Rabu, 28 Maret 2012

Tanggapan atas Tulisan Asrar Mabrur Faza


Mungkin - menurut sebagian orang - tidaklah pantas seorang mahasiswa strata satu (S1) menanggapi, apalagi mengkritik seorang kandidat doktor dalam bidang hadis yang - insya Allah - tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Dan itu yang penulis rasakan ketika seorang teman - tepatnya kakak kelas saya – “menantang” agar saya menaggapi tulisan dari saudara Asrar Mabrur Faza (dosen STAIS Al-Hikmah Medan dan kandidat doktor UIN Alauddin Makassar) yang beberapa waktu lalu dimuat dalam situs Islam Liberal.

 Untuk lebih memudahkan pembahasan, baik kiranya terlebih dahulu kita membaca tulisan saudara Asrar dalam situs Islam Liberal tersebut dalam http://islamlib.com/id/artikel/arah-baru-pembacaan-terhadap-hadis

Dalam tulisannya, saudara Asrar Mabrur Faza menawarkan wacana tentang “pembacaan baru” terhadap hadis Nabi yang menurutnya harus disesuaikan dengan konteks kekinian dan keindonesiaan. Sebuah wacana yang terdengar sangat solusif, mengingat hadis Nabi (dalam beberapa kasus) sekarang ini sedikit banyak telah disalahartikan dengan cara literal dan cenderung kaku. Namun karena merasa agak kurang sependapat dengan beliau, penulis mencoba menyampaikan ketidaksependapatan tersebut berikut alasan dan argumen-argumennya.

Pertama, mungkin benar apa yang dikatakan saudara Asrar bahwa diskursus epistemologis yang pernah terjadi antara kelompok ahli hadis dan ahli ra’yi berdampak besar terhadap para sarjana-sarjana hadis (muslim) yang muncul belakangan. Tapi sebenarnya pada tataran substansi tidaklah demikian karena ahli hadis pun sebenarnya masih tetap mengadopsi akal (ra’yu) -  dan begitu sebaliknya - (Abdul Rahman al-Shabuni, Khalifah Babakr, Mahmud Muhammad Thanthawi, al-Madkhal al-Fiqhiy wa Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: 252) yang membawa kepada kebersinambungan antara akal dan wahyu. Sehingga tidak secara mutlak akal harus menentang wahyu - baik al-Qur’an maupun hadis -  ketika antara keduanya terlihat kurang atau tidak sejalan.

Memang harus diakui sepanjang perjalanan keilmuan sarjana hadis (muslim) perhatian terhadap rasionalitas kajian hadis, yang dalam hal ini masuk dalam kriteria kritik matan (al-naqd al-dakhiliy) kurang mendapat “sentuhan” bila dibandingkan dengan apa yang mereka (sarjana muslim) lakukan kepada sanad (al-naqd al-kharijiy). Hal ini pula yang diakui oleh Shalahuddin al-Adlabi. Bahkan menurutnya, bahwa justru kritik matan ini sangat diperhatikan oleh para kaum Mu’tazilah (Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawiy: 10), yang terkenal sebagai kaum rasionalis.

Sarjana hadis muslim sebenarnya telah memasukkan kriteria kesahihan matan ketika akan menilai suatu hadis. Terbukti dalam lima syarat kesahihan hadis, sesugguhnya dua diantaranya adalah kritik terhadap isi (matan) hadis, yakni terhindar dari syadz dan ‘illat. Namun tampaknya, dua kriteria kesahihan matan ini kurang (untuk mengatakan tidak sama sekali) dielaborasi lebih jauh oleh para sarjana hadis muslim. Sehingga diskursus hadis di kalangan umat Islam tampak terlihat hanya menekankan pada kritik sanad dan cenderung mengabaikan kritik matan.

Pada zaman Nabi, para sahabat - secara langsung maupun tidak langsung - sesungguhnya mempraktekkan kritik matan ini. Diantara yang paling terkenal mungkin adalah istri Nabi Muhammad Saw, ‘Aisyah binti Abu Bakar. Satu contoh, ketika ‘Aisyah mengkritik matan hadis Abu Hurairah yang menjelaskan tentang tiga sesuatu yang bisa membatalkan shalat apabila salah satu dari tiga ini lewat di hadapan orang yang sedang shalat, yaitu anjing, khimar dan wanita. ‘Aisyah - yang mungkin sebagai wanita dan merasa “tidak terima” status kewanitaannya disamakan dengan anjing dan khimar - mengkritik matan hadis ini dengan mengungkapkan beberapa argumen dan riwayat yang mendukungnya. Ia mengaku bahwa ia pernah tidur (seperti tidurnya jenazah) di hadapan Rasulullah, dan ketika itu Rasul sedang dalam keadaan shalat. (Shalahuddin al-Adlabi, Ibid: 118-119 dan al-Zarkasyi, al-Ijabah liiradi ma Istadrakathu ‘Aisyah ‘ala al-Shahabah: 153-154). Selain ‘Asiyah, beberapa sahabat juga pernah mempraktekkan kritik matan, misalnya,  Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Shalahuddin al-Adlabi, Ibid: 133-139).

Mengingat sulitnya kritik matan ini, para sarjana hadis - khususnya kontemporer - tidak sembarangan dalam merumuskan kaidah-kaidahnya. Dalam Manhaj Naqd al-Matan ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawiymisalnya, Shalahuddin al-Adlabi memberikan beberapa penjelasan tentang kaidah-kaidah yang tidak boleh dilanggar oleh para pengkaji hadis. Diantaranya yang menurut penulis sangat penting - dalam kaitannya untuk menanggapi tulisan saudara asrar - adalah bahwa matan hadis (atau interpretasi terhadap pemaknaannya) tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip penting yang termaktub dalam al-Qur’an (Shalahuddin al-Adlabi, Ibid: 239). Memahami hadis harus disinergikan dan tetap berpegang terhadap semangat al-Qur’an yang mulia (Yusuf al-Qaradlawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: 93). Oleh karena itu, wacana-wacana “pembacaan baru” yang digulirkan dalam tulisan saudara Asrar, seperti kesetaraan agama-agama (al-musawah baina al-adyan) dan lain sebagainya sangat tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an. Teori maqashid al-syari’ah yang diusung saudara Asrar sebagai alibi pembenarannya juga tidak bisa dibenarkan. Sebagai contoh, apakah penyetaraan agama akan membawa dan menjamin kepada kemaslahatan? Padahal salah satu dari maslahat dlaruriyyat (kemaslahatan primer) yang lima, ialah harus menjaga agama (hifzu al-din). Sementara penyetaraan agama itu justru akan mencederai agama itu sendiri.

Kedua, Mengenai keadilan sahabat - jujur jauh sebelum menanggapi tulisan saudara asrar - awalnya penulis pun mengalami semacam dilema. Mengapa? Karena di satu sisi penulis - sebagai muslim yang sadar akan kehormatan para sahabat - harus menerima dan mengakui doktrin “al-shahabah kulluhum ‘udul (semua sahabat bersifat adil)” yang konon telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sarjana hadis muslim (Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: 167), tapi di sisi lain penulis mendapati bukti-bukti dalam kitab-kitab biografi tentang sahabat yang dipertanyakan keadilannya, sebagaimana nama-nama yang disebutkan oleh saudara Asrar. Bahkan khusus kasus sahabat al-Walid bin ‘Uqbah dicantumkan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, Lubbab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul sebagai tokoh yang berperan terhadap turunnya surat al-Hujurat ayat 6 tentang kewajiban tabayun terhadap berita yang dibawa oleh orang fasiq (Jalaluddin al-Suyuthi, Lubbab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul: 194). Perdebatan tentang otoritas sahabat sebagai “orang yang istimewa” sejatinya telah terjadi sejak zaman pra-Nabi. Pelopor dan pengusungnya tentu adalah orang-orang yang membenci “sahabat Nabi” yang merasa telah didiskriminasi oleh mereka, yang dalam hal ini adalah Khawarij dan Syi’ah. Para sarjana hadis muslim - pendukung sahabat - yang mendengar dan tahu akan hal ini tidak tinggal diam. Mereka membela otoritas sahabat dengan mengajukan beberapa argumen, baik dari al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan juga logika akal (Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadits: 121-124).

Kajian tentang keadilan sahabat, implikasi dalam penggunaan definisi sahabat, siapa saja yang termasuk dalam kategori sahabat, bahkan lebih jauh pola penyebarannya di daerah-daerah “taklukkan” Islam bisa di baca dalam buku Fuad Jabali, seorang Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? .

Seiring berjalannya waktu - terlepas dari perdebatan tentang keadilan sahabat dan tuduhan ketidak objektifan dalam menilai sahabat - penulis lebih cenderung dan mantap dengan pendapat yang dibawa oleh para sarjana hadis muslim; bahwa seluruh sahabat bersifat adil. Karena, selain alasan dan argumen yang dijelaskan para sarjana hadis “pendukung sahabat”, implikasi dari otoritas sahabat akan berpengaruh pada keabsahan hadis mursal shahabi sebagai hujjah dalam agama. Sebagaimana diketahui bahwa status hadis mursal shahabi berbeda dengan hadis mursal “biasa” dan atau hadis mursal tabi’iy. Hadis mursal shahabi menurut para ahli hadis bisa dijadikan hujjah, karena seluruh sahabat (jika term “al-shahabah kulluhum ‘udul” diterima dan diakui) bersifat adil (Nuruddin ‘Itr, Ibid: 373). Sebaliknya, jika kita tidak menerima dan mengakui term tersebut maka kita harus pula berani menolak hadis mursal shahabi yang telah disepakati keabsahannya. Oleh karena itu, penulis - sebagai seorang yang masih dan insya Allah akan tetap mengakui bahwa hadis adalah salah satu sumber hukum Islam - menerima sekaligus mengakui term; seluruh sahabat bersifat adil. Wallohu a’lam bi al-shawab.





Kaliurang, Maret 2012.

Kamis, 08 Maret 2012

MENGENAL LEBIH JAUH TIPOLOGI PEMIKIRAN DALAM ISLAM

MENGENAL LEBIH JAUH TIPOLOGI PEMIKIRAN DALAM ISLAM*

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi

Dalam syari’at Islam pembebanan (taklîf) kepada manusia memiliki tujuan-tujuan, atau dalam istilah ushul fikih dikenal dengan teori maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum). Teori ini bisa dibilang pertama kali dicetuskan oleh al-Juwaini, guru dari imam al-Ghazali yang kemudian mewarisi teori tersebut. Setelah al-Ghazali, ‘Izzu al-Din ibn ‘Abdi al-Salam, seorang ulama dari madzhab Syafi’i meneruskan estafeta pengembangan teori ini. Namun, tokoh yang paling terkenal dalam pembahasan teori maqâshid al-syarî’ah tidak lain dan tidak bukan adalah Imam al-Syathibi dengan buah karyanya yang menjadi masterpiece dalam dunia Islam, al-Muwâfaqât (Fathurrahman Djamil: 37-38). Karya ini bisa dibilang karya paling monumental dalam kajian ushul fikih yang membahas tentang maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum).


Dalam perkembangannya – khususnya di Indonesia - teori maqâshid al-syarî’ah di identikkan dan menjadi kajian utama dalam Filsafat Hukum Islam. Sehingga mau tidak mau pemikiran manusia sangat berpengaruh dalam memahami  teks-teks agama. Kecenderungan sebagian orang yang memahami teks-teks agama secara tekstual membawa mereka pada pemahaman harfiyyah (literal) yang kaku, tanpa mempertimbangkan tujuan-tujuan ditetapkannya hukum. Sebaliknya, sebagian orang yang berdalih hanya pada maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum) tanpa memperhatikan nash-nash yang ada, mengakibatkan mereka terjerumus kepada pemahaman yang bebas (liberal). Namun, diantara keduanya ada sebagian orang yang memadukan antara teks dan maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum) dengan proporsional sesuai prinsip-prinsip agama yang benar. Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam salah satu kitabnya yang berjudul “Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah” membagi tipologi pemikiran Islam – pada zaman sekarang -  menjadi tiga aliran besar; pertama, al-zhahiriyyah al-judud (neo-literalisme), kedua, al-mu’aththilah al-judud (neo-liberalisme), dan yang ketiga, al-wasathiyyah (moderat).

1.       Al-Dzahiriyyah al-Judud (neo-literalisme)

Aliran dzahiriyyah (literalisme) sesungguhnya telah lahir sejak abad ke-3 hijriyyah, dengan pencetusnya Dawud ibn Ali Bahri (202-270 H) atau yang lebih akrab dengan nama Dawud Dzahiri. Seiring berjalannya waktu aliran ini mulai pudar sebelum ditransformasi kembali oleh Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (384-456 H) (Asjmuni Abdurrahman: 3). Ibnu Hazm inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai “penyebar” aliran Dzahiriyyah. Pemahaman ibnu Hazm ini sangat tekstualis, bahkan cenderung ekstrim. Contohnya misalnya ketika ia memahami hadis tentang diamnya perempuan ketika dilamar seorang lelaki. Jumhur ulama berpendapat bahwa diamnya perempuan ketika dilamar berarti ia mau atas lamaran tersebut, karena pada umumnya perempuan malu untuk mengungkapkannya secara langsung. Seandainya perempuan tersebut menyetujuinya dengan menjawab langsung pinangan laki-laki, maka – otomatis – itu lebih menunjukkan atas kesetujuaannya. Namun pemahaman ibnu hazm tidaklah demikian. Menurutnya, jika si perempuan menjawab langsung maka akad tersebut menjadi tidak sah dan batal, karena teks hadis tersebut menjelaskan tentag diamnya perempuan yang dilamar.

Di zaman sekarang  mereka mewariskan paham ketekstualan kepada para successor-nya dengan pemikiran yang lebih “berkembang”. Selain karena faktor internal, faktor eksternal dari luar pun tidak dapat dipungkiri ikut berpengaruh di dalamnya. Inilah kemudian yang oleh Yusuf Qaradhawi dinamakan dengan aliran al-Dzahiriyyah al-Judud (neo-literalisme).

Karakteristik dan ciri khas aliran ini (Yusuf Qaradhawi, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah: 53-57) diantaranya ialah:
  1. Memahami nash agama secara harfiyyah (tekstual) tanpa memperhatikan hikmah dibalik penetapan hukum
  2. Kecenderungan tasyaddud (menyangat-nyagatkan) dan ta’sîr (menyulit-nyulitkan)
  3. Intoleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadi
  4. Menganggap salah terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan mereka
  5. Menolak dan mengingkari adanya ‘illat (kausa/motif hukum) dalam penetapan beberapa hukum
  6. Berpegang secara kaku terhadap nash yang bersifat juz-iy (partikular)
 2.       Al-Mu’aththilah al-Judud (neo-liberalisme)

Konon, benih-benih aliran ini diturunkan dari kelompok rasionalis, Mu’tazilah. Menurut Abu Zahrah kelompok Mu’taziah mulai muncul pada masa dinasti Umayyah. Hingga akhirnya “keeksisan” kelompok ini bisa bertahan sampai pada masa dinasti Abasiyyah (Muhammad Abu Zahrah, Târîkhu al-Madzâhib al-Islâmiyyah, vol. I, hal. 138). Kelompok atau aliran yang terkenal dengan al-ushûl al-khamsah (5 pokok ajaran) tersebut sangat berpegang teguh pada peran akal dalam ber-istidlal (khususnya dalam masalah akidah) (ibid, hal. 144).

Di era modern, kelompok ini bertransformasi dengan menggunakan topeng yang lebih inovatif dan kreatif. Bedanya kelompok yang dulu lebih aktif “bermain” dan mengotak-atik akidah, kelompok yang baru lebih kepada tataran syari’at atau hukum islam, dengan mengklaim bahwa mereka lebih bergantung kepada maqâshid al-syarî’ah (maksud-maksud ditetapkannya hukum) dan ruh agama dengan menganulir  teks-teks partikular di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Yusuf Qaradhawi: 85). Mereka meremehkan dan tidak menghormati nash-nash agama. Mereka juga memandang rendah dan hina kepada tradisi dan ulama Islam. Namun, dalam waktu yang sama mereka menghormati dan bahkan terkesan kuat “megkultuskan” Barat dan tradisinya.

Perasaan rendah diri (inferiority complex) yang dialami umat Islam melahirkan sikap kagum terhadap peradaban Barat yang maju, sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang telah tetap (tsawâbit), bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang. Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realita dilakukan melalui upaya mencari maqâshid al-syari’âh (makksud tujuan ditetapkannya hukum) yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya. Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia, terjadi upaya meruntuhkan syari`ah seperti pada hukum keluarga, warisan, hudud dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl).

Karakteristik dan ciri khas aliran ini diantaranya ialah (Yusuf Qaradhawi: 93-99):

  1. Tidak memiliki perangkat pemahaman agama yang benar
  2. Mengedepankan peran akal dari pada nash
  3. Keberanian mengungkapkan suatu pendapat (khususnya yang berkaitan dengan agama) tanpa didasari landasan ilmu yang kuat
  4. Mengkultuskan barat dan tradisinya (kebarat-baratan)

 3.       Al-Wasathiyyah (moderat)

Terlalu berpegang pada lahirnya teks (zhahiru al-nash) dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syari’at.
Keduanya sesungguhnya merupakan penyelewengan yang bisa mengakibatkan pada hancurnya agama Islam itu sendiri. Sehingga diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahirnya teks (zhahiru al-nash). Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur’an dan hadis secara benar dan sesuai konteks kekinian.

Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan mu`amalah. Ciri ini disebut dalam Al-Qur’an sebagai al-Shirâth al-Mustaqîm (jalan yang lurus), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhûb `alaihim) dan yang sesat (al-dhâllûn) karena melakukan banyak penyimpangan.
Al-Wasathiyyah (moderat) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; “kiri” dan “kanan”, berlebihan dan keacuhan, literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit dan boros. Karena itu kata “wasath” biasa diartikan dengan 'tengah'.

Karakterisitik dan ciri khas sikap moderat (yusuf Qaradhawi: 147-152):

  1. Meyakini adanya hikmah di balik syari’at serta kandungannya  untuk kemaslahatan makhluk
  2. Selalu menginterkoneksikan antara satu nash/hukum dengan nash/hukum yang lainnya (komprehensif)
  3. Bersikap moderat (pertengahan) pada setiap perkara agama dan dunia
  4. Selalu mengkorelasikan nash-nash agama dengan realita-realita yang kongkrit dan kontemporer
  5. Selalu mengedepankan yang termudah dan mengambil yang termudah
  6. Keterbukaan (inklusifisme) dan toleran (tasâmuh) dengan kelompok yang berbeda pendapat

Sedangkan pijakan mereka dalam memahami teks ialah dengan cara (Yusuf Qaradhawi: 155-199):

  1. Mencari tujuan nash/maksud nash sebelum mengeluarkan pendapat
  2. Memahmi nash sesuai dengan konteks dan sebab turunnya (asbâb al-nuzûl)
  3. Membedakan antara maqâshid (tujuan-tujuan) yang bersifat tetap (konstan) dengan metode-metode yang bersifat fleksibel (berubah-ubah)
  4. Seimbang antara wilayah yang tsawâbit (tetap dan tidak bisa diijtihadi) dan mutaghayyar (berubah-ubah dan bisa diijtihadi)
  5. Membedakan antara makna ibadah dan mu’amalah

Tiga tipologi pemikiran inilah yang saat ini mewakili pemikiran-pemikiran manusia dalam memahami nash-nash agama. Dengan mengenal tipologi-tipologi pemikiran tersebut, setidaknya akan lebih memagari kita agar tidak cepat-cepat melontarkan klaim-klaim  yang mungkin kurang pantas dan tidak enak didengar kepada saudara-saudara kita. Liberalisme memang sesuatu yang membahayakan  dan sangat meresahkan, tetapi klaim liberal pun tidak bisa dikatakan sesuatu hal yang baik dan pantas diucapkan oleh seorang muslim yang bijak. Di sisi lain, Literalisme membuat Islam seolah menjadi agama yang kaku dan terkesan tidak bisa menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Kemoderatan lah yang tampaknya bisa menjadi penengah antara keduanya sehingga Islam bisa menjadi agama yang shôlihun likulli zamân wa makân.

Amîn yâ Rabb al-‘Âlamîn...


 * bisa juga dibaca di situs resmi Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan: http://www.el-wathoni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=400:mengenal-lebih-jauh-tipologi-pemikiran-dalam-islam&catid=58:dunia-islam

Jumat, 02 Maret 2012

WANITA DALAM SHALAT; Shaf Seorang Wanita Yang Makmum Kepada Seorang Lelaki Dan Posisi Imam Wanita Dalam Shalat Jama’ah Wanita (Sebuah Pendekatan Kritik Hadis)


Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi

Perbincangan atau isu yang paling menarik untuk dibahas dan sering sekali dibicarakan dalam kajian keislaman klasik maupun modern adalah pembahasan seputar wanita. Baik dalam ranah fikih, hadis, tafsir, maupun pemikiran. Pun demikian dalam intern Muhammadiyah. Yang paling Terakhir - sepengetahuan penulis - adalah makalah Ustadz  Muhammad Rofiq Lc., M.A., salah seorang anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membahas tentang hukum shalat jum’at bagi wanita dengan makalahnya yang berjudul “Perspektif Ilmu Hadis dan Fikih Tentang Shalat Jum’at Bagi Wanita”. Walaupun makalah ini pada awalnya disiapkan untuk menjawab pertanyaan seorang penanya dari Tegal yang diajukan kepada Majelis Tarjih, namun tidak dapat dipungkiri tulisan tersebut semakin memperkaya pembahasan dan perbincangan tentang  hal-hal yang berkaitan dengan wanita.

Mati satu tumbuh seribu”. Peribahasa ini mungkin sangat sejalan dengan apa yang terjadi dalam dunia kewanitaaan. Selesai satu permasalahan, muncul lagi permasalahan-permasalahan berikutnya. Oleh karena itu, berangkat dari ketertarikan dan tawaran dari dosen hadis kami, dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang shaf wanita dalam shalat. Lebih spesifik lagi, tentang bagaimanakah posisi seorang wanita yang bermakmum kepada seorang laki-laki? Bolehkah? Dan bagaimanakah posisi wanita yang menjadi imam dalam shalat jama’ah wanita?

Hadis tentang seorang wanita cantik yang makmum kepada Nabi saw.

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَتْ امْرَأَةٌ حَسْنَاءُ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَسْتَقْدِمُ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ

Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas berkata: pernah suatu ketika seorang perempuan yang sangat cantik shalat di belakang (makmum) Rasulullah saw. Lalu sebagian sahabat mendahului (mempercepat langkahnya agar berada) di shaf pertama supaya  tidak melihat perempuan tersebut. Sedangkan sebagian yang lain melambatkan langkah mereka agar berada di shaf terakhir dengan tujuan apabila  ruku’ bisa melihatnya dari bawah ketiak”.

Hadis ini di riwayatkan oleh Baihaqi dalam dua karyanya; Sya’bu al-Iman (vol. VII, no. 5059) dan Sunan al-Kubra (vol. III, no. 5374), Ibnu Majah dalam Sunan  (vol. I, no 1046), Tirmidzi dalam Sunan (vol. X, no. 3122), al-Nasai dalam Sunan (vol. II, no. 870), al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 5296), al-Thayalisi dalam Musnad (vol. IV, no. 2835), Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad (vol. X, no. 2783), Ibnu Hibban dalam Shahih  (vol. II, no. 401), dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (vol. III, no. 1696). Selain itu, menurut al-Suyuthi hadis ini juga menjadi asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat) surat al-Hijr ayat 24 (Lubab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul, hal. 131).

Dari semua riwayat yang dicantumkan oleh para mukharrij dalam karya-karya mereka di atas, semuanya melalui perawi yang bernama ‘Amr bin Malik al-Nukriy al-Bashari yang berstatus lemah. Menurut Ibnu ‘Addi, perawi ini adalah seorang munkar al-hadits (orang yang hadisnya diingkari) dan juga pencuri hadis (yasriqu al-hadits) (Ibnu Jauzi, al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. II, hal. 231). Abu Ya’la al-Maushuli berkomentar bahwa ia adalah orang yang dha’if (lemah) (al-Kamil fi al-Dhu’afa al-Rijal, vol. X, hal. 150). Walaupun Ibnu Hajar al-‘Asqalani menilainya jujur, tapi menurutnya ia banyak melakukan kesalahan (shaduq lahu awham) (Taqrib al-Tahdzib, hal. 426). Kritikus hadis yang berkomentar baik tentangnya Hanya Ibnu Hibban saja. Ia menganggap hadis ‘Amr bin Malik bisa dipertimbangkan/dianggap. Itupun dengan syarat tidak boleh melalui anaknya, yaitu Yahya ibn ‘Amr ibn Malik. (al-Tsiqat, vol. VII, hal. 228).

Seorang ahli hadis kontemporer, Syaikh Syu’aib al-Arnauth pun ketika men-tahqiq (meneliti) Musnad Ahmad berkomentar bahwa hadis ini sanadnya dha’if (lemah) dan matan-nya munkar (diingkari) -- Meskipun sebelumnya ia menilai hasan ketika men-tahqiq kitab Shahih Ibnu Hibban, namun akhirnya ia merubah ijtihadnya tersebut (Musnad Ahmad, vol. V, hal. 5-6)[1]. Penilaian al-Arnauth tentang matannya yang munkar (diingkari) ini menurut hemat penulis cukup beralasan, karena dalam matan hadis tersebut terlihat ada indikasi menjelekkan sahabat (secara tidak langsung menganggap sebagian sahabat “mata keranjang” dengan mengintip perempuan dari bawah ketiak). 

Perspektif berbeda ditunjukkan oleh Syaikh Nashirudin al-Albani ketika menilai hadis ini. Menurutnya, hadis yang melalui ‘Amr ibn Malik al-Nukriy ini statusnya shahih (Shahih wa Dha’if Sunan ibn Majah, vol. III, no. 1046, hal. 46, Shahih wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, vol. VII, no. 3122, Shahih wa Dha’if Sunan al-Nasai, vol. III, no. 870). Pendapat al-Albani ini sedikit janggal, karena dalam kitab-kitab biografi yang memuat nama ‘Amr ibn Malik al-Nukriy mayoritas ulama ahli kritik hadis menilai bahwa ia bukanlah orang yang tsiqah (kredibel; ‘adil dan dhabith). Padahal salah satu syarat hadis shahih perawinya haruslah tsiqah (Tadrib al-Rawi, hal. 27). Oleh karena itu – tanpa mengurangi rasa hormat kepada Syaikh al-Albani - penulis lebih sependapat dengan penilaian Syaikh Syu’aib al-Arnauth.

Mengenai boleh atau tidaknya seorang perempuan yang makmum sendiri kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya), di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mereka yang mengaggap hadis ini shahih, tentu – seharusnya - berpendapat bolehnya seorang wanita makmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya). Sementara sebagian ulama yang lain – dengan tertolaknya hadis ini -  berpendapat tidak membolehkannya. Mereka yang tidak membolehkan juga berdalil dengan keumuman hadis Nabi tentang larangan berkhalwat (menyepi) antara laki-laki dan perempuan. Hadis tersebut berbunyi:

) رواه أحمد و إسناده على شرطهما)......  إِلَّا مَحْرَمٍ  لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لَا تَحِلُّ لَهُ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ......

Artinya: “..... janganlah seorang laki berduaan bersama seorang perempuan yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah syetan, kecuali bila bersama mahramnya ....” (HR. Ahmad. Sanadnya memenuhi syarat Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini juga yang dipegangi oleh Abu Malik ibn Kamal, seorang ulama fikih pengarang kitab Shahih Fiqh al-Sunnah. Namun menurutnya bila wanita yang makmum itu istri atau muhrimnya, maka itu dibolehkan (dengan posisi wanita berada di belakang imam)[2]. Pun demikian bila perempuan yang makmum itu lebih dari satu – walaupun perempuan tersebut bukan muhrimnya – karena itu tidak dinamakan ber-khalwat (menyepi) dan tidak ada dalil-dalil yang melarang. Akan tetapi kebolehan tersebut menurut Abu Malik, jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah maka itu juga dilarang (Abu Malik, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhih Madzahib al-Aimmah, hal. 510). Pendapat Abu Malik ini menurut hemat penulis lebih didasarkan kepada fitnah yang akan terjadi dengan “berkumpulnya” laki-laki dan perempuan. Jika demikian, berarti seharusnya boleh-boleh saja shalatnya seorang perempuan yang bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya) dengan syarat memang benar-benar aman dari fitnah. Misalnya – ketika seorang wanita yang bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrim) di tempat yang ramai  (tidak menyepi). Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Hadis Tentang Imam Wanita Dalam Shalat Jama’ah Wanita

عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّهَا كَانَتْ تُؤَذِّنُ وَتُقِيمُ وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ وَتَقُومُ وَسَطَهُنَّ

Artinya: Dari 'Atha (ia meriwayatkan) dari Aisyah ra : bahwasanya ia pernah adzan, setelah itu berdiri dan mengimami para wanita. Sedangkan posisinya berada di tengah-tengah mereka”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (vol. I, no. 1998 dan vol III, no. 5562 ), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 4990 dan 4991), dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya (vol. I no. 731).

Dalam hadis ‘Aisyah ini – khususnya kedua riwayat dari Baihaqi dan satu riwayat dari al-Hakim dalam Mustadrak-nya – terdapat perawi yang bernama Laits ibn Abi Salim yang mendapat jarh (celaan) dari para kritikus hadis. Bahkan dalam Tahdzib wa al-Tahdzib, ia diklaim sebagai orang yang sangat dha’if (asyaddu dha’fan) (vol. I, no. 274).  Namun disamping riwayat-riwayat tersebut, sesungguhnya hadis ini memiliki pendukung-pendukung  (syawahid) dari jalur lain dan beberapa mutabi’ yang tidak melalui Laits ibn Abi Salim. Diantara yang bisa dijadikan hujjah diantaranya adalah jalur dari Hujairah binti Hushain yang diriwayatkan oleh Daruquthni dalam sunan-nya (no. 1508) sebagaimana disinggung al-Albani dalam Tamamu al-Minnah (vol. I, hal 153-154) serta dishahihkan oleh al-Nawawi dalam kitabnya Khulashah al-Ahkam (vol.II, hal. 680). 

Jalur-jalur yang lain selain dari ‘Aisyah dan Hujairah ialah dari Rabithah al-Hanafiyyah, atsar dari Ibnu ‘Abbas dan Ummu al-Hasan. Riwayat-riwayat tersebut diantaranya dicantumkan oleh Abdul Razaq dalam Mushannaf-nya (vol. III no. 5082, 5083 dan 5086), Daruquthni dalam Sunan (no. 1507), Abi Syaibah dalam Mushannaf  (vol. II, no. 4988, 4989, 4992, 4993), al-Syafi'i dalam Musnad (vol. I, no. 223), Ibnu Mundzir dalam al-Awsath (vol. VI, no. 2045 dan 2046), Ibnu al-A'rabi dalam Mu'jam (vol, III, no. 1262) dan Baihaqi dalam Sunan al-Kubra-nya (vol. III, no 5563).

Dengan adanya dalil maqbul yang bisa dijadikan hujjah tersebut, maka posisi wanita yang menjadi imam dalam shalat jama’ah wanita, berada di tengah-tengah shaf. Mengenai hal ini ditegaskan pula oleh Syaikh Muqbil ibn Hadi dalam fatwanya (Fatawa al-Marah, hal. 114). Sejauh pembacaan penulis dalam penelitian ini terhadap karya fikih klasik dari empat madzhab besar dalam Islam – kecuali malikiyyah – pun tampaknya juga demikian. Ada tiga karya fikih yang penulis pilih sebagai representasi dari pendapat mereka. Al-Bahru al-Raiq karya Zainuddin ibn Nujaim (vol. I, hal. 373) dari madzhab Hanafi, al-Muhadzdzab karya Ibrahim ibn Ali al-Syirazi (vol. I, hal. 100) dari madzhab Syafi’i, al-Mughni karya Ibnu Qudamah (vol. II, hal. 36) dari madzhab Hanbali. Khusus madzhab Maliki dalam hal ini tidak membolehkan sama sekali wanita menjadi imam, baik shalat sunnah maupun shalat fardhu, baik untuk jama'ah wanita apalagi laki-laki (al-Kharrasyi, Syarhu Mukhtashar Khalil, vol. IV, hal. 388 dan al-Hajjah Kaukab 'Abid, Fiqh al-'Ibadat 'ala al-Madzhab al-Maliki, vol. I, 216).

Sementara Abu Malik walaupun berpendapat sama dengan para mayoritas ulama, tapi menurutnya boleh-boleh saja bila imam perempuan itu berada di depan jama’ah karena tidak ada dalil yang melarang (Abu Malik, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhih Madzahib al-Aimmah, hal. 531).

Kesimpulan 

Hadis tentang wanita cantik yang pernah shalat di belakang Rasulullah walaupun dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, namun Karena – sejauh penelitian ini -  penulis tidak mendapatkan statement dari para kritikus hadis tentang ke-tsiqah-an ‘Amr bin Malik al-Nukriy al-Bashari yang notabene perawi “bermasalah” menurut mayoritas kritikus, maka menurut penulis hadis ini statusnya dha’if. Sementara boleh tidaknya seorang wanita bermakmum kepada laki-laki yang bukan muhrim terjadi perbedaan pendapat, khususnya antara mereka yang menganggap hadis tersebut shahih dan tidak shahih. Sedangkan menurut hemat penulis – karena melihat dan mempertimbangkan pendapat Abu Malik ibn Kamal – menganggap boleh-boleh saja asal benar-benar tidak dikhawatirkan terjadi fitnah.

Sementara hadis tentang posisi wanita yang menjadi imam dalam shalat jama’ah wanita walaupun ada sebagian riwayat yang dha’if namun hadis tersebut memiliki pendukung dari beberapa jalur (yang maqbul) sehingga bisa dijadikkan hujjah. Oleh karena itu, posisi wanita yang menjadi imam shalat jama’ah wanita berada di tengah-tengah shaf, walaupun ada sebagian juga yang berpendapat boleh di depannya. Wallohu A’lam bi al-Shawab.




[1] Penjelasan lebih jelas tentang perubahan ijtihad Syu’aib al-Arnauth mengenai hadis ini lihat Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1995,  cet I), jilid V, hal. 5-6. (catatan kaki no.2)
[2] Para ulama berpendapat tentang posisi ini berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi:
..... فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا....
Artinya: “.... lalu Rasululullah berdiri (menjadi imam  shalat) dan aku satu shaf bersama anak yatim. Sedangkan ada orang tua (ibunya Anas) yang makmum di belakang kami ...” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan posisi shaf wanita dalam shalat, yaitu di belakang laki-laki.