Rabu, 01 Agustus 2012

Kalender Islam Terpadu, Solusi untuk Kekacauan Sistem Waktu Umat Islam


Setiap tahun kita selalu melihat fenomena ketidakpastian di tengah-tengah umat Islam di seluruh dunia tentang permulaan puasa dan hari raya. Banyak ilmuwan yang meyakini bahwa problematika ini sesungguhnya terjadi karena mayoritas umat Islam masih bersikukuh menggunakan rukyah faktual (al-rukyah al-mujarradah, actually seeing the moon) daripada menggunakan hisab atau perhitungan astronomis (Geussoum, 2010: 1, Abderrazik, 2006: 1, Syamsul Anwar, 2008: 60). Pada periode di mana manusia sudah sampai ke bulan dan kita dapat melakukan penghitungan posisi bulan dan matahari secara cermat untuk ratusan ke depan, suatu ironi tersendiri menyaksikan sekelompok orang, karena suatu basis interpretasi keagamaan yang konvensional, berlomba-lomba menengadahkan pandangan ke arah langit untuk mencari-cari bulan. Sungguh amat disesalkan, kemajuan agama Islam akhirnya terhalangi oleh suatu interpretasi literal yang tidak mempertimbangkan aspek kompatibilitas ajaran agama dengan kemajuan zaman.

Sesungguhnya pembacaan yang cermat terhadap spirit  ajaran Islam (maqashid syariah) membuat kita sampai pada satu keyakinan bahwa apa yang menjadi penekanan dari syariat Islam dalam menentukan waktu puasa dan hari raya adalah kepastian tentang kapan bulan baru itu sendiri, bukan dengan bagaimana ia ditentukan. Seiring dengan berkembangnya waktu, kita pun mulai tersadarkan bahwa agama Islam, selain menekankan tentang kepastian memasuki bulan baru, juga mendorong manusia untuk melakukan penataan sistem waktu. Sekarang ketika dunia telah berubah menjadi satu desa global (global village) dan umat manusia telah bermetamorfosa menjadi satu entitas, sistem waktu umat Islam tidak dapat lagi bersifat acak, terpecah belah antara satu negara dan negara lainnya.  Maka adanya suatu sistem yang mengatur waktu secara rapi dan teroganisir di tingkat global merupakan satu kemutlakan bagi umat Islam. Sistem tersebut diwakili oleh keberadaan suatu kalender yang berlaku secara global dan bersifat unifikatif (menyatukan).

Di zaman dulu memang tidak terfikirkan sama sekali di benak para ilmuwan untuk menyusun suatu kalender Islam yang bersifat terpadu. Namun, perlahan-lahan tapi pasti di berbagai belahan dunia Islam mulai bermunculan para ulama dan ilmuwan (astronom) yang menyuarakan pentingnya keberadaan Kalender Islam Terpadu. Menurut mereka inilah sebenarnya yang menjadi solusi fundamental untuk permasalahan kekacauan pengorganisasian waktu di dunia Islam. Jika sebagian orang masih berkoar-koar mericaukan perbedaan penentuan puasa dan hari raya di tingkat nasional, para ulama dan astronom tersebut melihat bahwa fenomena perbedaan puasa dan hari raya sesungguhnya adalah problematika global yang terjadi di tengah umat Islam. Oleh karena ia adalah suatu kenyataan yang ‘mendunia’, maka solusi untuk problem tersebut tidak boleh bersifat parsial dan temporal (juziy wa muaqatt), melainkan harus bersifat konfrehensif dan fundamental (kulli wa jadzriy).  Dengan kata lain bahwa usaha untuk membuat penyatuan tidaklah dapat bersifat nasional, melainkan harus bersifat global. Inilah satu mimpi besar yang hanya dapat terwujud dengan lahirnya Kalender Islam Terpadu.

Kalender sebagai Simbol Peradaban 

Seorang ilmuwan dari Yordania menulis tentang pentingnya peranan kalender bagi sebuah peradaban: “tidak mungkin bagi peradaban manapun yang ingin bangkit, apalagi menjadi digdaya, tanpa menyandarkan dirinya pada satu kalender yang terpercaya. Umat manusia juga tidak akan mampu hidup dalam suatu dinamitas tanpa membangun satu sistem waktu terpadu yang dapat mengorganisir seluruh aktifitas kehidupan dan pelaksanaan ritual keagamaan, baik yang bersifat kolektif maupun individual” (Geussoum, 2007: 2). Demikianlah gambaran tentang pentingnya kalender Islam Terpadu. Sepintas barangkali akan muncul kesan berlebihan mengidentikkan permasalahan ketiadaan kalender Islam dengan problem peradaban (musykilah al-hadlarah). Sebab, umumnya wacana keterbelakangan peradaban (takhallufu al-hadlarah) dianggap berasal dari permasalahan ekonomi dan politik.

Namun menurut penulis, soal Kalender Islam sesunguhnya tidaklah lagi menjadi permasalahan peripheral (pinggiran), namun sudah harus menjadi prioritas dan orientasi pemikiran umat Islam ke depan. Karena kalender Islam adalah satu simbol akan keteraturan pengorganisasian waktu yang amat ditekankan dalam al-Quran. Selain itu, ini juga berhubungan dengan permasalahan dominasi atau pengaruh satu peradaban ke peradaban lain. Mengapa misalnya pengaruh peradaban Barat begitu besar dalam kehidupan umat Islam dan tidak sebaliknya, menurut hemat penulis, diantaranya disebabkan kita menerima sistem kalender yang dibuat Barat (kalender Gregorian), namun kita tidak berusaha memberlakukan sistem kalender kita yang tipikal pada mereka. Kita tidak pernah berfikir bagaimana identitas kultural kita menjadi satu kenyataan yang diterima oleh dunia secara keseluruhan. Dalam sebuah forum di dunia maya, penulis pernah menyatakan bahwa dalam kondisi adanya depedensi (ketergantungan) peradaban Islam terhadap kalender masehi, maka selamanya identitas kultural kita tidak akan terbentuk. “Daiman na'isyu 'ala haymantil akharin wa al-inqilab yakadu mustahilan” (selamanya kita hidup di bawah hegemoni asing dan suatu perubahan masih mustahil untuk dilakukan).

Sejarah mencatat bahwa seluruh peradaban, dari yang bercorak agrikultural sampai yang maritim telah mampu menyusun suatu kalender yang terpecaya. Sebagai contoh adalah peradaban Firaunik di Mesir yang membuat kalender matahari (solar), karena sesuai dengan perubahan musim dan kondisi sungai nil. Peradaban Babilonia (Irak) yang bercorak agrikultural menggunakan kalender dengan basis pergerakan bulan (lunar) yang berubah-ubah secara periodik selama satu bulan. Oleh karena itu, jangan sampai gagasan tentang Kalender Islam Terpadu menjadi wacana yang terpinggirkan (marginalized), apalagi sampai tidak terfikirkan (unthinkable) oleh para ulama dan para astronom muslim.

Nilai penting dari keberadaan kalender Islam terpadu di samping mengatasi problem kekacauan waktu yang selama ini terjadi dan merumuskan satu identitas peradaban, juga dalam rangka mengimplementasikan pesan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pengornasasian waktu itu sendiri. Jadi selain merupakan tuntutan peradaban (civilizational imperative), keberadaan kalender Islam terpadu juga merupakan tuntutan keagamaan (religious demand). Sungguh suatu ironi, umat Islam sampai abad kelima belas masehi belum dapat merumuskan suatu sistem waktu yang rapi, padahal Allah Swt. sendiri bersumpah dengannya (QS. 103).

Dalam al-Quran kita bisa mendapati banyak ayat yang mengisyaratkan pentingnya suatu sistem kalender yang rapi dan bersifat menyatukan. Pertama, surat al-Baqarah ayat 189, di mana dijelaskan bahwa hilal adalah suatu penanda waktu (parameter pembuatan kalender) yang bersifat universal (lin nas). Dengan kata lain, hilal bukanlah fenomena lokal, melainkan global. Kedua, surat al-Taubah ayat 36 yang menyatakan bahwa "Bulan ada dua belas". Inilah suatu panduan umum (general guidance, ma’alim amah) yang disediakan al-Quran bagi pentingnya suatu sistem kalender. Ketiga, surat Yunus ayat 5 dan al-Rahman ayat 5 yang menyebutkan bahwa Bulan dan Matahari mempunyai gerak konstan yang dapat dijadikan acuan perhitungan.

Manfaat dari Kalender Islam Terpadu

Beberapa manfaat positif yang dapat diperoleh dari adanya suatu sistem Kalender Islam Terpadu dapat dijelaskan dalam poin berikut ini: Pertama, umat Islam tidak perlu lagi bergantung pada pengamatan hilal dan menunggu keputusan yang dibuat oleh pemegang otoritas di waktu yang sangat terlambat. Konsekwensinya umat Islam dapat berfikir lebih terencana dan futuristik. Sungguh suatu hal yang sulit diterima bahwa di abad 21 ini kita belum dapat merencanakan aktifitas kita sejak jauh-jauh hari. Kedua, kekacauan yang ditimbulkan oleh klaim-klaim penampakan hilal dapat dieliminasi. Kontroversi karena penampakan hilal memang selalu muncul di setiap tahunnya. Di Indonesia penampakan hilal sudah seperti buah simalakama. Di bawah dua derajat ia ditolak, betapapun ada beberapa laporan yang melihatnya. Di atas dua derajat ia pasti diterima, sekalipun menyalahi kriteria-kriteria internasional tentang visibilitas hilal. Fenomena yang paling mencolok dari kekacauan klaim penampakan hilal adalah kasus yang terjadi di Arab Saudi. Seperti disebutkan oleh data dari ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project), dalam 46 terakhir telah terjadi 40 kesalahan rukyatul hilal di Arab Saudi, di mana hilal diklaim telah terlihat, padahal masih rendah dan di bawah ufuk. Dalam beberapa kasus di Saudi Arabia, hilal diklaim terlihat padahal konjungsi (ijtimak) belum terjadi.

Ketiga, mengetahui tanggal Islam dengan Kalender Islam Terpadu dapat mengurangi beban finansial yang tidak perlu yang dikeluarkan untuk membiayai proyek-proyek rukyatul hilal dan sidang istbat. Keempat, umat Islam di seluruh dunia dapat bersatu dalam menentukan Ramadan, hari Arafah, hari raya dan hari libur Islam lainnya. Fungsi dari kalender global selain untuk mengatur urusan sipil juga untuk menentukan waktu selebrasi hari-hari keagamaan, sehingga tidak lagi ada dualisme sistem kalender seperti yang selama ini berlaku. Kelima, umat Islam di negeri-negeri non muslim dapat menentukan waktu hari libur secara pasti sehingga dapat meminta izin untuk cuti dari pihak sekolah, kampus atau lembaga pemerintahan (Khalid Shaukat, 2006: 6).

Sebagai gerakan pembaruan, inilah yang semestinya menjadi concern dan arah pemikiran Muhammadiyah ke depan. Muhammadiyah harus melampaui perdebatan-perdebatan di negeri ini yang sesungguhnya sulit sekali menemukan ujung, karena lahir dari interpretasi (paradigma) keagamaan. Jika warga Muhammadiyah terbiasa berwacana tentang pentingnya Kalender Islam Terpadu lambat laut ini akan menjadi isu nasional, banyak orang yang akan tersadarkan, dan Muhammadiyah akan dicatat oleh sejarah karena telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia dan Peradaban Islam. Wallahu A’lam.


(dikutip dari tulisan dosen saya, ust. Muhammad Rofiq, Lc. MA. Beliau adalah penluis muda berbakat jebolan Mu'alimin Yogyakarta dan Al-Azhar University.)