Minggu, 13 Mei 2012

An-Nawar binti Malik; Ibu Cerdas di Balik Kecemerlangan Zaid bin Tsabit (Untuk Para Ibu dan Calon Ibu)

(Dikutip dengan beberapa editan dari tulisan kakak kelas saya di tempat saya sekarang menuntut ilmu. Semoga bisa bermanfaat..)                                             

Zaid bin Tsabit adalah salah satu jenius yang pernah dimiliki umat ini, pada usia belasan tahun beliau telah menjadi pencatat wahyu, delegasi bagi perundingan yang dilakukan negara Madinah dengan kerajaan-kerajaan asing, dan sebagai sekertaris pribadi Rasulullah saw. Semua tugas tersebut beliau emban karena kemampuannya yang tiada duanya dalam bidang tulis-menulis, hafalannya yang cemerlang dan kemampuannya menguasai bahasa asing yang sangat cepat.

Puncak dari kecemerlangan Zaid bin Tsabit yang dicatatat dengan tinta emas para sejarawan Islam adalah perannya yang agung sebagai ketua dan pengawas lajnah (lembaga) pembukuan Al-Qur’an. Beliau ditunjuk untuk melaksanakan amanah maha penting tersebut ketika usianya belum lagi mencapai  22 tahun. Jika memakai ukuran pemuda zaman sekarang, berarti Zaid bin Tsabit didaulat untuk melaksanakan amanah tersebut ketika beliau belum menyelesaikan kuliahnya.

Zaid bin Tsabit memang tokoh yang tiada duanya, sehingga meskipun ia telah menolak dengan kalimatnya yang menyejarah bahwa “memindahkan gunung lebih ringan baginya dibanding mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an kedalam satu mushaf, khalifah Abu Bakar as-Shiddiq tetap memilihnya dan akhirnya Zaid pun menerima amanah itu. Berkat kegigihan dan ketekunannyalah, sampai saat ini umat Islam di seluruh dunia dapat membaca Al-Qur’an di dalam satu mushaf yang mampu menampung qiraat-qiraat mu’tabar (bacaan-bacaan yang diakui keotentikannya).

Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq adalah seorang yang sangat konsisten mengikuti langkah-langkah Rasulullah, termasuk ketika beliau memilih Zaid bin Tsabit di dalam proyek tersebut. Di dalam kitab Asaddul Ghabah, Ibnu Atsir mencatat bahwa ketika perang Tabuk  Rasulullah menyerahkan panji Bani Malik bin Najjar kepada Zaid bin Tsabit karena lebih menguasai al-Quran daripada ‘Ammarah bin Hazm yang sebelumnya memegang panji tersebut. Ibnu Atsir juga mencatat pujian Rasulullah kepada Zaid ;amaa ni’mal gulam (dia adalah seorang pemuda terbaik).

Allah telah menolong umat ini melalui kecemerlangan intelektual Zaid bin Tsabit. Namun, mungkin tidak banyak umat Islam yang tahu, bahwa dibalik kecemerlangan Zaid bin Tsabit terdapat peran cerdas seorang perempuan. Sosok tersebut adalah an-Nawwar binti Malik, ibunda dari Zaid bin Tsabit sendiri. Beliau seorang diri mengasuh Zaid karena suaminya meninggal dalam suatu peperangan ketika Zaid bin Tsabit masih berusia enam tahun. Meskipun demikian beliau mampu mengantarkan putranya tersebut ke derajat yang sangat mulia, sehingga Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman mengangkatnya menjadi sekertaris pribadi sekaligus menggantikan mereka melaksanakan tugas kenegaraan ketika sedang berhalangan. Kisahnya menjadi sangat menarik untuk ditelaah dan dipetik hikmahnya serta dijadikan uswah ketika muncul banyak suara-suara sumbang nan aneh yang mengaggap wanita yang maju adalah mereka yang berkiprah di ranah publik dan tidak terkurung di kubangan tetek-bengek domestik, dimana mendidik anak termasuk di dalamnya.

Kisah itu dimulai pada suatu hari ketika langit Madinah dipenuhi oleh ghirah (semangat) juang para mujahidin (orang-orang yang berjihad). Rasulullah saw. dan para sahabat tengah bersiap-siap menuju medan perang Badar. Zaid bin Tsabit ketika itu masih berumur tiga belas tahun, namun ia tidak mau ketinggalan dalam membela agama Allah, maka ia pun mengambil pedangnya dan menghadap Rasulullah hendak mendaftarkan diri bergabung dengan pasukan. Dengan menyeret pedangnya yang berat Zaid bin Tsabit menghampiri Rasulullah, meski tidak sanggup mengangkat pedangnya, semangatnya sungguh tinggi. Akan tetapi di dalam peperangan yang sesungguhnya semangat saja tidak cukup, postur tubuh Zaid serta usianya yang masih terlalu belia, membuat Rasulullah saw. tidak bisa menerimanya untuk bergabung dengan pasukan perang Badar.

Mendapati dirinya ditolak masuk kedalam barisan mujahidin, Zaid muda menjadi sangat sedih. Harapannya untuk bisa berkontribusi bagi tegaknya agama Allah dan keberlangsungan negara Madinah yang baru dirintis pupus sudah, ia pun pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata. Sesampainya di rumah, ia menemui ibunda tercinta, an-Nawar binti Malik dan berkata kepadanya, 

 “Rasulullah saw melarangku berjihad.”

An-Nawar binti Malik adalah seorang ibu yang bijaksana, ia paham betul bahwa di dalam jiwa anaknya sedang berkobar semangat untuk bisa memberikan sesuatu bagi agamanya, ia tahu dengan pasti bahwa putranya sangat ingin mengabdi demi tegaknya kalimatullah. Namun sahabiyah (sahabat perempuan) yang mulia itu juga mengerti dengan jelas penolakan Rasulullah terhadap anaknya. Zaid jelas masih terlalu belia untuk terjun ke dalam suatu peperangan. Lalu apa yang dilakukan ibu yang bijaksana itu? simaklah jawabannya kepada sang anak,

“Jangan bersedih, engkau bisa membela Islam dengan cara lain. Jika tidak mungkin dengan jihad ke medan perang, cobalah berjihad melalui lisan atau tulisan.”

Ibu yang baik tentu tahu kualitas, potensi, bakat dan keunggulan anaknya. Begitulah an-Nawar binti Malik, ia tahu bahwa putranya memiliki potensi intelektual yang menjanjikan. Zaid bin Tsabit adalah seorang anak yang cerdas. Oleh karena itu ia mengarahkan anaknya untuk lebih mengembangkan potensinya sekaligus sebagai hiburan bagi anaknya yang tengah kecewa karena belum diizinkan bergabung di dalam sebuah peperangan. Negara Madinah tentu membutuhkan orang-orang yang cakap beroterika dan lihai bernegosiasi, belum lagi kemampuan baca-tulis masih merupakan barang langka waktu itu. An-Nawar binti Malik tahu bahwa putranya sangat mungkin menguasai kedua kemampuan urgen itu. Ia lalu meyakinkan putranya seraya berkata,

“Engkau menguasai Al-Qur’an dengan sempurna juga bisa menuliskannya, ini jarang terjadi pada saat ini. Engkau telah banyak menghafal Al-Qur’an dengan hafalan yang baik. Oleh karena itu, mari kita pergi kepada Rasulullah saw dan kita akan melihat bagaimana kita bisa menentukan potensi-potensi ini untuk membela Islam dan kaum muslimin.”

Tidak hanya memberikan motivasi, pada hari yang telah ditentukan bersama beberapa orang dari kabilahnya, an-Nawar binti Malik mengantarkan Zaid untuk bertemu Rasulullah saw untuk melihat apa yang bisa dilakukan anak itu dengan potensi yang dimilikinya. Mereka berkata,

“Ya Rasul, anak kami Zaid bin Tsabit ini hafal 17 surah dari Al-Qur’an dan dia membacanya dengan benar sebagaimana ketika wahyu itu diturunkan kepadamu. Terlebih lagi, ia pandai membaca dan menulis. Ia (Zaid bin Tsabit) ingin agar dengan kemampuannya tersebut ia bisa dekat dan menetap denganmu. Jika engkau mau, simaklah bacaannya.”

Rasulullah saw pun mempersilakan Zaid menunjukan kemampuannya, setelah mendengarnya beliau saw terpukau dan mengakui kehebatan hafalan Zaid. Tidak cuma itu, beliau juga sangat menghargai kecakapan baca-tulis yang dimiliki remaja belasan tahun itu. Tanpa mempermasalahkan lagi umurnya yang belia, Rasulullah saw kemudian memberikan amanah pertama kepada Zaid, amanah yang menjadi tonggak jihad pena yang tetap dia laksanakan bahkan setelah Rasulullah saw wafat. Rasulullah saw bersabda kepadanya,

“Wahai Zaid, pelajarilah kitab Yahudi untukku karena aku tidak bisa membuat mereka beriman kepada apa yang aku katakan kepada mereka.”

Tugas memepelajari kitab Yahudi yang diberikan kepada pemuda itu bukan hanya berarti ia harus berjibaku dengan diskursus perbandingan agama, ia juga harus mempelajari bahasa Ibrani, sebuah bahasa yang sangat penting ketika itu. Misi mendalami ideologi dan  bahasa kaum Yahudi itu dilaksanakan dengan baik oleh Zaid bin Tsabit ketika ia berusia 13 tahun. Dalam waktu singkat, Zaid bin Tsabit berhasil menyempurnakan misi tersebut, bahkan ia mampu berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Ibrani seperti penutur aslinya.

Potensi yang dimiliki Zaid yang diperkenalkan oleh ibundanya mampu dibaca dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Rasulullah saw. Para sejarawan atau penulis thabaqat sahabat (biografi-bografi sahabat) seperti Ibnu Atsir, Ibnu ‘Abdil Barr dan lainnya mencatat bahwa Zaid diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempelajari bahasa Suryani. Bahasa ini termasuk bahasa yang populer pada zaman itu. Bahasa Suryani dapat dikuasai oleh Zaid kurang dari dua puluh hari. Sejak saat itu Zaid bin Tsabit aktif sebagai penerjemah bagi pemerintahan Islam Madinah, penulis wahyu, penulis surat, peserta perundingan antara kabilah-kabilah atau negara asing dengan negara Islam Madinah. Sekali lagi, semua itu mulai dia lakukan ketika ia berusia 13 tahun. Beliau tetap tekun melaksanakan semua amanah itu hingga masa kenabian berakhir, beralih kepada masa Khulafa Rasyidin.

Tidah hanya unggul di dalam ranah-ranah yang telah disebutkan di atas, Zaid bin Tsabit juga terkenal sebagai sahabat Rasulullah yang paling paham mengenai ilmu kewarisan Islam. Sehingga Rasulullah saw diriwayatkan pernah bersabda ;
أفرض أمتي زيد بن ثابت
Faraid (ilmu waris) dari ummatku adalah Zaid bin Tsabit. (HR. Al-Hakim, kata al-Hakim sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim).
Berpegang pada hadis tersebut, Imam as-Syafi’i selalu mendasarkan pedapatnya dalam ilmu waris kepada Zaid bin Tsabit. Imam Malik bin Anas penghulu madrasah Ahlul Hadis yang berpusat di Madinah, pernah berkata ;


إن زيدا كان إمام الناس بالمدينة بعد عمر بن الخطاب رضي الله عنه
artinya: Zaid adalah imam orang-orang di Madinah setelah Umar bin Khattab ra.

Peran an-Nawar binti Malik di dalam kegemilangan karir, amal, dan jihad intelektual Zaid bin Tsabit tentu sangatlah besar. An-Nawar lah yang mampu membaca potensi anaknya, mengarahkannya dan mendukung anaknya semaksimal mungkin. Ia bahkan mengajak beberapa anggota kabilahnya menghadapkan anaknya kepada Nabi Muhammad saw, seorang kepala negara, pemimpin ummat untuk menunjukan kemapuan anaknya. Tentu hal itu membangkitkan kepercayaan diri putraya. An-Nawar binti Malik adalah seorang single parent, tetapi itu tidak menjadi alasan baginya untuk menerlantarkan anaknya demi mencari uang.

Ketika membaca kisah Zaid dan Ibunya yang inspiratif ini, saya teringat pada tulisan seorang bloger feminis di blognya yang dikutip oleh aboutfeminism.blogspot.com. Ketika ia misuh-misuh menceritakan masa kehamilannya, sang feminis menulis:

 “Dulu, saat hamil, saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan kasih susu Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui. Saya sangat paham hak anak, tapi my body is my right! Enak saja semua tanggung jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil”.  

Jika para muslimah telah mengadopsi sesumbar khas feminis my body is my right, masihkah ada seorang ibu sekualitas an-Nawar binti Malik yang mampu melahirkan, mendidik, dan mengantarkan anaknya menjadi secemerlang Zaid bin Tsabit?. Suatu peradaban akan tegak di atas tradisi ilmu, ilmu hanya dapat berkembang di tangan para ilmuwan sejati, dan ilmuwan sejati bermula dari pendidikan ibunya yang baik sejak kecil, jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wanita adalah tiang peradaban. Maka inilah an-Nawar binti Malik, salah satu tiang peradaban Islam dari zaman sahabat, lalu dimanakah engkau wahai muslimah masa kini?.  
Wallahu ‘alam bisshawab.
  




Referensi:

Muqarrar as-Sirah li shaf as-Salis al-I’dady bi Qatr, Dr. Ali Muhammad Jammaz dkk
Risalah ila Syabab al-Ummah (Risalah Bagi Pemuda Islam), Dr. Raghib as-Sirjani. Alih bahasa oleh Mbagus Rois.
 Asadd al-Ghabah, Imam Ibnu Atsir
Al-‘Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, Imam Ibnu Abdil Barr
Radikalisme Feminis Mazhab Chicago, Sarah Larasati Montovani, di http://aboutfeminism.blogspot.com

Rabu, 09 Mei 2012

Aisyah; Sang Kritikus Hadis yang Romantis



(Sebuah Review atas Buku al-Ijâbah li îrâdi mâ Istadrakathu ‘Âisyah ‘ala al-Shahâbah Karya Badruddîn al-Zarkasyi)

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Aisyah binti Abu Bakar adalah salah satu istri Nabi yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan istri-istri Nabi yang lain. Dalam catatan sejarah, Aisyah adalah satu-satunya wanita gadis (virgin) yang dinikahi oleh Nabi Muhammad saw. selama hidupnya  (al-Dzahabiy, Siyâr A’lâmi al-Nubalâ’, vol. II, hal. 141). Sebagai seorang wanita yang menjadi istri manusia terbaik di muka bumi, ia tetap bisa memposisikan dirinya sebagai seorang pendamping yang romantis. Keromantisan Aisyah dan Nabi ini, misalnya, sangat tergambar dari kisah lomba lari yang pernah mereka lakukan. Dalam kisah tersebut Aisyah yang pada pertandingan pertama melawan Rasulullah masih bisa menang karena badannya ketika itu masih kurus, tertatih-tatih pada pertandingan kedua sebab badannya telah menggemuk. Rasulullah yang menyadari akan perubahan bentuk tubuh Aisyah ini lalu mendahuluinya sambil tertawa dan berkata: “ini untuk kekalahanku yang dulu”. (Nâshiruddîn al-Albâniy, Âdâbu al-Zifâf, hal. 276). Selain itu, layaknya sepasang kekasih, romantisme diantara mereka juga tampak tatkala Aisyah mandi bersama-sama Rasulullah saw. dalam satu bejana. Sebagaimana yang diceritakan Aisyah sendiri dalam suatu riwayat:

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُوْلَ دَعْ لِيْ دَعْ لِيْ قَالَتْ وَهُمَا جُنُبَانِ

Artinya:
Aku mandi bersama Rasulullah saw. dari satu bejana (yang diletakan) antara kami berdua, maka Rasulullah saw. mendahuluiku (dalam mengambil air dari bejana) hingga aku berkata, “Sisakan air untukku, sisakan air untukku”. Dan mereka berdua dalam keadaan junub. (HR.Muslim, vol. I, no. 321)

Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Nabi Muhammad saw (HR. Bukhari, vol. V, no. 3662). Begitu pula Aisyah, cintanya yang begitu besar kepada Nabi membuat ia menjadi wanita yang sangat pencemburu. Pernah suatu ketika Aisyah terbangun di tengah malam dan mendapati Nabi tidak berada di sampingnya. Spontan, ia pun mencari-cari Nabi di kamar istri-istri yang lain, dan tetap tidak menemukannya. Sampai akhirnya ia menjumpai Nabi sedang bersujud di masjid. Aisyah pun kembali ke kamarnya dengan berlari sehingga nafasnya terengah-engah. Ketika Nabi selesai salat dan tahu apa yang  baru saja Aisyah lakukan, Nabi lantas bertanya: “Wahai Aisyah, apakah engkau mengira aku mengkhianatimu?” (Yâsîn Rasydî, Nisâ’un Mu’minâtun: al-Qudwah min al-Nisâ’, hal. 29-30).

Selain wanita pencemburu dan romantis, Aisyah adalah seorang wanita yang sangat cerdas (Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Istîâb fî Ma’rifati al-Ashhâb, hal. 920). Ia juga seorang ahli fikih terkemuka yang menjadi tempat rujukan bagi sahabat-sahabat yang lain (al-Dzahabiy, Tadzkiratu al-Huffâzh, hal. 37). Di balik kecerdasannya inilah ia memiliki sikap yang kritis, terutama pada masalah-masalah yang menurutnya tidak sesuai dengan dasar-dasar agama Islam yang ia ketahui; lebih khusus lagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan periwayatan hadis.

Dalam bidang hadis ini, Aisyah tidak perlu diragukan lagi kapasitas dan kredibilitasnya. Soal kuantitas hadis yang diriwayatkan, ia hanya satu level di bawah Abu Hurairah, dengan 2.210 hadis (Muhammad Abu Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, hal. 138). Cerminan dari kekritisan dan kecerdasan Aisyah tersebut dihimpun oleh Badruddîn al-Zarkasyi (w. 794 H), seorang ahli hadis kelahiran Mesir, dalam salah satu bukunya yang berjudul al-Ijâbah li îrâdi mâ Istadrakathu ‘Âisyah ‘ala al-Shahâba(Jawaban untuk Mengetengahkan Tanggapan Aisyah terhadap Para Sahabat). Selain bukunya dalam bidang hadis, al-Zarkasyi yang juga bermadzhab Syafi’i ini banyak menelurkan karya-karya dalam berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya; al-Burhân fî ‘Ulûmi al-Qur’ân dalam bidang ulumul qur’an, al-Bahru al-Muhîth dalam bidang ushul fikih, dan I’lâm al-Sâjid bi Ahkâmi al-Masâjid dalam bidang fikih (al-Zarkasyi,al-Ijâbah.. hal. 6-7).

Di dalam buku al-Ijâbah-nya, al-Zarkasyi mengumpulkan tanggapan-tanggapan Aisyah terhadap riwayat-riwayat para sahabat yang menurut istri nabi tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, baik yang berdasarkan pendapatnya sendiri maupun yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang lebih otentik. Selain itu, ia juga mengemukakan – dalam bukunya – empat puluh kekhususan yang dimiliki oleh putri Abu Bakar ini (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 17-55), sekaligus tentunya riwayat-riwayat sahabat yang dikritisi olehnya. Ada kurang lebih 80 hadis yang ditanggapi oleh Aisyah. Di dalamnya ada 22 nama sahabat terkenal yang pernah ‘merasakan’ kritikan dari si Humaira (panggilan sayang nabi kepada Aisyah). Dalam tulisan ini, akan dipaparkan 4 tanggapan Aisyah – yang terdapat dalam buku al-Zarkasyi - terhadap riwayat-riwayat sahabat yang menurut hemat penulis sangat representatif untuk menunjukan kecerdasan, ‘keberanian’ dan kekritisannya.

1.      Hadis tentang anjing, khimar, dan wanita yang disebut sebagai pembatal salat

 عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الصَامِتِ قاَلَ سَمِعْتُ أَباَ ذَرٍّ يَقُوْلُ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَلَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ كَآخِرَةِ الرَّحْلِ أَوْ كَوَاسطَةِ الرَّحْلِ قَطَعَ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ وَالْمَرْءَةُ وَالحِمَارُ (رواه الترمذي)

Artinya:
Dari Abdullah bin al-Shamith berkata: aku mendengar Abu Dzar berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda: Apabila seorang laki-laki salat dan di depannya tidak ada pembatas atau penanda, lalu melintas di depannya seekor anjing, seorang perempuan, dan khimar maka batallah salatnya” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini selain diriwayatkan oleh Tirmidzi, diriwayatkan pula oleh beberapa mukharrij dari berbagai jalur yang berbeda dengan substansi yang tetap sama, diantaranya oleh Imam Muslim (vol. I, no. 265) yang terkenal ketat dalam menerima riwayat hadis. Al-Albani juga telah menshahihkan hadis ini dalamShahîh wa Dha’îf Sunan al-Tirmidziy (vol. I, no. 338). Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarkasyi (al-Zarkasyi, al-Ijâbah.. hal. 153-154), hadis tersebut mendapatkan kritikan dari Aisyah seperti yang terdapat dalam riwayat di bawah ini:

عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ!؟ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ   (رواه البخاري)

Artinya:
Dari Aisyah, bahwa telah diceritakan kepadanya: ada sesuatu yang bisa membatalkan salat, yaitu: anjing, khimar, dan wanita. Kemudian Aisyah berkata: kalian menyamakan kami (wanita) dengan khimar dan anjing!? Demi Allah! Sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw. salat di depanku dan aku sedang tidur-tiduran di ranjang, kemudian aku merasa tidak nyaman kiranya aku mengganggu beliau. Lalu aku pun berpindah dan tidak menghalangi lagi kiblatnya” (HR. Bukhari)

Dalam hadis tersebut terlihat dua bentuk kritikan Aisyah terhadap matan dari Abu Dzar al-Ghifari;Pertama, mengenai masalah sosio-kultural, yakni menyamakan posisi wanita dengan anjing dan khimar dalam hal membatalkan salat. Sikap kritis Aisyah ini ditunjukan dengan perkataannya ”!?  شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ” (kalian menyamakan kami (wanita) dengan khimar dan anjing!?). Kedua, masalah yang terkait dengan fikih, yaitu Aisyah tidak menganggap bahwa wanita yang lewat di depan laki-laki yang sedang salat dapat membatalkan salatnya, karena hal ini bertentangan dengan realita yang pernah terjadi antara dirinya dan Rasulullah; yakni Rasulullah saw. pernah salat di depan Aisyah yang sedang berbaring di depannya dan rasul tidak memberikan komentar apapun mengenai peristiwa tersebut.

Lalu bagaimanakah mensikapi dua hadis di atas yang sama-sama shahih namun terlihat saling bertentangan?. Para ulama berselisih pendapat terkait masalah ini, namun jalan keluar terbaik yang dipilih mayoritas ulama sebagaimana dipaparkan al-Shan’âniy dalam Subulu al-Salâm-nya adalah dengan cara mentakwilnya. Bahwa yang dimaksud dengan lafal يَقْطَعُ atau قَطَعَ dalam kedua hadis di atas ialah “mengurangi pahala orang yang sedang salat” karena dapat menyibukan hati atau dapat menggangu konsentrasi, bukan membatalkan salatnya (al-Shan’âniy, Subulu al-Salâm, vol. I, hal. 203).