Kamis, 08 Maret 2012

MENGENAL LEBIH JAUH TIPOLOGI PEMIKIRAN DALAM ISLAM

MENGENAL LEBIH JAUH TIPOLOGI PEMIKIRAN DALAM ISLAM*

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi

Dalam syari’at Islam pembebanan (taklîf) kepada manusia memiliki tujuan-tujuan, atau dalam istilah ushul fikih dikenal dengan teori maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum). Teori ini bisa dibilang pertama kali dicetuskan oleh al-Juwaini, guru dari imam al-Ghazali yang kemudian mewarisi teori tersebut. Setelah al-Ghazali, ‘Izzu al-Din ibn ‘Abdi al-Salam, seorang ulama dari madzhab Syafi’i meneruskan estafeta pengembangan teori ini. Namun, tokoh yang paling terkenal dalam pembahasan teori maqâshid al-syarî’ah tidak lain dan tidak bukan adalah Imam al-Syathibi dengan buah karyanya yang menjadi masterpiece dalam dunia Islam, al-Muwâfaqât (Fathurrahman Djamil: 37-38). Karya ini bisa dibilang karya paling monumental dalam kajian ushul fikih yang membahas tentang maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum).


Dalam perkembangannya – khususnya di Indonesia - teori maqâshid al-syarî’ah di identikkan dan menjadi kajian utama dalam Filsafat Hukum Islam. Sehingga mau tidak mau pemikiran manusia sangat berpengaruh dalam memahami  teks-teks agama. Kecenderungan sebagian orang yang memahami teks-teks agama secara tekstual membawa mereka pada pemahaman harfiyyah (literal) yang kaku, tanpa mempertimbangkan tujuan-tujuan ditetapkannya hukum. Sebaliknya, sebagian orang yang berdalih hanya pada maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum) tanpa memperhatikan nash-nash yang ada, mengakibatkan mereka terjerumus kepada pemahaman yang bebas (liberal). Namun, diantara keduanya ada sebagian orang yang memadukan antara teks dan maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum) dengan proporsional sesuai prinsip-prinsip agama yang benar. Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam salah satu kitabnya yang berjudul “Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah” membagi tipologi pemikiran Islam – pada zaman sekarang -  menjadi tiga aliran besar; pertama, al-zhahiriyyah al-judud (neo-literalisme), kedua, al-mu’aththilah al-judud (neo-liberalisme), dan yang ketiga, al-wasathiyyah (moderat).

1.       Al-Dzahiriyyah al-Judud (neo-literalisme)

Aliran dzahiriyyah (literalisme) sesungguhnya telah lahir sejak abad ke-3 hijriyyah, dengan pencetusnya Dawud ibn Ali Bahri (202-270 H) atau yang lebih akrab dengan nama Dawud Dzahiri. Seiring berjalannya waktu aliran ini mulai pudar sebelum ditransformasi kembali oleh Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (384-456 H) (Asjmuni Abdurrahman: 3). Ibnu Hazm inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai “penyebar” aliran Dzahiriyyah. Pemahaman ibnu Hazm ini sangat tekstualis, bahkan cenderung ekstrim. Contohnya misalnya ketika ia memahami hadis tentang diamnya perempuan ketika dilamar seorang lelaki. Jumhur ulama berpendapat bahwa diamnya perempuan ketika dilamar berarti ia mau atas lamaran tersebut, karena pada umumnya perempuan malu untuk mengungkapkannya secara langsung. Seandainya perempuan tersebut menyetujuinya dengan menjawab langsung pinangan laki-laki, maka – otomatis – itu lebih menunjukkan atas kesetujuaannya. Namun pemahaman ibnu hazm tidaklah demikian. Menurutnya, jika si perempuan menjawab langsung maka akad tersebut menjadi tidak sah dan batal, karena teks hadis tersebut menjelaskan tentag diamnya perempuan yang dilamar.

Di zaman sekarang  mereka mewariskan paham ketekstualan kepada para successor-nya dengan pemikiran yang lebih “berkembang”. Selain karena faktor internal, faktor eksternal dari luar pun tidak dapat dipungkiri ikut berpengaruh di dalamnya. Inilah kemudian yang oleh Yusuf Qaradhawi dinamakan dengan aliran al-Dzahiriyyah al-Judud (neo-literalisme).

Karakteristik dan ciri khas aliran ini (Yusuf Qaradhawi, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah: 53-57) diantaranya ialah:
  1. Memahami nash agama secara harfiyyah (tekstual) tanpa memperhatikan hikmah dibalik penetapan hukum
  2. Kecenderungan tasyaddud (menyangat-nyagatkan) dan ta’sîr (menyulit-nyulitkan)
  3. Intoleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadi
  4. Menganggap salah terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan mereka
  5. Menolak dan mengingkari adanya ‘illat (kausa/motif hukum) dalam penetapan beberapa hukum
  6. Berpegang secara kaku terhadap nash yang bersifat juz-iy (partikular)
 2.       Al-Mu’aththilah al-Judud (neo-liberalisme)

Konon, benih-benih aliran ini diturunkan dari kelompok rasionalis, Mu’tazilah. Menurut Abu Zahrah kelompok Mu’taziah mulai muncul pada masa dinasti Umayyah. Hingga akhirnya “keeksisan” kelompok ini bisa bertahan sampai pada masa dinasti Abasiyyah (Muhammad Abu Zahrah, Târîkhu al-Madzâhib al-Islâmiyyah, vol. I, hal. 138). Kelompok atau aliran yang terkenal dengan al-ushûl al-khamsah (5 pokok ajaran) tersebut sangat berpegang teguh pada peran akal dalam ber-istidlal (khususnya dalam masalah akidah) (ibid, hal. 144).

Di era modern, kelompok ini bertransformasi dengan menggunakan topeng yang lebih inovatif dan kreatif. Bedanya kelompok yang dulu lebih aktif “bermain” dan mengotak-atik akidah, kelompok yang baru lebih kepada tataran syari’at atau hukum islam, dengan mengklaim bahwa mereka lebih bergantung kepada maqâshid al-syarî’ah (maksud-maksud ditetapkannya hukum) dan ruh agama dengan menganulir  teks-teks partikular di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Yusuf Qaradhawi: 85). Mereka meremehkan dan tidak menghormati nash-nash agama. Mereka juga memandang rendah dan hina kepada tradisi dan ulama Islam. Namun, dalam waktu yang sama mereka menghormati dan bahkan terkesan kuat “megkultuskan” Barat dan tradisinya.

Perasaan rendah diri (inferiority complex) yang dialami umat Islam melahirkan sikap kagum terhadap peradaban Barat yang maju, sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang telah tetap (tsawâbit), bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang. Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realita dilakukan melalui upaya mencari maqâshid al-syari’âh (makksud tujuan ditetapkannya hukum) yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya. Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia, terjadi upaya meruntuhkan syari`ah seperti pada hukum keluarga, warisan, hudud dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl).

Karakteristik dan ciri khas aliran ini diantaranya ialah (Yusuf Qaradhawi: 93-99):

  1. Tidak memiliki perangkat pemahaman agama yang benar
  2. Mengedepankan peran akal dari pada nash
  3. Keberanian mengungkapkan suatu pendapat (khususnya yang berkaitan dengan agama) tanpa didasari landasan ilmu yang kuat
  4. Mengkultuskan barat dan tradisinya (kebarat-baratan)

 3.       Al-Wasathiyyah (moderat)

Terlalu berpegang pada lahirnya teks (zhahiru al-nash) dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syari’at.
Keduanya sesungguhnya merupakan penyelewengan yang bisa mengakibatkan pada hancurnya agama Islam itu sendiri. Sehingga diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahirnya teks (zhahiru al-nash). Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur’an dan hadis secara benar dan sesuai konteks kekinian.

Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan mu`amalah. Ciri ini disebut dalam Al-Qur’an sebagai al-Shirâth al-Mustaqîm (jalan yang lurus), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhûb `alaihim) dan yang sesat (al-dhâllûn) karena melakukan banyak penyimpangan.
Al-Wasathiyyah (moderat) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; “kiri” dan “kanan”, berlebihan dan keacuhan, literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit dan boros. Karena itu kata “wasath” biasa diartikan dengan 'tengah'.

Karakterisitik dan ciri khas sikap moderat (yusuf Qaradhawi: 147-152):

  1. Meyakini adanya hikmah di balik syari’at serta kandungannya  untuk kemaslahatan makhluk
  2. Selalu menginterkoneksikan antara satu nash/hukum dengan nash/hukum yang lainnya (komprehensif)
  3. Bersikap moderat (pertengahan) pada setiap perkara agama dan dunia
  4. Selalu mengkorelasikan nash-nash agama dengan realita-realita yang kongkrit dan kontemporer
  5. Selalu mengedepankan yang termudah dan mengambil yang termudah
  6. Keterbukaan (inklusifisme) dan toleran (tasâmuh) dengan kelompok yang berbeda pendapat

Sedangkan pijakan mereka dalam memahami teks ialah dengan cara (Yusuf Qaradhawi: 155-199):

  1. Mencari tujuan nash/maksud nash sebelum mengeluarkan pendapat
  2. Memahmi nash sesuai dengan konteks dan sebab turunnya (asbâb al-nuzûl)
  3. Membedakan antara maqâshid (tujuan-tujuan) yang bersifat tetap (konstan) dengan metode-metode yang bersifat fleksibel (berubah-ubah)
  4. Seimbang antara wilayah yang tsawâbit (tetap dan tidak bisa diijtihadi) dan mutaghayyar (berubah-ubah dan bisa diijtihadi)
  5. Membedakan antara makna ibadah dan mu’amalah

Tiga tipologi pemikiran inilah yang saat ini mewakili pemikiran-pemikiran manusia dalam memahami nash-nash agama. Dengan mengenal tipologi-tipologi pemikiran tersebut, setidaknya akan lebih memagari kita agar tidak cepat-cepat melontarkan klaim-klaim  yang mungkin kurang pantas dan tidak enak didengar kepada saudara-saudara kita. Liberalisme memang sesuatu yang membahayakan  dan sangat meresahkan, tetapi klaim liberal pun tidak bisa dikatakan sesuatu hal yang baik dan pantas diucapkan oleh seorang muslim yang bijak. Di sisi lain, Literalisme membuat Islam seolah menjadi agama yang kaku dan terkesan tidak bisa menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Kemoderatan lah yang tampaknya bisa menjadi penengah antara keduanya sehingga Islam bisa menjadi agama yang shôlihun likulli zamân wa makân.

Amîn yâ Rabb al-‘Âlamîn...


 * bisa juga dibaca di situs resmi Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan: http://www.el-wathoni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=400:mengenal-lebih-jauh-tipologi-pemikiran-dalam-islam&catid=58:dunia-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar