Selasa, 08 Juli 2014
Kedewasaan Berpolitik
Alhamdulilah, pagi tadi kami sudah menyalurkan hak pilih kami di TPS 14 Kelurahan Sorosutan. Kami memilih calon yang berbeda, sesuai dengan pose jari kami. Tapi itu bukan masalah. Perbedaan adalah hal yang biasa terjadi. “Pasti karena keberadaan Anies Baswedan di salah satu kubu?”, tanya seorang teman. Bisa jadi iya. Tapi saya bisa pastikan itu hanya sekian persen dari pertimbangan saya memlih nomor dua. Tak perlu lah saya jelaskan di sini. Toh, sudah tak relevan lagi. Ada hal yang jauh lebih penting.
Teman-teman, setelah proses ini berakhir siapapun yang terpilih nanti, semua punya tugas yang sama; membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Kampanye hitam yang terjadi sebelum ini, yang menjadikan tenun kebangsaan kita tercabik-cabik, tidak boleh dibawa dan harus dihentikan mulai hari ini. Bila yang jadi nanti adalah pasangan nomor urut satu, maka semua elemen yang tadinya mendukung pasangan nomor urut dua harus mau legowo dan ikut serta bersatu dan bekerja sama membangun bangsa ini. Sebaliknya, bila yang jadi nanti adalah pasangan nomor urut dua, maka semua elemen yang tadinya mendukung pasangan nomor urut satu harus mau menerima dan ikut berperan serta dalam memperbaiki bangsa ini ke depan. Ada yang jauh lebih penting dari pesta pemilihan presiden kali ini. Kedua pasangan calon adalah manusia biasa, dan saya yakin siapapun yang jadi presiden nanti semuanya tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah yang ada di negara ini secara sendirian. Permasalahan di Indonesia terlalu banyak untuk bisa diselesaikan oleh satu-dua atau segelintir orang saja. Semuanya harus turut serta turun tangan untuk Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berangan dengan memilih salah satu pasangan tertentu, kemudian pasangan itu akan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di Republik ini, maka hal tersebut tak lebih dari sebuah ilusi belaka. Setelah hari ini, yang dibutuhkan Republik ini adalah iuran dari seluruh bangsa Indonesia. Iuran segalanya.
Bagi para pendukung kedua pasangan yang mungkin sampai hari ini masih belum mau saling menyapa karena beda pilihan, secepatnyalah tambal persaudaraan yang robek itu. Perbedaan dalam pilihan presiden itu biasa. Jadi tidak perlu saling menghujat, apalagi kafir-mengkafirkan. Sahur pagi tadi Pak Anies Baswedan berkicau di twitternya. Dan menurut saya kicauan beliau itu sangat bermakna dan relevan bagi anda-anda yang sampai hari ini masih saling gontok-gontokan hanya karena beda pilihan politik. Berikut kicauan beliau,
“Kedewasan berpolitik = kemampuan utk tahu ambang batas dimana konflik tak boleh diteruskan agar tak merusak kepentingan bersama” (Kicaun ini sesuai dengan apa yang ditulis beliau, tanpa ada perubahan singkatan).
Kedewasan bepolitik adalah kemampuan untuk tahu ambang batas di mana konflik tidak boleh diteruskan agar tidak merusak kepentingan bersama. Tak dapat dipungkiri, ketersediaan pasangan capres-cawapres kali ini yang hanya dua, membuat konflik yang terjadi semakin runcing. Apalagi fanatisme dari para pendukung kedua pasangan semakin tersulut dengan adanya kampanye hitam dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Kali ini saya sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa kecintaan berlebih dan kebencian berlebih terhadap seseorang, sesuatu atau kelompok akan membutakan mata orang yang mencintai atau membenci. Saya teringat dengan perkataan Ali bin Abi Thalib,
احبب حبيبك هونا ما عسى ان يكون بغيضك يوما ما ... وابغض بغيضك هونا ما عسى ان يكون حبيبك يوما ما
“Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau cintai itu akan menjadi orang yang engkau benci suatu saat nanti. Bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau benci akan menjadi orang yang engkau cintai suatu saat nanti.”
Kalau boleh sedikit memformulasikan kembali apa yang dikatakan Sayyidina Ali, maka saya akan mengatakan,
“Cintai dan dukunglah calon presidenmu sewajarnya saja, karena bisa jadi calon presidenmu akan menjadi orang yang engkau benci suatu saat nanti. Bencilah lawan calon presidenmu sewajarnya saja, karena bisa jadi lawan calon presidenmu akan menjadi orang yang engkau dukung dan cintai suatu saat nanti.”
Akhirnya, mari kita tetap bersatu untuk Indonesia yang lebih baik.
Salam hangat dari kampung Nitikan baru.
Selasa, 01 Juli 2014
Kontroversi Seputar Visualisasi Sahabat Nabi dalam Serial “Omar”
(Tulisan ini adalah tulisan lama dari salah seorang dosen saya, Muhammad Rofiq, sekitar setahun yang lalu, tepatnya Ramadan 1434 H, ketika pertama kali serial "Omar" ini dirilis. Meskipun tulisan lama, tapi relevansi pesan dari tulisan ini nampaknya masih dapat dirasakan sampai hari ini. Selamat membaca!)
Bulan Ramadan yang lalu, penonton televisi di Indonesia dihibur oleh suatu drama kolosal yang mengangkat kisah sahabat nabi senior, khalifah kedua dan pemimpin ekspansi terbesar dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab. Kehadiran serial ini sesungguhnya ibarat datangnya air bagi orang-orang yang kehausan di tengah padang pasir. Serial ini memberikan pencerahan bagi publik dan membawa warna baru bagi tayangan-tayangan televisi di tanah air yang semakin tidak jelas orientasinya. Serial ini menghibur, mengekplorasi sejarah, menampilkan teladan dan sekaligus menggugah semangat umat Islam untuk beragama dengan lebih baik.
Selain di tanah air, serial berjudul “Omar” ini juga mendapatkan apresiasi yang sangat positif di dunia internasional. Serial ini diputar selama bulan Ramadan di hampir seluruh negara Arab dengan jumlah penonton yang signifikan. Sebuah berita di internet menyebutkan bahwa pada saat pemutaran perdananya di awal Ramadan, serial ini menarik sampai 6 juta penonton di dunia Arab. Angka yang cukup fantastis untuk sebuah tayangan televisi yang disiarkan di waktu sahur. Di luar Arab, negara yang menayangkan serial Omar adalah Turki (melalui stasiun ATV) dan Indonesia (melalui stasiun MNCTV) dengan diterjemahkan ke bahasa lokal. Di dunia maya, serial ini juga telah diunduh ribuan kali dari situs youtube oleh para pengguna internet.
Namun, selain menerima sambutan positif, serial ini juga menerima sambutan negatif dan penolakan dari sebagian kalangan. Beberapa lembaga keagamaan, seperti Universitas al-Azhar Mesir dan Lembaga Fatwa Arab Saudi bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk pemutaran dan penayangannya. Di Uni Emirat Arab (UEA), isu tentang serial Omar juga menjadi komoditas politik, di mana menteri luar negeri dari negara tersebut juga ikut berbicara menyerukan pemboikotan. Di Riyadh, Arab Saudi, kantor perwakilan MBC (stasiun televisi yang memproduksi serial ini) mendapatkan ancaman pembakaran. Di internet bermunculan opini-opini penolakan, diantaranya bahkan ada yang sampai melakukan aksi penggalangan melalui sebuah akun facebook untuk menghentikan serial ini.
Dari pengamatan penulis melalui internet terhadap situs-situs berita dunia Arab, terdapat polarisasi yang sangat esktrem dalam menyikapi serial ini, antara pihak yang menyambut positif dan pihak yang bersikap antipati. Polarisasi itu terjadi terutama karena perbedaan persepsi mengenai persoalan visualisasi sejarah Islam, khususnya periode nabi, dan personifikasi sahabat beliau.
Para ulama yang menolak serial ini berpandangan bahwa peristiwa bersejarah dan monumental yang diperankan oleh sahabat nabi bukan untuk divisualisasikan, tetapi untuk dipelajari dan diambil hikmahnya. Apalagi mengingat posisi para sahabat nabi yang sangat mulia, tidak akan mungkin manusia di zaman sekarang mampu merekonstruksi kehebatan dan perjuangan mereka dalam membela dan menegakkan agama Islam. Menurut para ulama yang menolak, film yang memvisualisasi sahabat nabi dinilai hanya akan merusak (mendistorsi) kemuliaan para sahabat nabi. Jika umat Islam mau mengetahui dan meneladani mereka, dalam pandangan sebagian ulama tersebut, umat Islam seharusnya membaca buku-buku sejarah, bukan justru membuat film. Fatwa haram juga dikeluarkan sebagai langkah preventif (saddu al-dzari’ah) agar tidak muncul tindakan yang lebih berani. Ada ketakutan dan kekhawatiran bahwa suatu ketika kisah para nabi pun nanti akan difilmkan. Seorang penulis Arab dalam sebuah artikel menyatakan, “jika hari ini sahabat nabi yang difilmkan, bukan tidak mungkin besok isi al-Quran juga akan difilmkan”. Kekhawatiran tersebut sesungguhnya sudah terjadi. Sejak Ramadan tahun lalu, publik Arab sebenarnya sudah menyaksikan penayangan film “Yusuf al-Shiddiq” yang menampilkan kisah nabi Yusuf As.
Selain penolakan, adapula yang mengajukan kritik konstruktif mengenai aspek teknis dalam film ini. Misalnya ada sorotan mengenai beberapa dialog yang tidak akurat, kesalahan rekonstruksi suasana kota Makkah dan Madinah pada abad ke 7 masehi, ketidaktepatan dalam pemilihan artis yang memerankan figur sahabat nabi, pengabaian beberapa segmen sejarah yang justru krusial untuk dimunculkan, dan kritik untuk kegagalan serial Omar dalam menampilkan peran sentral masjid sebagai tempat yang digunakan nabi untuk mendidik sahabatnya.
Sedangkan pihak yang mengapresiasi positif, menyebutkan bahwa serial ini telah melakukan dua lompatan prestasi sekaligus, yaitu lompatan di dunia perfilman dan lompatan di aspek keagamaan (fikih). Nidhal Geussoum, seorang astronom ternama, mengapresiasi serial ini dengan menulis di akun facebooknya : “Ramadan tahun ini memberikan suatu hadiah yang amat berharga bagi keluarga muslim, yaitu film berjudul “Omar”. Saya sebenarnya orang yang jarang menonton film berseri, tetapi film ini benar-benar layak untuk diikuti dan didukung. Kualitas produksi yang tinggi, dialog yang mengagumkan dan akting yang luar biasa. Lebih dari itu, yang paling penting adalah nilai yang disuguhkan oleh film ini, diantaranya adalah keadilan, persamaan, toleransi terhadap non-muslim, musyawarah dan introspeksi diri”.
Dari aspek perfilman, memang harus diakui bahwa serial ini dibuat dengan kualitas yang sangat tinggi. Seperti ditulis dalam web resmi stasiun MBC, pembuatan serial Omar melibatkan 30.000 aktor kawakan dari 10 negara dan menelan biaya produksi sebesar 100 juta dolar Amerika. Dialog yang muncul dalam film ini tidak ditulis berdasarkan fiksi, melainkan digali dari sumber-sumber sejarah yang terpercaya (al-mashadir al-tarikhiyyah al-mautsuqah). Tidak cukup sampai di situ, untuk memastikan akurasi cerita dan legalitas syariahnya, serial ini juga diawasi langsung oleh satu komite syariah yang berisikan ulama-ulama senior kaliber dunia, diantaranya Dr. Yusuf Qardlawi, Dr. Salman Audah (perwakilan pakar syariah) dan Dr. Ali Shalabiy dan Dr. Akram Dhiya al-Umari (perwakilan pakar sejarah). Dr. Walid Saif, sang penulis skenario serial ini sendiri adalah seorang sastrawan ulung, alumni University of London, yang juga telah berpengalaman menulis skenario film-film sejarah kolosal. Sedangkan Samir Ismail yang memainkan peran sebagai sahabat Umar dalam serial tersebut adalah seorang alumni institut seni drama dari Syiria. Untuk dapat menghayati peran secara maksimal ia mengaku bahwa ia membaca sepuluh literatur sejarah mengenai sahabat Umar bin Khattab.Dari aspek keagamaan, serial ini dianggap telah menampilkan wajah Islam yang orisinil, Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan kerahmatan bagi semesta alam. Serial ini juga dianggap relevan untuk menjawab distorsi sejarah Islam yang selama ini dilakukan oleh dunia Barat dan sekte-sekte Islam yang menyimpang, seperti sekte Syiah. Selain itu, serial Omar dinilai telah menjadi satu model dari bagaimana konsep fikih Islam mengenai entertainment (fiqh al-lahwi wa al-tarwih) yang bersifat teoretis dibumikan ke ranah praksis (tajsidu al-fiqh ilal waqi). Yang lebih penting lagi, serial ini dianggap telah mendobrak kejumudan fikih Islam. Selama lebih 14 abad, fikih (aturan mengenai yurisprudensi Islam) berada dalam kegamangan menyikapi persoalan visualisasi sahabat nabi. Memang pada tahun 1976, sebagian ulama dan institusi keagamaan telah mengizinkan film The Message (disutradarai oleh almarhum Mustafa Akkad) yang menampilkan sebagian sahabat nabi untuk diluncurkan. Hanya saja, pada saat itu para ulama masih melarang untuk menampilkan secara visual sahabat-sahabat senior, terutama sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga (al-‘asyrah al-mubassyarun bi al-jannah). Namun, setelah melihat perkembangan aktual dari dakwah Islam dan menimbang (muwazanah) aspek maslahat dan mafsadat, para ulama akhirnya melakukan satu pembaruan (reposisi) pandangan keagamaan. Mereka menyadari bahwa bertahan pada pendapat lama justru akan mengabaikan kemaslahatan yang jauh lebih besar.
Berangkat dari kontroversi yang merebak pasca munculnya serial Omar, ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita ambil. Pertama, pentingnya orientasi yang jelas dalam pembuatan film. Selain dapat menghibur dan harus memiliki kualitas yang tinggi, sebuah film juga semestinya bersifat edukatif dan dapat membangkitkan kesadaran beragama para penontonnya. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada serial Omar, industri perfilman di tanah air sudah seharusnya melakukan refleksi total agar kualitas film nasional dapat lebih baik lagi. Kita merindukan tayangan-tayangan yang mencerahkan, bukan sekedar banyolan, tayangan gosip, mistis atau drama dengan kualitas rendahan yang justru semakin membodohkan. Kedua, fatwa atau opini para ulama adalah media yang efektif untuk melakukan pembaruan sosial. Suara ulama sangat menentukan dinamika Islam di kemudian hari. Oleh karena itu, para ulama selain harus mumpuni dan memiliki kualifikasi keilmuan (kafaah syariyaah), juga harus memiliki sifat progresif dan berwawasan jauh ke depan (visioner). Wallahu A’lam.
Bulan Ramadan yang lalu, penonton televisi di Indonesia dihibur oleh suatu drama kolosal yang mengangkat kisah sahabat nabi senior, khalifah kedua dan pemimpin ekspansi terbesar dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab. Kehadiran serial ini sesungguhnya ibarat datangnya air bagi orang-orang yang kehausan di tengah padang pasir. Serial ini memberikan pencerahan bagi publik dan membawa warna baru bagi tayangan-tayangan televisi di tanah air yang semakin tidak jelas orientasinya. Serial ini menghibur, mengekplorasi sejarah, menampilkan teladan dan sekaligus menggugah semangat umat Islam untuk beragama dengan lebih baik.
Selain di tanah air, serial berjudul “Omar” ini juga mendapatkan apresiasi yang sangat positif di dunia internasional. Serial ini diputar selama bulan Ramadan di hampir seluruh negara Arab dengan jumlah penonton yang signifikan. Sebuah berita di internet menyebutkan bahwa pada saat pemutaran perdananya di awal Ramadan, serial ini menarik sampai 6 juta penonton di dunia Arab. Angka yang cukup fantastis untuk sebuah tayangan televisi yang disiarkan di waktu sahur. Di luar Arab, negara yang menayangkan serial Omar adalah Turki (melalui stasiun ATV) dan Indonesia (melalui stasiun MNCTV) dengan diterjemahkan ke bahasa lokal. Di dunia maya, serial ini juga telah diunduh ribuan kali dari situs youtube oleh para pengguna internet.
Namun, selain menerima sambutan positif, serial ini juga menerima sambutan negatif dan penolakan dari sebagian kalangan. Beberapa lembaga keagamaan, seperti Universitas al-Azhar Mesir dan Lembaga Fatwa Arab Saudi bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk pemutaran dan penayangannya. Di Uni Emirat Arab (UEA), isu tentang serial Omar juga menjadi komoditas politik, di mana menteri luar negeri dari negara tersebut juga ikut berbicara menyerukan pemboikotan. Di Riyadh, Arab Saudi, kantor perwakilan MBC (stasiun televisi yang memproduksi serial ini) mendapatkan ancaman pembakaran. Di internet bermunculan opini-opini penolakan, diantaranya bahkan ada yang sampai melakukan aksi penggalangan melalui sebuah akun facebook untuk menghentikan serial ini.
Dari pengamatan penulis melalui internet terhadap situs-situs berita dunia Arab, terdapat polarisasi yang sangat esktrem dalam menyikapi serial ini, antara pihak yang menyambut positif dan pihak yang bersikap antipati. Polarisasi itu terjadi terutama karena perbedaan persepsi mengenai persoalan visualisasi sejarah Islam, khususnya periode nabi, dan personifikasi sahabat beliau.
Para ulama yang menolak serial ini berpandangan bahwa peristiwa bersejarah dan monumental yang diperankan oleh sahabat nabi bukan untuk divisualisasikan, tetapi untuk dipelajari dan diambil hikmahnya. Apalagi mengingat posisi para sahabat nabi yang sangat mulia, tidak akan mungkin manusia di zaman sekarang mampu merekonstruksi kehebatan dan perjuangan mereka dalam membela dan menegakkan agama Islam. Menurut para ulama yang menolak, film yang memvisualisasi sahabat nabi dinilai hanya akan merusak (mendistorsi) kemuliaan para sahabat nabi. Jika umat Islam mau mengetahui dan meneladani mereka, dalam pandangan sebagian ulama tersebut, umat Islam seharusnya membaca buku-buku sejarah, bukan justru membuat film. Fatwa haram juga dikeluarkan sebagai langkah preventif (saddu al-dzari’ah) agar tidak muncul tindakan yang lebih berani. Ada ketakutan dan kekhawatiran bahwa suatu ketika kisah para nabi pun nanti akan difilmkan. Seorang penulis Arab dalam sebuah artikel menyatakan, “jika hari ini sahabat nabi yang difilmkan, bukan tidak mungkin besok isi al-Quran juga akan difilmkan”. Kekhawatiran tersebut sesungguhnya sudah terjadi. Sejak Ramadan tahun lalu, publik Arab sebenarnya sudah menyaksikan penayangan film “Yusuf al-Shiddiq” yang menampilkan kisah nabi Yusuf As.
Selain penolakan, adapula yang mengajukan kritik konstruktif mengenai aspek teknis dalam film ini. Misalnya ada sorotan mengenai beberapa dialog yang tidak akurat, kesalahan rekonstruksi suasana kota Makkah dan Madinah pada abad ke 7 masehi, ketidaktepatan dalam pemilihan artis yang memerankan figur sahabat nabi, pengabaian beberapa segmen sejarah yang justru krusial untuk dimunculkan, dan kritik untuk kegagalan serial Omar dalam menampilkan peran sentral masjid sebagai tempat yang digunakan nabi untuk mendidik sahabatnya.
Sedangkan pihak yang mengapresiasi positif, menyebutkan bahwa serial ini telah melakukan dua lompatan prestasi sekaligus, yaitu lompatan di dunia perfilman dan lompatan di aspek keagamaan (fikih). Nidhal Geussoum, seorang astronom ternama, mengapresiasi serial ini dengan menulis di akun facebooknya : “Ramadan tahun ini memberikan suatu hadiah yang amat berharga bagi keluarga muslim, yaitu film berjudul “Omar”. Saya sebenarnya orang yang jarang menonton film berseri, tetapi film ini benar-benar layak untuk diikuti dan didukung. Kualitas produksi yang tinggi, dialog yang mengagumkan dan akting yang luar biasa. Lebih dari itu, yang paling penting adalah nilai yang disuguhkan oleh film ini, diantaranya adalah keadilan, persamaan, toleransi terhadap non-muslim, musyawarah dan introspeksi diri”.
Dari aspek perfilman, memang harus diakui bahwa serial ini dibuat dengan kualitas yang sangat tinggi. Seperti ditulis dalam web resmi stasiun MBC, pembuatan serial Omar melibatkan 30.000 aktor kawakan dari 10 negara dan menelan biaya produksi sebesar 100 juta dolar Amerika. Dialog yang muncul dalam film ini tidak ditulis berdasarkan fiksi, melainkan digali dari sumber-sumber sejarah yang terpercaya (al-mashadir al-tarikhiyyah al-mautsuqah). Tidak cukup sampai di situ, untuk memastikan akurasi cerita dan legalitas syariahnya, serial ini juga diawasi langsung oleh satu komite syariah yang berisikan ulama-ulama senior kaliber dunia, diantaranya Dr. Yusuf Qardlawi, Dr. Salman Audah (perwakilan pakar syariah) dan Dr. Ali Shalabiy dan Dr. Akram Dhiya al-Umari (perwakilan pakar sejarah). Dr. Walid Saif, sang penulis skenario serial ini sendiri adalah seorang sastrawan ulung, alumni University of London, yang juga telah berpengalaman menulis skenario film-film sejarah kolosal. Sedangkan Samir Ismail yang memainkan peran sebagai sahabat Umar dalam serial tersebut adalah seorang alumni institut seni drama dari Syiria. Untuk dapat menghayati peran secara maksimal ia mengaku bahwa ia membaca sepuluh literatur sejarah mengenai sahabat Umar bin Khattab.Dari aspek keagamaan, serial ini dianggap telah menampilkan wajah Islam yang orisinil, Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan kerahmatan bagi semesta alam. Serial ini juga dianggap relevan untuk menjawab distorsi sejarah Islam yang selama ini dilakukan oleh dunia Barat dan sekte-sekte Islam yang menyimpang, seperti sekte Syiah. Selain itu, serial Omar dinilai telah menjadi satu model dari bagaimana konsep fikih Islam mengenai entertainment (fiqh al-lahwi wa al-tarwih) yang bersifat teoretis dibumikan ke ranah praksis (tajsidu al-fiqh ilal waqi). Yang lebih penting lagi, serial ini dianggap telah mendobrak kejumudan fikih Islam. Selama lebih 14 abad, fikih (aturan mengenai yurisprudensi Islam) berada dalam kegamangan menyikapi persoalan visualisasi sahabat nabi. Memang pada tahun 1976, sebagian ulama dan institusi keagamaan telah mengizinkan film The Message (disutradarai oleh almarhum Mustafa Akkad) yang menampilkan sebagian sahabat nabi untuk diluncurkan. Hanya saja, pada saat itu para ulama masih melarang untuk menampilkan secara visual sahabat-sahabat senior, terutama sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga (al-‘asyrah al-mubassyarun bi al-jannah). Namun, setelah melihat perkembangan aktual dari dakwah Islam dan menimbang (muwazanah) aspek maslahat dan mafsadat, para ulama akhirnya melakukan satu pembaruan (reposisi) pandangan keagamaan. Mereka menyadari bahwa bertahan pada pendapat lama justru akan mengabaikan kemaslahatan yang jauh lebih besar.
Berangkat dari kontroversi yang merebak pasca munculnya serial Omar, ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita ambil. Pertama, pentingnya orientasi yang jelas dalam pembuatan film. Selain dapat menghibur dan harus memiliki kualitas yang tinggi, sebuah film juga semestinya bersifat edukatif dan dapat membangkitkan kesadaran beragama para penontonnya. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada serial Omar, industri perfilman di tanah air sudah seharusnya melakukan refleksi total agar kualitas film nasional dapat lebih baik lagi. Kita merindukan tayangan-tayangan yang mencerahkan, bukan sekedar banyolan, tayangan gosip, mistis atau drama dengan kualitas rendahan yang justru semakin membodohkan. Kedua, fatwa atau opini para ulama adalah media yang efektif untuk melakukan pembaruan sosial. Suara ulama sangat menentukan dinamika Islam di kemudian hari. Oleh karena itu, para ulama selain harus mumpuni dan memiliki kualifikasi keilmuan (kafaah syariyaah), juga harus memiliki sifat progresif dan berwawasan jauh ke depan (visioner). Wallahu A’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)