Kamis, 27 September 2012

Reorientasi Pendidikan di Indonesia (Sebuah Refleksi atas Kemerosotan Moral Pelajar Indonesia)

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi


Keadaan dunia pendidikan kita dalam beberapa hari terakhir ini sungguh sangat memilukan. Dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kemanusian, justru malah memberikan klise yang tidak manusiawi. Belum usai pemberitaan di berbagai media tentang satu aksi tawuran antar pelajar di suatu daerah, kita sudah kembali disuguhi tontonan aksi tawuran lain yang semuanya sungguh sangat tidak mencerminkan perilaku pelajar yang semestinya. Perilaku tersebut herannya malah menjadi satu kebanggaan dan ‘kepuasan’ tersendiri bagi para pelakunya. Ini semua tentu menambah banyak catatan hitam yang tertoreh di dunia pendidikan Indonesia. Jika sebelum ini bangsa disuguhi ketidak berpihakan pendidikan terhadap masyarakat menengah ke bawah, kini kita disuguhi berbagai macam bentuk dekadensi pelajar yang mencerminkan perilaku tak bermoral.

Dalam masalah penanaman nilai dan moral dalam diri pelajar, sesungguhnya pendidikan Indonesia belum patut berbangga untuk dikatakan sebagai Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kependidikan. Terlebih dengan torehan sederet kasus yang mencoreng asas-asas kependidikan tersebut. Bila pendidikan Indonesia mau jujur, maka fenomena-fenomena negatif yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini sebenarnya adalah salah satu bentuk kegagalan dari sistem pendidikan kita. Di sinilah sesungguhnya pemerintah, dalam hal ini KEMENDIKBUD, harus mau membuka diri untuk dikritik dan menerima masukan. Dalam masalah pengembangan kurikulum misalnya, kementerian ini oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap sangat jauh dari harapan. Kurikulum yang seharusnya mampu mengantarkan para peserta didik mencapai substansi dari pendidikan itu sendiri, malah justru menjadikan obyek didik seperti layaknya kelinci percobaan. Sehingga muncul kesan yang cukup memprihatinkan di masyarakat bahwa setiap ganti menteri maka akan ganti pula kebijakannya, padahal kebijakan terdahulu masih belum tersosialisasi (Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hal. vi)

Perilaku-perilaku pelajar yang tidak mencerminkan seorang pelajar yang akhir-akhir ini terjadi di Negara kita hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi semua lapisan bangsa, tanpa terkecuali. Apakah patut seorang pelajar yang seharusnya menuntut ilmu, berbangga dengan pembacokan yang ia lakukan kepada lawan tawurnya? Satu pertanyaan ini mungkin bisa kita ajukan kepada pribadi kita masing-masing sebagai langkah awal untuk menemukan titik permasalahan. Salahkan pendidikan atau pendidik kita? Sebagai seorang pelajar yang masih aktif, penulis merasakan keprihatinan yang begitu mendalam tatkala melihati ini semua.
Dari serentetan kasus tersebut, menurut penulis, inilah saatnya bangsa Indonesia harus melakukan reorienstasi pendidikan. Orientasi yang benar-benar mengarah kepada tujuan pendidikan yang sesungguhnya, bukan orientasi yang mengarah pada hal-hal yang sifatnya materi apalagi utopis. Sebuah contoh, misalnya, Sebagian besar masyarakat kita masih saja mengarahkan tujuan utama pendidikan untuk memperoleh ijazah, bukan pada bagaimana bisa mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan nyata. Kenyataan yang lebih ironis lagi di saat pendidikan hanya dijadikan sebagai suatu simbol kebanggaan sosial dengan anggapan bahwa orang yang berpendidikan adalah orang yang duduk di bangku SMP, SMA dan kuliah. Paradigma pendidikan seperti inilah yang menjadikan bangsa kita masih terseok-seok dalam hal penegakkan nilai-nilai pendidikan.

Penyebab lain mengapa nilai-nilai pendidikan sulit sekali tertanam dalam diri adalah karena adanya sikap psikis pelajar yang ingin menunjukkan keeksitensian dan kepopuaritasannnya (Abdullâh al-Sadhân, Ma’âlim fî Tharîq Thalab al-‘Ilmi, hal. 20). Suatu kewajaran memang ketika seorang pelajar ingin membuktikan bahwa dirinya ada (eksis). Namun, bila cara-cara yang ditempuh tidak masuk dalam koridor-koridor yang semestinya, bahkan cenderung hanya ingin mencari popularitas, maka disinilah letak penghalang sulitnya nilai-nilai pendidikan tertanam dan berkembang dalam diri setiap pelajar.

Menurut hemat penulis, salah satu penyebab timbulnya realita pelajar yang ingin menunjukkan keeksistensian dan kepopularitasannya tersebut ialah karena adanya rasa ketidak puasan mereka pada sosok-sosok yang semestinya menjadi teladan bagi mereka. Di lingkup kecil, sosok guru yang seharusnya memberikan panutan, terkadang bagi mereka dianggap tidak bisa mencerminkan diri sebagai seorang pendidik atau pengajar. Sementara di lingkup yang lebih besar, ketidak puasan yang cenderung diikuti rasa kecewa menyelimuti setiap benak pelajar ketika sosok-sosok pemimpin bangsa yang seharusnya mencerminkan sifat-sifat luhur, dengan tanpa malu mencederai nilai keluhuran dengan perilaku korup yang mereka lakukan. Sekali lagi, bila bangsa Indonesia mau jujur, maka sesungguhnya inilah masalah fundamental yang harus segera dicari jalan keluarnya (problem solving). Masalah krisis keteladaan yang dari dulu sampai sekarang menghinggapi kehidupan kita, baik di kalangan bawah terlebih di kalangan elit.

Sesungguhnya apabila kita mau merunut akar permasalahan mengapa sampai saat ini Indonesia masih belum bisa melahirkan sosok-sosok pemimpin seperti yang diharapkan, maka menurut hemat penulis ada beberapa faktor yang menghalanginya. Dua diantara yang terpenting ialah; Pertama, kesalahan dalam memberikan sosok siapa yang harus diteladani oleh anak-anak kita. Bagaimana tidak? Sungguh suatu hal yang sangat miris ketika kita melihat anak-anak muda kita lebih hafal dan fasih melantunkan bait-bait lagu Korea daripada menyenandungkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Padahal konon Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Anak-anak kita semenjak kecil sudah lebih dahulu diperkenalkan dengan sederet nama selebritis daripada sosok-sosok orang yang memiliki nilai kepribadian tinggi. Sebagai seorang muslim, tentu kita memiliki Rasullullah (al-Ahzâb:21). Sosok yang paling pantas dan seharusnya dijadikan panutan dalam membentuk karakter anak.
Factor kedua, ialah pendidikan dalam keluarga. Inilah lembaga pendidikan pertama (Madrasah al-Ûlâ) yang paling fundamental dalam membentuk karakter bangsa. Lembaga pendidikan yang seharusnya dioptimalkan oleh setiap orang tua atau pendidik untuk membentuk karakter anak sebaik mungkin. Bukan lembaga pendidikan yang diacuhkan dan tidak difikirkan oleh orang tua dengan alasan kesibukan mereka sebagai public figure atau yang lainnya.

Kesemuanya inilah bahan-bahan introspeksi yang harus kita renungkan bersama. Sebuah lompatan positif dalam bidang pendidikan harus kita lakukan dengan meongorientasikan kembali tujuan pendidikan Indonesia. Jangan sampai perjuangan-perjuangan pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan, tertutupi oleh segelintir tingkah tidak bermoral yang ditunjukkan bangsanya. Wallohu A’lam bi al-Shawâb.



Lereng Merapi, 27-28 September 2012