(Dikutip dengan beberapa editan dari tulisan kakak kelas saya di
tempat saya sekarang menuntut ilmu. Semoga bisa
bermanfaat..)
Zaid
bin Tsabit adalah salah satu jenius yang pernah dimiliki umat ini, pada
usia belasan tahun beliau telah menjadi pencatat wahyu, delegasi bagi
perundingan yang dilakukan negara Madinah dengan kerajaan-kerajaan
asing, dan sebagai sekertaris pribadi Rasulullah saw. Semua tugas
tersebut beliau emban karena kemampuannya yang tiada duanya dalam bidang
tulis-menulis, hafalannya yang cemerlang dan kemampuannya menguasai
bahasa asing yang sangat cepat.
Puncak dari kecemerlangan
Zaid bin Tsabit yang dicatatat dengan tinta emas para sejarawan Islam
adalah perannya yang agung sebagai ketua dan pengawas lajnah
(lembaga) pembukuan Al-Qur’an. Beliau ditunjuk untuk melaksanakan amanah
maha penting tersebut ketika usianya belum lagi mencapai 22 tahun.
Jika memakai ukuran pemuda zaman sekarang, berarti Zaid bin Tsabit
didaulat untuk melaksanakan amanah tersebut ketika beliau belum
menyelesaikan kuliahnya.
Zaid bin Tsabit memang tokoh yang tiada duanya, sehingga meskipun ia telah menolak dengan kalimatnya yang menyejarah bahwa “memindahkan gunung lebih ringan baginya dibanding mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an kedalam satu mushaf”,
khalifah Abu Bakar as-Shiddiq tetap memilihnya dan akhirnya Zaid pun
menerima amanah itu. Berkat kegigihan dan ketekunannyalah, sampai saat
ini umat Islam di seluruh dunia dapat membaca Al-Qur’an di dalam satu
mushaf yang mampu menampung qiraat-qiraat mu’tabar (bacaan-bacaan yang diakui keotentikannya).
Khalifah
Abu Bakar as-Shiddiq adalah seorang yang sangat konsisten mengikuti
langkah-langkah Rasulullah, termasuk ketika beliau memilih Zaid bin
Tsabit di dalam proyek tersebut. Di dalam kitab Asaddul Ghabah, Ibnu
Atsir mencatat bahwa ketika perang Tabuk Rasulullah menyerahkan panji
Bani Malik bin Najjar kepada Zaid bin Tsabit karena lebih menguasai
al-Quran daripada ‘Ammarah bin Hazm yang sebelumnya memegang panji
tersebut. Ibnu Atsir juga mencatat pujian Rasulullah kepada Zaid ;amaa ni’mal gulam (dia adalah seorang pemuda terbaik).
Allah
telah menolong umat ini melalui kecemerlangan intelektual Zaid bin
Tsabit. Namun, mungkin tidak banyak umat Islam yang tahu, bahwa dibalik
kecemerlangan Zaid bin Tsabit terdapat peran cerdas seorang perempuan.
Sosok tersebut adalah an-Nawwar binti Malik, ibunda dari Zaid bin Tsabit
sendiri. Beliau seorang diri mengasuh Zaid karena suaminya meninggal
dalam suatu peperangan ketika Zaid bin Tsabit masih berusia enam tahun.
Meskipun demikian beliau mampu mengantarkan putranya tersebut ke derajat
yang sangat mulia, sehingga Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman
mengangkatnya menjadi sekertaris pribadi sekaligus menggantikan mereka
melaksanakan tugas kenegaraan ketika sedang berhalangan. Kisahnya
menjadi sangat menarik untuk ditelaah dan dipetik hikmahnya serta
dijadikan uswah ketika muncul banyak suara-suara sumbang nan aneh yang
mengaggap wanita yang maju adalah mereka yang berkiprah di ranah publik
dan tidak terkurung di kubangan tetek-bengek domestik, dimana mendidik
anak termasuk di dalamnya.
Kisah itu dimulai pada suatu hari ketika langit Madinah dipenuhi oleh ghirah (semangat) juang para mujahidin
(orang-orang yang berjihad). Rasulullah saw. dan para sahabat tengah
bersiap-siap menuju medan perang Badar. Zaid bin Tsabit ketika itu masih
berumur tiga belas tahun, namun ia tidak mau ketinggalan dalam membela
agama Allah, maka ia pun mengambil pedangnya dan menghadap Rasulullah
hendak mendaftarkan diri bergabung dengan pasukan. Dengan menyeret
pedangnya yang berat Zaid bin Tsabit menghampiri Rasulullah, meski tidak
sanggup mengangkat pedangnya, semangatnya sungguh tinggi. Akan tetapi
di dalam peperangan yang sesungguhnya semangat saja tidak cukup, postur
tubuh Zaid serta usianya yang masih terlalu belia, membuat Rasulullah
saw. tidak bisa menerimanya untuk bergabung dengan pasukan perang Badar.
Mendapati
dirinya ditolak masuk kedalam barisan mujahidin, Zaid muda menjadi
sangat sedih. Harapannya untuk bisa berkontribusi bagi tegaknya agama
Allah dan keberlangsungan negara Madinah yang baru dirintis pupus sudah,
ia pun pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata. Sesampainya di
rumah, ia menemui ibunda tercinta, an-Nawar binti Malik dan berkata
kepadanya,
“Rasulullah saw melarangku berjihad.”
An-Nawar
binti Malik adalah seorang ibu yang bijaksana, ia paham betul bahwa di
dalam jiwa anaknya sedang berkobar semangat untuk bisa memberikan
sesuatu bagi agamanya, ia tahu dengan pasti bahwa putranya sangat ingin
mengabdi demi tegaknya kalimatullah. Namun sahabiyah
(sahabat perempuan) yang mulia itu juga mengerti dengan jelas penolakan
Rasulullah terhadap anaknya. Zaid jelas masih terlalu belia untuk terjun
ke dalam suatu peperangan. Lalu apa yang dilakukan ibu yang bijaksana
itu? simaklah jawabannya kepada sang anak,
“Jangan
bersedih, engkau bisa membela Islam dengan cara lain. Jika tidak mungkin
dengan jihad ke medan perang, cobalah berjihad melalui lisan atau
tulisan.”
Ibu yang baik tentu tahu kualitas,
potensi, bakat dan keunggulan anaknya. Begitulah an-Nawar binti Malik,
ia tahu bahwa putranya memiliki potensi intelektual yang menjanjikan.
Zaid bin Tsabit adalah seorang anak yang cerdas. Oleh karena itu ia
mengarahkan anaknya untuk lebih mengembangkan potensinya sekaligus
sebagai hiburan bagi anaknya yang tengah kecewa karena belum diizinkan
bergabung di dalam sebuah peperangan. Negara Madinah tentu membutuhkan
orang-orang yang cakap beroterika dan lihai bernegosiasi, belum lagi
kemampuan baca-tulis masih merupakan barang langka waktu itu. An-Nawar
binti Malik tahu bahwa putranya sangat mungkin menguasai kedua kemampuan
urgen itu. Ia lalu meyakinkan putranya seraya berkata,
“Engkau
menguasai Al-Qur’an dengan sempurna juga bisa menuliskannya, ini jarang
terjadi pada saat ini. Engkau telah banyak menghafal Al-Qur’an dengan
hafalan yang baik. Oleh karena itu, mari kita pergi kepada Rasulullah
saw dan kita akan melihat bagaimana kita bisa menentukan potensi-potensi
ini untuk membela Islam dan kaum muslimin.”
Tidak
hanya memberikan motivasi, pada hari yang telah ditentukan bersama
beberapa orang dari kabilahnya, an-Nawar binti Malik mengantarkan Zaid
untuk bertemu Rasulullah saw untuk melihat apa yang bisa dilakukan anak
itu dengan potensi yang dimilikinya. Mereka berkata,
“Ya
Rasul, anak kami Zaid bin Tsabit ini hafal 17 surah dari Al-Qur’an dan
dia membacanya dengan benar sebagaimana ketika wahyu itu diturunkan
kepadamu. Terlebih lagi, ia pandai membaca dan menulis. Ia (Zaid bin
Tsabit) ingin agar dengan kemampuannya tersebut ia bisa dekat dan
menetap denganmu. Jika engkau mau, simaklah bacaannya.”
Rasulullah
saw pun mempersilakan Zaid menunjukan kemampuannya, setelah
mendengarnya beliau saw terpukau dan mengakui kehebatan hafalan Zaid.
Tidak cuma itu, beliau juga sangat menghargai kecakapan baca-tulis yang
dimiliki remaja belasan tahun itu. Tanpa mempermasalahkan lagi umurnya
yang belia, Rasulullah saw kemudian memberikan amanah pertama kepada
Zaid, amanah yang menjadi tonggak jihad pena yang tetap dia laksanakan
bahkan setelah Rasulullah saw wafat. Rasulullah saw bersabda kepadanya,
“Wahai
Zaid, pelajarilah kitab Yahudi untukku karena aku tidak bisa membuat
mereka beriman kepada apa yang aku katakan kepada mereka.”
Tugas
memepelajari kitab Yahudi yang diberikan kepada pemuda itu bukan hanya
berarti ia harus berjibaku dengan diskursus perbandingan agama, ia juga
harus mempelajari bahasa Ibrani, sebuah bahasa yang sangat penting
ketika itu. Misi mendalami ideologi dan bahasa kaum Yahudi itu
dilaksanakan dengan baik oleh Zaid bin Tsabit ketika ia berusia 13
tahun. Dalam waktu singkat, Zaid bin Tsabit berhasil menyempurnakan misi
tersebut, bahkan ia mampu berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Ibrani seperti penutur aslinya.
Potensi yang dimiliki Zaid
yang diperkenalkan oleh ibundanya mampu dibaca dan dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh Rasulullah saw. Para sejarawan atau penulis thabaqat sahabat (biografi-bografi sahabat) seperti
Ibnu Atsir, Ibnu ‘Abdil Barr dan lainnya mencatat bahwa Zaid
diperintahkan oleh Rasulullah untuk mempelajari bahasa Suryani. Bahasa
ini termasuk bahasa yang populer pada zaman itu. Bahasa Suryani dapat
dikuasai oleh Zaid kurang dari dua puluh hari. Sejak saat itu Zaid bin
Tsabit aktif sebagai penerjemah bagi pemerintahan Islam Madinah, penulis
wahyu, penulis surat, peserta perundingan antara kabilah-kabilah atau
negara asing dengan negara Islam Madinah. Sekali lagi, semua itu mulai
dia lakukan ketika ia berusia 13 tahun. Beliau tetap tekun melaksanakan
semua amanah itu hingga masa kenabian berakhir, beralih kepada masa
Khulafa Rasyidin.
Tidah hanya unggul di dalam ranah-ranah
yang telah disebutkan di atas, Zaid bin Tsabit juga terkenal sebagai
sahabat Rasulullah yang paling paham mengenai ilmu kewarisan Islam.
Sehingga Rasulullah saw diriwayatkan pernah bersabda ;
أفرض أمتي زيد بن ثابت
Faraid (ilmu waris) dari ummatku adalah Zaid bin Tsabit. (HR. Al-Hakim, kata al-Hakim sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim).
Berpegang
pada hadis tersebut, Imam as-Syafi’i selalu mendasarkan pedapatnya
dalam ilmu waris kepada Zaid bin Tsabit. Imam Malik bin Anas penghulu
madrasah Ahlul Hadis yang berpusat di Madinah, pernah berkata ;
إن زيدا كان إمام الناس بالمدينة بعد عمر بن الخطاب رضي الله عنه
artinya: Zaid adalah imam orang-orang di Madinah setelah Umar bin Khattab ra.
Peran
an-Nawar binti Malik di dalam kegemilangan karir, amal, dan jihad
intelektual Zaid bin Tsabit tentu sangatlah besar. An-Nawar lah yang
mampu membaca potensi anaknya, mengarahkannya dan mendukung anaknya
semaksimal mungkin. Ia bahkan mengajak beberapa anggota kabilahnya
menghadapkan anaknya kepada Nabi Muhammad saw, seorang kepala negara,
pemimpin ummat untuk menunjukan kemapuan anaknya. Tentu hal itu
membangkitkan kepercayaan diri putraya. An-Nawar binti Malik adalah
seorang single parent, tetapi itu tidak menjadi alasan baginya untuk menerlantarkan anaknya demi mencari uang.
Ketika
membaca kisah Zaid dan Ibunya yang inspiratif ini, saya teringat pada
tulisan seorang bloger feminis di blognya yang dikutip oleh aboutfeminism.blogspot.com. Ketika ia misuh-misuh menceritakan masa kehamilannya, sang feminis menulis:
“Dulu,
saat hamil, saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya
akan kasih susu Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui.
Saya sangat paham hak anak, tapi my body is my right! Enak saja semua tanggung jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui. Rasanya tidak adil”.
Jika para muslimah telah mengadopsi sesumbar khas feminis my body is my right,
masihkah ada seorang ibu sekualitas an-Nawar binti Malik yang mampu
melahirkan, mendidik, dan mengantarkan anaknya menjadi secemerlang Zaid
bin Tsabit?. Suatu peradaban akan tegak di atas tradisi ilmu, ilmu hanya
dapat berkembang di tangan para ilmuwan sejati, dan ilmuwan sejati
bermula dari pendidikan ibunya yang baik sejak kecil, jadi tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa wanita adalah tiang peradaban. Maka
inilah an-Nawar binti Malik, salah satu tiang peradaban Islam dari zaman
sahabat, lalu dimanakah engkau wahai muslimah masa kini?.
Wallahu ‘alam bisshawab.
Referensi:
Muqarrar as-Sirah li shaf as-Salis al-I’dady bi Qatr, Dr. Ali Muhammad Jammaz dkk
Risalah ila Syabab al-Ummah (Risalah Bagi Pemuda Islam), Dr. Raghib as-Sirjani. Alih bahasa oleh Mbagus Rois.
Asadd al-Ghabah, Imam Ibnu Atsir
Al-‘Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, Imam Ibnu Abdil Barr
Radikalisme Feminis Mazhab Chicago, Sarah Larasati Montovani, di http://aboutfeminism.blogspot.com