصُمْ
Artinya:
“Dari Abu Bakar berkata, aku mendengar Abu Hurairah bercerita: barangsiapa yang berpuasa namun ketika fajar masih dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya ...” (HR. Muslim)
Selain oleh Imam Muslim, hadis ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi dalam al-sunan al-kubrâ (vol. I, no. 8253) dan beberapa mukharrij lainnya. Sebagai seorang istri Nabi, Aisyah, tentu lebih tahu hal-hal yang bersifat privacy dari diri Rasulullah saw. Begitu pula dalam kasus ini. Ketika ada sahabat yang melaporkan hadis ini kepadanya, ia pun menyangkal dan memberitahukan kepada si penanya bahwa pernah ketika fajar Rasulullah saw. masih dalam keadaan junub kemudian ia tetap berpuasa (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 102).
Aisyah, sekali lagi, membuktikan bahwa sebagai seseorang yang paling dekat dengan Nabi, dirinya lebih tahu hal-hal privacy Rasulullah dari pada Abu Hurairah dan sahabat-sahabat yang lain.
4. Hadis tentang jumlah hari dalam satu bulan
عَنْ حَيَّاة بْنِ سَحِيْمٍ قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ : عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : الَشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُوْنَ
Artinya:
“Dari Hayyah bin Sahim berkata: aku mendengar Ibnu Umar berkata: ia dari Nabi Muhammad saw. bersabda: bulan itu (berjumlah) dua puluh sembilan hari” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Hadis ini ditolak oleh Aisyah. Walaupun ia mengingkarinya ia tetap tidak arogan dan bersikap semena-mena. Terbukti, setelah Aisyah mendengar riwayat ini, ia memohonkan ampun kepada Allah atas kesalahan yang dibuat oleh Ibnu Umar tersebut. Menurutnya, Rasulullah saw. tidak pernah berkata demikian (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 98). Akan tetapi yang pernah disabdakan oleh Rasulullah adalah riwayat sebagai berikut:
إِنَّ الشَّهْرَ قَدْ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
Artinya:
“Sesungguhnya bulan itu kadang-kadang (berjumlah) dua puluh sembilan hari” (HR. Ahmad)
Penggunaan kata " قَدْ يَكُونُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ " (kadang-kadang (berjumlah) dua puluh sembilan hari) adalah bentuk penyangkalan Aisyah; yang berarti tidak setiap bulan pasti berjumlah dua puluh sembilan hari. Pengingkaran Aisyah terhadap apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ini menujukan keberanian diri dari seorang wanita yang mempunyai ilmu dan pemahaman yang luas. Ia berani mengoreksi dan menyalahkan suatu riwayat namun setelah itu memberitahukan berita yang dianggapnya lebih benar. Di sisi lain, menurut hemat penulis, ada kemungkinan Aisyah memiliki kesadaran astronomi dalam masalah ini. Meskipun ilmu tersebut belum berkembang pada saat itu, Kepastian bahwa setiap bulan berumur dua puluh sembilan hari bisa jadi dianggap oleh Aisyah adalah sesuatu hal yang janggal, tidak masuk akal, dan tidak astronomis. Jika kemungkinan ini benar, maka penyangkalan yang dilakukan Aisyah 14 abad yang lalu terhadap riwayat yang dibawa Ibnu Umar tersebut, kini telah dilegitimasi oleh ilmu astronomi.
Demikianlah empat riwayat yang ditanggapi oleh Aisyah. Seorang wanita, yang di balik keromantisannya bersama Rasulullah, tetap memiliki sikap yang kritis dalam dirinya. Bila gender menjadi permasalahan pada saat ini, Aisyah adalah orang pertama yang membuktikan bahwa gender bukanlah menjadi masalah dalam dunia intelektual Islam terutama dalam bidang ilmu hadis.
Di satu sisi, kritik matan yang dilakukan oleh Aisyah membuktikan kapada sebagian kalangan (orientalis dan sebagian orang yang belum percaya adanya kritik matan) bahwa tradisi kritik matan dalam khazanah keilmuan hadis Islam telah dilakukan sejak zaman Nabi dan sahabat. Sementara di sisi lain, adanya contoh dari Aisyah ini hendaknya bisa memotivasi wanita-wanita muslimah pada khususnya, dan seluruh perempuan pada umumnya, untuk meneladani sosok wanita terbaik yang pernah ada dalam sejarah kehidupan manusia. Penulis yakin, KH. Ahmad Dahlan, ketika mendirikan Aisyiyah kurang lebih satu abad silam bukanlah tanpa alasan. Melainkan terinspirasi dari sosok Aisyah binti Abu Bakar, istri baginda Rasul saw. Dengan harapan kader-kader Aisyiyah tersebut bisa menjadi Aisyah-Aisyah berikutnya yang memiliki semangat kritis-intelek, ‘berani’, namun tetap santun, romantis dan religius.
*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar