Dulu ketika
mataku belum sepenuhnya dapat melihatmu, senja yang kau janjikan padaku begitu
indah. Katamu, di sana nanti aku bisa melihat taman surga kecil yang selalu
diceritakan ibuku setiap kali aku beranjak tidur, aku bisa bermain ayunan
sembari menatap semburat kemuning senja yang indah di ufuk barat, aku bisa
menerbangkan burung kertas mungil yang telah ayahku buatkan dengan susah payah untukku.
Katamu juga,
di sana nanti aku akan selalu ditemani pasir putih pantai yang membentang
menerawang kekuasaan-Nya, aku tidak akan pernah menjumpai sesaknya kematian
kecil bernama kesunyian dan kehampaan, aku akan selalu bisa dan tidak akan
pernah kehilangan kesempatan membaca catatan sejarah para Nabi-Nya dan
orang-orang hebat zaman dahulu.
Masih tetap
katamu, di sana nanti aku bisa bercengkrama dengan pujaan hati. Menatap senja
yang begitu istimewa, sembari merencanakan kehidupan baru untuk esok hari. Kau
janjikan, di sana nanti aku dan pujaan hatiku bisa melihat miniatur keluarga
Muhammad dan ‘Aisyah, sehingga aku beserta pujaan hatiku bisa meneladani
kehidupan mereka.
Apakah semua
janji dan cerita itu hanya bualanmu saja?
Meskipun kau
berkata “iya”, tapi aku tetap yakin tidak. Jika itu bualanmu, mana mungkin
Tuhan Yang Pemurah menurunkan berbagai nikmat padamu? Jika itu bualanmu, maka
apakah mungkin Tuhan Yang Maha Tahu rela menidurkan para kekasih-Nya di ranjang
tanahmu? Jika itu bualanmu, lalu kenapa para pencatat sejarah rela menghabiskan
berlembar-lembar kertas dan segudang tinta hanya untuk menulis setiap debu yang
terhempas, daun yang jatuh, langkah yang berpijak, serta deru ombak yang
berlarian ke pantaimu? Jika itu bualanmu, mengapa setiap pewaris para Nabi mau
dan berani berjalan beribu-ribu mil untuk sekedar menuntut ilmu di sekolah-sekolah
yang berdiri di punggungmu? Jika itu bualanmu, kenapa Tuhan Yang Esa senang
sekali mendirikan rumah-rumah-Nya di negerimu, bahkan di setiap Shubuh, Zuhur, Ashar,
Maghrib dan Isya Dia selalu menggerakkan hati hamba-hamba-Nya untuk beranjak
dari tempat duduk, tempat tidur, tempat kerja untuk berdiri, ruku dan sujud
pada-Nya?
Apakah semua
janji dan cerita itu memang benar-benar bualanmu?
Jika kau
tetap berkata “iya”, maaf, aku tetap tidak percaya. Aku belum dapat menerima
itu di logikaku. Kenapa kau harus memaksaku agar aku percaya bahwa semua itu
hanya bualanmu? Apakah yang aku lihat padamu kini adalah be
ntuk usahamu agar
aku yakin bahwa itu semua adalah bualanmu? Apakah semua yang kau pertontonkan
kini adalah ikhtiyarmu untuk memudarkan cintaku padamu?
Alexandria,
aku mohon jangan kau sulap hamparan pasir pantai yang indah, yang dulu kau
janjikan padaku, menjadi arena pertumpahan darah yang kejam. Aku mohon jangan
biarkan tanah indah nan subur yang Tuhan telah berikan untukmu diinjak para
perusak bumi yang bengis. Aku mohon jangan biarkan Qaitbay dan El-Atta runtuh
sebelum aku melihatnya. Kau berjanji kelak akan menemaniku ke sana, bukan?
Alexandria,
aku mohon jangan kau halangi senja cinta-Nya tertidur di bahumu. Bukankah kau
sendiri yang berjanji akan selalu menyediakan bahumu untuk senja cinta-Nya?
Alexandria, jangan kau biarkan kegembiraan anak-anak yang berlarian di
sepanjang pantaimu hilang. Aku takut sebentar lagi kegembiraan anak-anak itu
akan menjadi raungan dan tangisan yang tiada henti.
Biarkan! Biarkan
orang-orang bangsat itu merusak negeri-negeri tetanggamu. Aku tak peduli. Aku
hanya ingin kau dan Mesir kembali ceria dan (tetap) setia menantiku..
Siang
menjelang senja di tanah yang jauh darimu, 16 Agustus 2013, saat aku begitu
miris melihat keadaan negerimu.