Ramadan adalah bulan Allah yang begitu mulia. Betapa banyak
hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan bulan ini. Diantaranya
disebutkan bahwa Ramadan menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya
dan menyediakan kesempatan yang lebih banyak untuk menambah pahala
dengan memperbanyak ibadah. Berangkat dari semangat ibadah itulah
kemudian banyak orang yang ‘terpeleset’ ke dalam ibadah-ibadah yang
tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di bulan ini. Ada banyak
hadis-hadis dhaif, bahkan palsu (maudhu’) yang berserakan seputar bulan Ramadhan. Abdullah al-Himadi, seorang sarjana hadis dari Emirat Arab, menghimpun ratusan hadis dha’if dalam kitabnya Tahdziru al-Khillan min Riwayati al-Ahadits al-Dha’ifah haula Ramadhan. Menurut penelitian ini, terdapat lebih dari seratus hadis dha’if dan maudhu’ (palsu) seputar bulan Ramadan. Ini menunjukkan bahwa Ramadhan merupakan ‘surga empuk’ bagi beredarnya hadis-hadis palsu.
Dalam ilmu Mustalahul Hadis disebutkan bahwa di antara sebab munculnya hadis-hadis dha’if
adalah semangat ibadah yang terlalu tinggi, namun tidak diiringi oleh
sikap ke-hati-hati-an dalam melihat dalil-dalil agama. Subhi Salih (Ulumul Hadits wa Mustalahuh,
2009: 249) menyatakan bahwa banyak orang yang zuhud dan sufi di zaman
dulu tak dapat menahan nafsu untuk memalsukan hadis untuk kepentingan
mendorong orang berbuat baik. Di zaman sekarang kita sering kali pula
menyaksikan para dai dan mubaligh, yang karena keterbatasan pengetahuan
tentang kualitas dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan
hadis-hadis dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam,
semangat tinggi dan niat baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun
juga harus sesuai dengan tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah
Saw. (QS. 3: 31).
Definisi Hadis Sahih
Ibnu
Salah (w. 643 H/1245), salah seorang ulama hadis abad pertengahan yang
memiliki banyak pengaruh di kalangan ulama hadis sezaman dan sesudahnya,
telah memberikan definisi atau pengertian hadis sahih sebagai berikut:
الْحَدِيْثُ
الْمُسْنَدُ الذِي اِتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَابِطِ
عَنِ الْعَدْلِ الضَابِطِ إِلَي مُنْتَهَاُه وَ لَا يَكُوْنُ شَاذًا وَلَا
مُعَلَّّلاً
“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal. 1).
Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, sampai akhir sanad
dari hadis itu. Kedua, periwayat bersifat adil. Diantara unsur adil di
sini adalah dapat dipercaya, tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan
dan tidak berbuar dosa besar. Ketiga, periwayat bersifat dhabit,
yaitu orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Keempat,
terhindar dari syaz, yaitu periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.
Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr, Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matan-nya juga sahih.
Dengan
mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama
menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai
hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih, alias hadis dha’if.
Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Para ulama sepakat untuk menolak pengamalan hadis dhaif, terutama yang berkaitan dengan informasi tentang halal dan haram. Para ahli hadis bersikap tasyaddud (ketat
dan keras) dalam hal tersebut, sehingga mereka hanya menerima hadis
yang paling tinggi derajatnya, atau yang disebut ‘sahih’. Ibnu Taimiyyah
menyatakan bahwa bahkan dalam masalah istihbab (perbuatan yang dianggap sunnah) pun hadis dha’if tertolak. Dalam Majmu’atul Fatawa (vol. I, hal. 251), ia menyatakan:
وَلَمْ
يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَجْعَلَ الشَىْءَ
وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ وَمَنْ قَالَ هَذَا
فَقَدْ خَالَفَ اْلإِجْمَاعَ
“Tidak seorang imampun yang membolehkan menjadikan suatu perbuatan wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang mengatakan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.
Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut berbunyi:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ وَ الَتْوقِيْفُ
“Pada dasarnya hukum ibadah adalah haram dan menunggu perintah”
Namun dalam masalah keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak hadis-hadis dhaif
yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu perbuatan. Pendapat ini
dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul Arabi dan Ibnu Hibban
(al-Hamadi, 2002: 37). Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun.
Sebagian lagi menerima hadis dhaif dengan tiga syarat, yaitu:
pertama, hadis yang diriwayatkan itu tidak terlalu daif, kedua, isinya
termasuk ke dalam prinsip umum yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan
Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak bertentangan dengan dalil yang lebih
kuat (Subhi Salih, 2009: 197). Ada pula yang menambahkan syarat keempat
dan kelima, yaitu tidak menisbahkan hadis tersebut kepada Rasulullah
saat mengamalkannya dan tidak mengandung informasi yang bertentangan
dengan realitas empirik (Yusuf Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).
Hadis Dha’if Seputar Ramadan
1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي
رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
Artinya; “Dari
Anas bin Malik, ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila memasuki bulan
Rajab, beliau berdo’a, Ya Allah, karunialah kami keberkahan di bulan
Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di bulan Ramadan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387), Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI, no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath
(vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua tokoh yang lemah,
yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah al-Numairi al-Bashri.
Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180) mereka adalah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya adalah al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).
Do’a
di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan positif,
karena seperti dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi, Faidhul Qadir,
vol. V, hal. 167) ia melambangkan harapan seorang mukmin agar bisa
mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah mahdlah,
seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a yang
baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan mengapa
para ahli hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis
masing-masng. Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami perketat penyeleksian sanad, dan jika terdapat satu hadis tentang tentang dorongan berbuat baik dan ancaman berbuat maksiat, kami mudahkan penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa
Ibnu Taimiyyah, vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas pada
dasarnya tidak masalah jika ingin diucapkan, dengan syarat tidak
meyakininya sebagai sebuah hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
2. Keutamaan Bulan Ramadan
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol. III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068). Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu Ramadan karya Ibnu Abi Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu
Adi. Mengenai statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam
bin Sawar yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak dipakai (matrukul hadis). Menurut ahli hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini adalah hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar adalah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan maksiat (fasiq).
Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan,
karena telah membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan
neraka dari Allah pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut
ada selama berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya,
hadis ini tidak bisa dipakai, karena telah menyempitkan apa yang dibuat
luas oleh Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya,
bahkan sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini, baik secara matan ataupun sanad.
Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ
مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ
فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد و البيهقي)
“Dari
Abu Hurairah ia berkata, tatkala Ramadan tiba, Rasulullah Saw.
bersabda: telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah.
Allah mewajibkan atas kamu sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan
ini, pintu surga di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan
dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik
dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan
pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.
3. Do’a Berbuka Puasa
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَ
عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zahrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa nabi Muhammad Saw. apabila berbuka, beliau berdoa: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no. 2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122, Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat). Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a, juga mengakui hadis ini memiliki status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak pasti berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV, hal. 38), hadis ini berstatus dha’if.
Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan seperti yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’ (menguatkan satu sama lain), karena status dhaif-nya yang tingkat tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan tidak menunjukkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif do’a yang bisa dipanjatkan saat berbuka adalah doa berikut:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمأُ ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ ،
وثَبَتَ الأجرُ إِن شاءَ اللهُ
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, adalah Rasulullah Saw. apabila berbuka, beliau berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga, dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR. Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)
4. Berbuka dengan Kurma
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ
أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى مَاءٍ
فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ
“Jika salah seorang
di antara kamu sekalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma, jika
ia tidak menemukannya, maka dengan air, karena sesungguhnya air itu
suci”.
Hadis tentang berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan sabda nabi (sunnah qauliiyah) seperti ini menurut tiga orang kritikus hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, vol. IV, hal. 199) adalah hadis dha’if. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi (no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no. 3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).
Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij),
namun hanya memiliki jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin
dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. IV. Hal. 606) wanita bernama Rabab dalam hadis ini adalah tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf). Hadis ini tidak memiliki satu pun syahid (penguat dari hadis lain), kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), karena terdapat seorang perawi yang bernama Said bin Amir yang dinilai sering melakukan kesalahan (yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).
Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا
حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Artinya: “Dari Anas bin Malik ia
berkata, adalah “Rasulullah Sawbiasa berbuka dengan beberapa biji ruthab
(kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat Maghrib; jika tidak
ada beberapa biji ruthab, maka cukup beberap biji tamr (kurma kering);
jika itu tidak ada juga, maka beliau minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan Baihaqi)
Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri)
dan laporan sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri
dalam penetapan hukum. Dalam usul fikih diterangkan bahwa hadis yang
datang dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu perbuatan yang dilakukan nabi lalu diceritakan oleh sahabatnya (sunnah fi’liyyah).
Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi
hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di
dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang berdiri sendiri adalah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan: “mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).
5. Tidur Berpahala di Bulan Ramadan
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفِى قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَوْمُ الصَائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ
تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَذَنْبُهُ
مَغْفُوْرٌ
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bul Iman (vol. III, no. 3937), Abu Nuaim dalam al-Hilliyah (vol. V, no. 646) dan al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari jalur Sulaiman bin Amru dari Abdul Malik dari Abdullah bin Abi Aufa dari Nabi Saw. Kritikus hadis seperti al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Kitab Ihya karya al-Ghazali menyatakan bahwa Sulaiman bin Amru adalah pendusta (kadzzab). Begitu pula dengan penilaian Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan
(vol. I, hal. 458) terhadapnya. Sedangkan Abdul Malik, Imam Ahmad
menilainya lemah hafalan sehingga sering tertukar hafalannya (mudtharibul hadis). Abu Hatim al-Razi dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. 1, hal. 70) menilai Abdul Malik tidak memiliki hafalan (lam yushaf bil hifzhi). Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. 10, hal. 198) dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir (vol. 26, hal. 384) juga menilai hadis ini dha’if.
Beberapa
pihak memegang teguh dan menganggap sahih hadis ini. Sehingga pada
siang hari di bulan Ramadhan aktifitas yang mereka pilih hanyalah
beristirahat atau tidur saja. Padahal jika ditimbang, hadis ini
bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan agar puasa tidak
dijadikan penghalang untuk tetap produktif beraktifitas. Di dalam Sirah
Nabawiyah misalnya kita menemukan sejumlah kejadian penting yang
berlangsung di bulan Ramadhan, seperti Perang Badar, Fathu Makkah dan
Perang Tabuk (Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum). Di samping
itu, tentu daripada digunakan untuk tidur, waktu siang di bulan Ramadan
akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk beribadah lainnya, seperti
tilawah al-Quran dan membaca buku-buku keagamaan yang bermanfaat.
6. Puasa Menyehatkan
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اغْزُوا تَغْنَمُوا وَصُومُوا تَصِحُّوا وَسَافِرُوا
تَسْتَغْنُوا
“Dari Abu Hurairah, ia berkata.
Rasulullah Saw. bersabda: berperanglah kamu, niscaya kamu akan
mendapatkan harta rampasan perang. Berpuasalah kamu, niscaya kamu akan
sehat. Dan berpergianlah kamu, niscaya kamu akan menjadi kaya”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath (no 8312) dan Abu Nu’aim dalam al-Tib al-Nabawi (no. 113). Jalur
periwayatan hadis ini adalah dari Muhammad bin Sulaiman dari Zuhair bin
Muhammad dari ayahnya dari Abu Hurairah. Al-Iraqi dalam Takhrij Hadis Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali (vol. IV, hal. 135) , Ibnu Adi dalam al-Kamil (vol. VII, hal. 57) menilai hadis ini dha’if karena terdapat sosok Muhammad bin Sulaiman dan Zuhair bin Muhammad. Begitu pula dengan penilaian Nashiruddin Albani dalam al-Silsilah al-Dha’ifah (vol. I, hal. 330). Hadis ini memiliki dua syahid (koroborator) yang keduanya berstatus dha’if jiddan (lemah sekali) sehingga tidak bisa menaikkan hadis ini menjadi hasan.
Hadis ini barangkali adalah hadis dha’if
yang paling sering muncul di bulan Ramadan. Bisa jadi, sesungguhnya
niat orang yang menyampaikan hadis ini baik, yaitu untuk mengabarkan
hikmah berpuasa yang dapat menyehatkan badan. Namun sayang sekali, di
dalam agama Islam, kita diajarkan untuk tidak boleh menyandarkan sesuatu
yang tidak berasal dari nabi kepada beliau, sekalipun hal itu merupakan
perbuatan baik dan terbukti benar secara empirik. Tidak
tanggung-tanggung, ancaman berbohong atas nama nabi adalah neraka. “Man kadzzaba ‘alayya muta’ammidan fal yatabawwa maq’adahu minan nar” (barangsiapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendakalah ia menyiapkan
tempat duduknya kelak di hari akhir dari neraka) (HR. Bukhari-Muslim).
Akan lebih aman jika ingin berbicara tentang kesehatan karena puasa,
para muballigh menisbahkannnya langsung kepada penelitian-penelitian
ilmiah di bidang kedokteran.
7. Harapan agar Ramadan Setahun Penuh
عَنِ
اْبنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، يَقُوْلُ وَقَدْ أَهَلَّ رَمَضَانُ : لَوْ يَعْلَمِ الْعِبَادُ
مَا فِي رَمَضَانَ ، لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانَ
السَنَّةَ كُلَّهَا
“Dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya ia
mendengar Nabi Saw. bersabda ketika Ramadan tiba: Jika saja hamba-hamba
(Allah) mengetahui (keutamaan) yang terdapat di bulan Ramadan, maka
niscaya umatku pasti berharap agar Ramadan berlangsung selama setahun”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. I, no. 1032), Ibnu Khuzaimah dalam Sahih-nya (vol. III, no. 1886), Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Majma’u al-Zawaid (vol. III, no. 4781), al-Suyuthi dalam Jami’ul Hadits (vol. XIIX, no. 19146), al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3634), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (vol. II, no. 1119). Status ke-dhaif-an hadis ini sudah tingkat tinggi, yaitu maudhu’ (palsu). Sosok yang bermasalah dari rantaian sanad-nya adalah Jarir bin Ayyub yang dinilai munkarul hadis dan matrukul hadis (Bukhari, al-Dhu’afa al-Shaghir, vol. I, hal. 29). Al-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (vol. I, hal, 391) menilainya masyuhurun bi al-dha’fi (terkenal ke-dha’if -annya). Begitu pula dengan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Lisanul Mizan (vol. I, hal. 247).
8. Salat Tarawih 20 Rakaat
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ
رَكْعَةً وَالْوِتْرَ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata:
adalah Rasulullah Saw. salat (lail) di bulan Ramadan tanpa berjamaah
sebanyak dua puluh rakaat beserta witir”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Awsath, Ibnu Adi dalam al-Kamil, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra.
Semua riwayat dalam kitab-kitab tersebut melalui jalur Ibrahim bin
Utsman dari Hikam dari Muqassam dari Ibnu Abbas. Menurut kritikus Ibnu
Hajar al-Asqalani (Lisanul Mizan, vol. 3, hal. 164), Ibrahim bin Utsman adalah orang yang dha’if. Abu Hatim menilainya dalam al-Jarhu wa al-Ta’dilu (vol. I, hal. 132) sebagai tokoh yang hadisnya tidak perlu dicatat (la taktubanna ‘anhu syaian). Al-Haitsami dalam Majma’ud Zawaid (vol. II, hal. 120), al-Suyuthi dalam al-Laali al-Mashnu’ah (vol. II, hal 170) menilainya matruk (tidak terpakai). Hadis ini oleh Nashiruddin Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. II, hal. 191) dan Shalatu al-Tarawih (hal. 22) telah divonis sebagai hadis palsu (maudhu’) dan lemas sekali (dha’if jiddan).
Selain itu, secara matan,
hadis ini bertentang dengan informasi yang dibawah oleh hadis sahih
lain yang menerangkan bahwa Rasulullah melakukan salat lail (tarawih)
tidak lebih dari sebelas rakaat di bulan Ramadan. Hadis ini diriwayatkan
oleh Ummul Mukminin Aisyah Ra. Ibnu Hajar juga menyatakan (Fathul Bari,
vol. 6, hal. 295) bahwa Aisyiah Ra. lebih kredibel untuk melaporkan
aktifitas Rasulullah Saw. di malam hari dibandingkan Ibnu Abbas. Ini
tidak berarti bahwa Ibnu Abbas tidak tahu sama sekali tentang kondisi
salat lail Rasulullah, namun ini justru menunjukkan bahwa sesungguhnya
nama Ibnu Abbas telah ‘dibajak’ oleh seorang pendusta untuk mengesahkan
hadis palsunya. Hadis sahih tentang salat lail Rasulullah di bulan
Ramadan adalah:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Tidaklah Rasulullah Saw. menambahkan (salat lailnya) di bulan Ramadan dan di bulan selain Ramadan lebih dari 11 rakaat”. (HR Bukhari dan Muslim).
9. Bulan Ramadan adalah Pemimpin Bulan-bulan Lainnya
سَيِّدُ الشُهُوْرِ شَهْرُ رَمَضَانَ ، وَ سَيِّدُ الْأَيَّامِ يَوْمُ الْجُمْعَةِ
“Pemimpin para bulan adalah bulan Ramadan, dan pemimpin para hari adalah hari Jum’at”
Hadis ini adalah hadits mauquf
(yaitu riwayatnya tidak sampai ke Rasulullah, melainkan hanya sampai
kepada sahabat saja). Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam
kitab Fadhailu Ramadhan (keutamaan-keutamaan Ramadan), no. 33,
dari jalur Ayyub bin Jabir dari Abu Ishaq dari Hubairah dari Ibnu Masud.
Sosok yang dinilai lemah dari sanad hadis ini adalah Ayyub bin Jarir
sendiri. Komentar Yahya bin Main, al-Nasai dan Abu Hatim (Mizanul I’tidal, vol. I, hal. 285), ia adalah orang yang lemah. Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 5) menilai Ayyub “lasya bi syai” (tidak dihitung sama sekali).
10. Pahala I’tikaf seperti Pahala Umrah dan Haji
رُوِيَ
عَنْ عَلِي بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ اِعْتَكَفَ
عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كُحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Diriwayatkan
dari Ali bin Husain dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhum, ia berkata.
Rasulullah Saw. bersabda: barang siapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari
di bulan Ramadan, maka (pahalanya) seperti haji dua kali dan umrah dua
kali”
Hadis ini diriwayatkan oleh Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (vol. III, no. 2888) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3966, 3967). Salah seorang perawi dalam sanad hadis ini yaitu Muhammad bin Zadzan adalah orang yang hadisnya tidak dipakai (matruk) (Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisanul Mizan, vol. II, hal 397). Al-Bukhari dalam al-Dhu’afa al-Shaghir (hal. 104) menilainya munkarul hadits. Ibnu Hibban bahkan dalam al-Majruhin (vol. II, hal. 178) menilainya sebagai sosok yang rajin membuat hadis-hadis palsu (shahibu asya maudhu’a) yang tidak bisa dijadikan pegangan (la yahillu al-ihtijaj bihi). Oleh Nashiruddin al-Albani dalam al-Silsilah al-Dlaifah (vol. 2, hal. 95) hadis ini telah dinyatakan sebagai hadis yang maudhu’ (palsu).
I’tikaf
sendiri sesungguhnya adalah sunnah Rasulullah yang selalu beliau
lakukan di setiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bahkan di tahun
wafatnya, beliau melakukan i’tikaf lebih panjang, yaitu selama 20 hari.
Hadis-hadis sahih tentang pelaksanaan i’tikaf nabi, beserta i’tikaf
sahabat dan istri-istri beliau sangat banyak. Namun, seperti dikatakan
oleh Imam Ahmad, tidak ada satu pun hadis sahih yang menerangkan
keutamaan i’tikaf (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, vol. I, hal.
475). Sehingga jelas keterangan yang dibawa hadis di atas adalah sesuatu
yang mengada-ada, sangat berlebih-lebihan dan merupakan kebohongan yang
dinisbahkan kepada Rasulullah Saw. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
***
Tulisan ini dikutip dari salah satu penelitian dosen saya Ust. Muhammad Rofiq, Lc, MA. Dosen muda alumni al-Azhar University dan Mu'alimin Yogyakarta