Rabu, 21 Agustus 2013

(Inikah) Pudarnya Pesona Alexandria?



Dulu ketika mataku belum sepenuhnya dapat melihatmu, senja yang kau janjikan padaku begitu indah. Katamu, di sana nanti aku bisa melihat taman surga kecil yang selalu diceritakan ibuku setiap kali aku beranjak tidur, aku bisa bermain ayunan sembari menatap semburat kemuning senja yang indah di ufuk barat, aku bisa menerbangkan burung kertas mungil yang telah ayahku buatkan dengan susah payah untukku. 

Katamu juga, di sana nanti aku akan selalu ditemani pasir putih pantai yang membentang menerawang kekuasaan-Nya, aku tidak akan pernah menjumpai sesaknya kematian kecil bernama kesunyian dan kehampaan, aku akan selalu bisa dan tidak akan pernah kehilangan kesempatan membaca catatan sejarah para Nabi-Nya dan orang-orang hebat zaman dahulu. 

Masih tetap katamu, di sana nanti aku bisa bercengkrama dengan pujaan hati. Menatap senja yang begitu istimewa, sembari merencanakan kehidupan baru untuk esok hari. Kau janjikan, di sana nanti aku dan pujaan hatiku bisa melihat miniatur keluarga Muhammad dan ‘Aisyah, sehingga aku beserta pujaan hatiku bisa meneladani kehidupan mereka.

Apakah semua janji dan cerita itu hanya bualanmu saja?

Meskipun kau berkata “iya”, tapi aku tetap yakin tidak. Jika itu bualanmu, mana mungkin Tuhan Yang Pemurah menurunkan berbagai nikmat padamu? Jika itu bualanmu, maka apakah mungkin Tuhan Yang Maha Tahu rela menidurkan para kekasih-Nya di ranjang tanahmu? Jika itu bualanmu, lalu kenapa para pencatat sejarah rela menghabiskan berlembar-lembar kertas dan segudang tinta hanya untuk menulis setiap debu yang terhempas, daun yang jatuh, langkah yang berpijak, serta deru ombak yang berlarian ke pantaimu? Jika itu bualanmu, mengapa setiap pewaris para Nabi mau dan berani berjalan beribu-ribu mil untuk sekedar menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang berdiri di punggungmu? Jika itu bualanmu, kenapa Tuhan Yang Esa senang sekali mendirikan rumah-rumah-Nya di negerimu, bahkan di setiap Shubuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya Dia selalu menggerakkan hati hamba-hamba-Nya untuk beranjak dari tempat duduk, tempat tidur, tempat kerja untuk berdiri, ruku dan sujud pada-Nya?

Apakah semua janji dan cerita itu memang benar-benar bualanmu?

Jika kau tetap berkata “iya”, maaf, aku tetap tidak percaya. Aku belum dapat menerima itu di logikaku. Kenapa kau harus memaksaku agar aku percaya bahwa semua itu hanya bualanmu? Apakah yang aku lihat padamu kini adalah be
ntuk usahamu agar aku yakin bahwa itu semua adalah bualanmu? Apakah semua yang kau pertontonkan kini adalah ikhtiyarmu untuk memudarkan cintaku padamu?

Alexandria, aku mohon jangan kau sulap hamparan pasir pantai yang indah, yang dulu kau janjikan padaku, menjadi arena pertumpahan darah yang kejam. Aku mohon jangan biarkan tanah indah nan subur yang Tuhan telah berikan untukmu diinjak para perusak bumi yang bengis. Aku mohon jangan biarkan Qaitbay dan El-Atta runtuh sebelum aku melihatnya. Kau berjanji kelak akan menemaniku ke sana, bukan? 

Alexandria, aku mohon jangan kau halangi senja cinta-Nya tertidur di bahumu. Bukankah kau sendiri yang berjanji akan selalu menyediakan bahumu untuk senja cinta-Nya? Alexandria, jangan kau biarkan kegembiraan anak-anak yang berlarian di sepanjang pantaimu hilang. Aku takut sebentar lagi kegembiraan anak-anak itu akan menjadi raungan dan tangisan yang tiada henti.

Biarkan! Biarkan orang-orang bangsat itu merusak negeri-negeri tetanggamu. Aku tak peduli. Aku hanya ingin kau dan Mesir kembali ceria dan (tetap) setia menantiku..








Siang menjelang senja di tanah yang jauh darimu, 16 Agustus 2013, saat aku begitu miris melihat keadaan negerimu.