Keadaan
dunia pendidikan kita dalam beberapa hari terakhir ini sungguh sangat
memilukan. Dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kemanusian,
justru malah memberikan klise yang tidak manusiawi. Belum usai pemberitaan di
berbagai media tentang satu aksi tawuran antar pelajar di suatu daerah, kita
sudah kembali disuguhi tontonan aksi tawuran lain yang semuanya sungguh sangat
tidak mencerminkan perilaku pelajar yang semestinya. Perilaku tersebut herannya
malah menjadi satu kebanggaan dan ‘kepuasan’ tersendiri bagi para pelakunya.
Ini semua tentu menambah banyak catatan hitam yang tertoreh di dunia pendidikan
Indonesia. Jika sebelum ini bangsa disuguhi ketidak berpihakan pendidikan
terhadap masyarakat menengah ke bawah, kini kita disuguhi berbagai macam bentuk
dekadensi pelajar yang mencerminkan perilaku tak bermoral.
Dalam
masalah penanaman nilai dan moral dalam diri pelajar, sesungguhnya pendidikan
Indonesia belum patut berbangga untuk dikatakan sebagai Negara yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kependidikan. Terlebih dengan torehan sederet kasus yang mencoreng
asas-asas kependidikan tersebut. Bila pendidikan Indonesia mau jujur, maka
fenomena-fenomena negatif yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia selama
ini sebenarnya adalah salah satu bentuk kegagalan dari sistem pendidikan kita.
Di sinilah sesungguhnya pemerintah, dalam hal ini KEMENDIKBUD, harus mau
membuka diri untuk dikritik dan menerima masukan. Dalam masalah pengembangan
kurikulum misalnya, kementerian ini oleh sebagian besar masyarakat masih
dianggap sangat jauh dari harapan. Kurikulum yang seharusnya mampu mengantarkan
para peserta didik mencapai substansi dari pendidikan itu sendiri, malah justru
menjadikan obyek didik seperti layaknya kelinci percobaan. Sehingga muncul
kesan yang cukup memprihatinkan di masyarakat bahwa setiap ganti menteri maka
akan ganti pula kebijakannya, padahal kebijakan terdahulu masih belum
tersosialisasi (Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,
hal. vi)
Perilaku-perilaku
pelajar yang tidak mencerminkan seorang pelajar yang akhir-akhir ini terjadi di
Negara kita hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi semua lapisan bangsa,
tanpa terkecuali. Apakah patut seorang pelajar yang seharusnya menuntut ilmu,
berbangga dengan pembacokan yang ia lakukan kepada lawan tawurnya? Satu
pertanyaan ini mungkin bisa kita ajukan kepada pribadi kita masing-masing
sebagai langkah awal untuk menemukan titik permasalahan. Salahkan pendidikan
atau pendidik kita? Sebagai seorang pelajar yang masih aktif, penulis merasakan
keprihatinan yang begitu mendalam tatkala melihati ini semua.
Dari serentetan
kasus tersebut, menurut penulis, inilah saatnya bangsa Indonesia harus
melakukan reorienstasi pendidikan. Orientasi yang benar-benar mengarah kepada
tujuan pendidikan yang sesungguhnya, bukan orientasi yang mengarah pada hal-hal
yang sifatnya materi apalagi utopis. Sebuah contoh, misalnya, Sebagian besar masyarakat
kita masih saja mengarahkan tujuan utama pendidikan untuk memperoleh ijazah,
bukan pada bagaimana bisa mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan dalam
kehidupan nyata. Kenyataan yang lebih ironis lagi di saat pendidikan hanya
dijadikan sebagai suatu simbol kebanggaan sosial dengan anggapan bahwa orang
yang berpendidikan adalah orang yang duduk di bangku SMP, SMA dan kuliah.
Paradigma pendidikan seperti inilah yang menjadikan bangsa kita masih terseok-seok
dalam hal penegakkan nilai-nilai pendidikan.
Penyebab
lain mengapa nilai-nilai pendidikan sulit sekali tertanam dalam diri adalah
karena adanya sikap psikis pelajar yang ingin menunjukkan keeksitensian dan
kepopuaritasannnya (Abdullâh al-Sadhân, Ma’âlim fî Tharîq Thalab al-‘Ilmi, hal. 20). Suatu kewajaran memang ketika
seorang pelajar ingin membuktikan bahwa dirinya ada (eksis). Namun, bila
cara-cara yang ditempuh tidak masuk dalam koridor-koridor yang semestinya,
bahkan cenderung hanya ingin mencari popularitas, maka disinilah letak
penghalang sulitnya nilai-nilai pendidikan tertanam dan berkembang dalam diri
setiap pelajar.
Menurut
hemat penulis, salah satu penyebab timbulnya realita pelajar yang ingin
menunjukkan keeksistensian dan kepopularitasannya tersebut ialah karena adanya
rasa ketidak puasan mereka pada sosok-sosok yang semestinya menjadi teladan
bagi mereka. Di lingkup kecil, sosok guru yang seharusnya memberikan panutan, terkadang
bagi mereka dianggap tidak bisa mencerminkan diri sebagai seorang pendidik atau
pengajar. Sementara di lingkup yang lebih besar, ketidak puasan yang cenderung
diikuti rasa kecewa menyelimuti setiap benak pelajar ketika sosok-sosok
pemimpin bangsa yang seharusnya mencerminkan sifat-sifat luhur, dengan tanpa malu
mencederai nilai keluhuran dengan perilaku korup yang mereka lakukan. Sekali lagi,
bila bangsa Indonesia mau jujur, maka sesungguhnya inilah masalah fundamental
yang harus segera dicari jalan keluarnya (problem solving). Masalah krisis
keteladaan yang dari dulu sampai sekarang menghinggapi kehidupan kita, baik di
kalangan bawah terlebih di kalangan elit.
Sesungguhnya
apabila kita mau merunut akar permasalahan mengapa sampai saat ini Indonesia masih
belum bisa melahirkan sosok-sosok pemimpin seperti yang diharapkan, maka
menurut hemat penulis ada beberapa faktor yang menghalanginya. Dua diantara
yang terpenting ialah; Pertama, kesalahan dalam memberikan sosok siapa yang
harus diteladani oleh anak-anak kita. Bagaimana tidak? Sungguh suatu hal yang
sangat miris ketika kita melihat anak-anak muda kita lebih hafal dan fasih
melantunkan bait-bait lagu Korea daripada menyenandungkan ayat-ayat suci al-Qur’an.
Padahal konon Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di
dunia. Anak-anak kita semenjak kecil sudah lebih dahulu diperkenalkan dengan sederet
nama selebritis daripada sosok-sosok orang yang memiliki nilai kepribadian
tinggi. Sebagai seorang
muslim, tentu kita memiliki Rasullullah (al-Ahzâb:21). Sosok
yang paling pantas dan seharusnya dijadikan panutan dalam membentuk karakter anak.
Factor kedua,
ialah pendidikan dalam keluarga. Inilah lembaga pendidikan pertama (Madrasah
al-Ûlâ) yang paling fundamental dalam membentuk karakter bangsa. Lembaga pendidikan
yang seharusnya dioptimalkan oleh setiap orang tua atau pendidik untuk
membentuk karakter anak sebaik mungkin. Bukan lembaga pendidikan yang diacuhkan
dan tidak difikirkan oleh orang tua dengan alasan kesibukan mereka sebagai public
figure atau yang lainnya.
Kesemuanya inilah bahan-bahan
introspeksi yang harus kita renungkan bersama. Sebuah lompatan positif dalam
bidang pendidikan harus kita lakukan dengan meongorientasikan kembali tujuan
pendidikan Indonesia. Jangan sampai perjuangan-perjuangan pahlawan bangsa dalam
merebut kemerdekaan, tertutupi oleh segelintir tingkah tidak bermoral yang
ditunjukkan bangsanya. Wallohu A’lam bi al-Shawâb.
Lereng Merapi, 27-28 September 2012