Mungkin - menurut sebagian orang - tidaklah pantas seorang mahasiswa strata satu (S1) menanggapi, apalagi mengkritik seorang kandidat doktor dalam bidang hadis yang - insya Allah - tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Dan itu yang penulis rasakan ketika seorang teman - tepatnya kakak kelas saya – “menantang” agar saya menaggapi tulisan dari saudara Asrar Mabrur Faza (dosen STAIS Al-Hikmah Medan dan kandidat doktor UIN Alauddin Makassar) yang beberapa waktu lalu dimuat dalam situs Islam Liberal.
Untuk lebih memudahkan pembahasan, baik kiranya terlebih dahulu kita membaca tulisan saudara Asrar dalam situs Islam Liberal tersebut dalam http://islamlib.com/id/artikel/arah-baru-pembacaan-terhadap-hadis
Dalam tulisannya, saudara Asrar Mabrur Faza menawarkan wacana tentang “pembacaan baru” terhadap hadis Nabi yang menurutnya harus disesuaikan dengan konteks kekinian dan keindonesiaan. Sebuah wacana yang terdengar sangat solusif, mengingat hadis Nabi (dalam beberapa kasus) sekarang ini sedikit banyak telah disalahartikan dengan cara literal dan cenderung kaku. Namun karena merasa agak kurang sependapat dengan beliau, penulis mencoba menyampaikan ketidaksependapatan tersebut berikut alasan dan argumen-argumennya.
Pertama, mungkin benar apa yang dikatakan saudara Asrar bahwa diskursus epistemologis yang pernah terjadi antara kelompok ahli hadis dan ahli ra’yi berdampak besar terhadap para sarjana-sarjana hadis (muslim) yang muncul belakangan. Tapi sebenarnya pada tataran substansi tidaklah demikian karena ahli hadis pun sebenarnya masih tetap mengadopsi akal (ra’yu) - dan begitu sebaliknya - (Abdul Rahman al-Shabuni, Khalifah Babakr, Mahmud Muhammad Thanthawi, al-Madkhal al-Fiqhiy wa Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: 252) yang membawa kepada kebersinambungan antara akal dan wahyu. Sehingga tidak secara mutlak akal harus menentang wahyu - baik al-Qur’an maupun hadis - ketika antara keduanya terlihat kurang atau tidak sejalan.
Memang harus diakui sepanjang perjalanan keilmuan sarjana hadis (muslim) perhatian terhadap rasionalitas kajian hadis, yang dalam hal ini masuk dalam kriteria kritik matan (al-naqd al-dakhiliy) kurang mendapat “sentuhan” bila dibandingkan dengan apa yang mereka (sarjana muslim) lakukan kepada sanad (al-naqd al-kharijiy). Hal ini pula yang diakui oleh Shalahuddin al-Adlabi. Bahkan menurutnya, bahwa justru kritik matan ini sangat diperhatikan oleh para kaum Mu’tazilah (Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawiy: 10), yang terkenal sebagai kaum rasionalis.
Sarjana hadis muslim sebenarnya telah memasukkan kriteria kesahihan matan ketika akan menilai suatu hadis. Terbukti dalam lima syarat kesahihan hadis, sesugguhnya dua diantaranya adalah kritik terhadap isi (matan) hadis, yakni terhindar dari syadz dan ‘illat. Namun tampaknya, dua kriteria kesahihan matan ini kurang (untuk mengatakan tidak sama sekali) dielaborasi lebih jauh oleh para sarjana hadis muslim. Sehingga diskursus hadis di kalangan umat Islam tampak terlihat hanya menekankan pada kritik sanad dan cenderung mengabaikan kritik matan.
Pada zaman Nabi, para sahabat - secara langsung maupun tidak langsung - sesungguhnya mempraktekkan kritik matan ini. Diantara yang paling terkenal mungkin adalah istri Nabi Muhammad Saw, ‘Aisyah binti Abu Bakar. Satu contoh, ketika ‘Aisyah mengkritik matan hadis Abu Hurairah yang menjelaskan tentang tiga sesuatu yang bisa membatalkan shalat apabila salah satu dari tiga ini lewat di hadapan orang yang sedang shalat, yaitu anjing, khimar dan wanita. ‘Aisyah - yang mungkin sebagai wanita dan merasa “tidak terima” status kewanitaannya disamakan dengan anjing dan khimar - mengkritik matan hadis ini dengan mengungkapkan beberapa argumen dan riwayat yang mendukungnya. Ia mengaku bahwa ia pernah tidur (seperti tidurnya jenazah) di hadapan Rasulullah, dan ketika itu Rasul sedang dalam keadaan shalat. (Shalahuddin al-Adlabi, Ibid: 118-119 dan al-Zarkasyi, al-Ijabah liiradi ma Istadrakathu ‘Aisyah ‘ala al-Shahabah: 153-154). Selain ‘Asiyah, beberapa sahabat juga pernah mempraktekkan kritik matan, misalnya, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Shalahuddin al-Adlabi, Ibid: 133-139).
Mengingat sulitnya kritik matan ini, para sarjana hadis - khususnya kontemporer - tidak sembarangan dalam merumuskan kaidah-kaidahnya. Dalam Manhaj Naqd al-Matan ‘inda ‘Ulama al-Hadits al-Nabawiymisalnya, Shalahuddin al-Adlabi memberikan beberapa penjelasan tentang kaidah-kaidah yang tidak boleh dilanggar oleh para pengkaji hadis. Diantaranya yang menurut penulis sangat penting - dalam kaitannya untuk menanggapi tulisan saudara asrar - adalah bahwa matan hadis (atau interpretasi terhadap pemaknaannya) tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip penting yang termaktub dalam al-Qur’an (Shalahuddin al-Adlabi, Ibid: 239). Memahami hadis harus disinergikan dan tetap berpegang terhadap semangat al-Qur’an yang mulia (Yusuf al-Qaradlawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah: 93). Oleh karena itu, wacana-wacana “pembacaan baru” yang digulirkan dalam tulisan saudara Asrar, seperti kesetaraan agama-agama (al-musawah baina al-adyan) dan lain sebagainya sangat tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an. Teori maqashid al-syari’ah yang diusung saudara Asrar sebagai alibi pembenarannya juga tidak bisa dibenarkan. Sebagai contoh, apakah penyetaraan agama akan membawa dan menjamin kepada kemaslahatan? Padahal salah satu dari maslahat dlaruriyyat (kemaslahatan primer) yang lima, ialah harus menjaga agama (hifzu al-din). Sementara penyetaraan agama itu justru akan mencederai agama itu sendiri.
Kedua, Mengenai keadilan sahabat - jujur jauh sebelum menanggapi tulisan saudara asrar - awalnya penulis pun mengalami semacam dilema. Mengapa? Karena di satu sisi penulis - sebagai muslim yang sadar akan kehormatan para sahabat - harus menerima dan mengakui doktrin “al-shahabah kulluhum ‘udul (semua sahabat bersifat adil)” yang konon telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sarjana hadis muslim (Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: 167), tapi di sisi lain penulis mendapati bukti-bukti dalam kitab-kitab biografi tentang sahabat yang dipertanyakan keadilannya, sebagaimana nama-nama yang disebutkan oleh saudara Asrar. Bahkan khusus kasus sahabat al-Walid bin ‘Uqbah dicantumkan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya, Lubbab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul sebagai tokoh yang berperan terhadap turunnya surat al-Hujurat ayat 6 tentang kewajiban tabayun terhadap berita yang dibawa oleh orang fasiq (Jalaluddin al-Suyuthi, Lubbab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul: 194). Perdebatan tentang otoritas sahabat sebagai “orang yang istimewa” sejatinya telah terjadi sejak zaman pra-Nabi. Pelopor dan pengusungnya tentu adalah orang-orang yang membenci “sahabat Nabi” yang merasa telah didiskriminasi oleh mereka, yang dalam hal ini adalah Khawarij dan Syi’ah. Para sarjana hadis muslim - pendukung sahabat - yang mendengar dan tahu akan hal ini tidak tinggal diam. Mereka membela otoritas sahabat dengan mengajukan beberapa argumen, baik dari al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan juga logika akal (Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulumi al-Hadits: 121-124).
Kajian tentang keadilan sahabat, implikasi dalam penggunaan definisi sahabat, siapa saja yang termasuk dalam kategori sahabat, bahkan lebih jauh pola penyebarannya di daerah-daerah “taklukkan” Islam bisa di baca dalam buku Fuad Jabali, seorang Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana? .
Seiring berjalannya waktu - terlepas dari perdebatan tentang keadilan sahabat dan tuduhan ketidak objektifan dalam menilai sahabat - penulis lebih cenderung dan mantap dengan pendapat yang dibawa oleh para sarjana hadis muslim; bahwa seluruh sahabat bersifat adil. Karena, selain alasan dan argumen yang dijelaskan para sarjana hadis “pendukung sahabat”, implikasi dari otoritas sahabat akan berpengaruh pada keabsahan hadis mursal shahabi sebagai hujjah dalam agama. Sebagaimana diketahui bahwa status hadis mursal shahabi berbeda dengan hadis mursal “biasa” dan atau hadis mursal tabi’iy. Hadis mursal shahabi menurut para ahli hadis bisa dijadikan hujjah, karena seluruh sahabat (jika term “al-shahabah kulluhum ‘udul” diterima dan diakui) bersifat adil (Nuruddin ‘Itr, Ibid: 373). Sebaliknya, jika kita tidak menerima dan mengakui term tersebut maka kita harus pula berani menolak hadis mursal shahabi yang telah disepakati keabsahannya. Oleh karena itu, penulis - sebagai seorang yang masih dan insya Allah akan tetap mengakui bahwa hadis adalah salah satu sumber hukum Islam - menerima sekaligus mengakui term; seluruh sahabat bersifat adil. Wallohu a’lam bi al-shawab.
Kaliurang, Maret 2012.