Jumat, 12 Oktober 2012

Idul Adlha dan Semangat Berkemanusian

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi *

Dalam beberapa waktu yang tidak lama lagi, kita umat Islam akan merayakan hari raya Idul Adlha yang di dalamnya disyari’atkan kurban bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Ibadah kurban ini adalah ibadah yang membutuhkan materi untuk dapat melaksanakannya. Ia juga menjadi salah satu bentuk nyata perintah syukur yang diperintahkan Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2.

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: “Maka dirikanlah salat Karena Tuhanmu; dan berkurbanlah

Ibadah kurban bila dilihat dari aspek historis tentunya tidak akan pernah terlepas dari kisah penyembelihan Nabi Isma’il yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, Nabi Ibrahim, sebagaimana yang diabadikan dalam al-Qur’an (QS. Ash-Shâffât: 100-111). Bila direnungkan lebih mendalam, sesungguhnya di dalam pensyari’atan kurban pada hari raya Idul Adlha mengajarkan kepada umat Islam suatu semangat yang mendorong mereka untuk lebih bisa memanifestasikan sifat insani (kemanusiaan)-nya kepada sesama manusia.

Bagaimanapun ibadah kurban selain mencakup hubungan transendental manusia dengan Allah, mencakup pula hubungan horizontal manusia dengan manusia yang lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya praktek shadaqah yang dilakukan dalam pembagian daging hasil kurban kepada orang lain di sekitar kita. Tidak hanya kepada sesama muslim, Rasulullah juga menganjurkan untuk memberikannya kepada orang-orang non-muslim, seperti dalam hadis:

عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِى أَهْلِهِ فَلَمَّا جَاءَ قَالَ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِىِّ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِىِّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ 
Artinya:Dari Mujahid bahwasanya Abdullah bin ‘Amr menyembelih seekor kambing kemudian bertanya (kepada keluarganya). "Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?. Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?, (karena) "Aku telah mendengar Nabi bersabda: Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku menyangka ia akan memberikan harta warisan kepadanya. (Hadis riwayat al-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 1943 dan disahihkan oleh al-Bani dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan al-Tirmidzi).

Hadis di atas secara jelas menerangkan kepada kita tentang solidaritas antar umat beragama dalam pembagian ibadah kurban. Satu ibadah yang di dalamnya rasa kepedulian terhadap sesama manusia sangat dijunjung tinggi. Bila kepada umat selain Islam saja kita dianjurkan untuk demikian, bagaimana terhadap sesama umat Islam sendiri? Oleh karena itu sebenarnya bila semangat kemanusian ini dapat dioptimalkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, niscaya tidak akan lagi kita mendengar berita tentang kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan umat Islam di berbagai tempat di mana pun mereka berada.

Hadis-hadis yang berkaitan dengan semangat kemanusian 
   
 Hadis tentang tidak sempurnanya iman seseorang yang tidak mencintai saudaranya

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qatadah. (ia) dari Anas (dan ia) dari Nabi saw bersabda: tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahîh (vol. 1, no. 13), Muslim dalam Shahîh (vol. 1, no. 71 dan 72), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 8, no. 8292 dan 8861) dan al-Mu’jam al-Shaghîr (vol. 2, no. 700), Ibnu Majah dalam Sunan (vol. 1, no. 66), Tirmidzi dalam Sunan (vol. 4, no. 2515), al-Nasai dalam Sunan (vol. 8, no. 5031, 5032 dan 5054), Ibnu Hibban dalam Shahîh (vol. 1, no. 234), Abu Ya’la dalam Musnad (vol. 1, no. 90, 91, 92 dan 93), Ahmad dalam Musnad (vol. 20, no. 12801, 13146 dan vol. 21, no. 13874, 13963 dan 14082) serta beberapa mukharrij lainnya.
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa seorang mukmin dikatakan tidak sempurna imannya apabila ia sampai tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Inilah semangat Islam. Semangat yang mendorong umat agar jangan sampai memiliki sifat narsis (cinta diri yang berlebihan). Suatu sifat yang bila dipelihara dan dijaga terus-menerus oleh pemiliknya akan mengakibatkan munculnya sifat tamak (rakus) dan egois, di mana kedua sifat ini sangat berpeluang besar menutup pintu hati nurani kita untuk peduli terhadap sesama.
Secara psikologis sesungguhnya cinta diri (baca: pada diri sendiri) memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan cinta pada semua makhluk lain (Erich Fromm, 2002: 99). Ini berbeda dengan anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa cinta diri itu identik dengan sikap egois atau sifat mementingkan diri sendiri. Erich fromm, salah seorang psikolog ternama, menjelaskan bahwa sifat mementingkan diri sendiri dan cinta diri sama sekali tidak identik, justru sebaliknya, sebenarnya merupakan dua hal yang saling berlawanan. Orang yang mementingkan dirinya sendiri tidak terlalu banyak mencintai dirinya sendiri, tapi justru dia sangat kurang mencintai dirinya - bahkan sesungguhnya dia membenci dirinya. Orang yang mementingkan diri sendiri hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika menerima (Erich Fromm, 2002: 102-103). Maka oleh karenanya, berawal dari mencintai diri kita sendiri, kita diingatkan untuk mencintai sesama manusia.

Hadis tentang orang yang merasakan kenyang tapi saudaranya kelaparan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُسَاوِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ

Artinya: “Bukanlah dinamakan mukmin, orang  yang merasakan kenyang namun (membiarkan) tetangga di sampingnya kelaparan”

Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, di antaranya ialah oleh Baihaqi dalam Syu’abu al-Îman dan al-Sunan al-Kubrâ (vol. 10, no. 19452), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (vol. 12, no. 12741), Abu Ya’la dalam Musnad (vol. 5, no. 2699), al-Hakim dalam Mustadrak (vol. 2, no. 2166 dan vol. 4, no. 7307). Sanad hadis ini dapat diterima (maqbûl). Dalam artian ada beberapa sanad yang dinyatakan statusnya hasan li dzâtihi (hasan karena sendirinya) yang saling menguatkan sehingga naik menjadi shahîh li ghairih. Namun dalam pada itu ada juga sanad yang memang telah shahih dengan sendirinya (li dzâtihi).

Dalam hadis ini umat Islam diperingatkan kembali tentang pentingnya kepedulian terhadap sesama, khususnya saudara-saudara yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Bahwa tidak pantas seorang mukmin merasakan kenyang padahal di sekitarnya masih banyak saudara-saudaranya yang kelaparan. Islam dengan ajarannya yang luhur ini sangat memperhatikan nilai-nilai solidaritas dan kemanusian.

Sebuah refleksi bisa kita lakukan ketika bangsa indonesia sampai saat ini masih saja terkungkung dalam berbagai masalah kehidupan sosial-kemanusian, khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini, misalnya, kita masih juga melihat dan mendegar berita di berbagai media maupun kehidupan nyata tentang anak jalanan dan lansia yang demi mempertahankan hidupnya, mereka rela mengais sisa-sisa makanan di tempat-tempat sampah, yang notabene makanan tersebut sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Terlebih bila kita melihat kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat kota. Di Jakarta, misalnya, kota yang begitu terkenal dengan kemetropolitannya. Dalam perspektif kita, kota ini sering sekali dianggap sebagai simbol kemegahan dan sumber ‘kebahagian’ bagi suatu kehidupan yang hanya berorientasikan materi an sich. Padahal sesungguhnya di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit yang ada di kota tersebut, terselip potret kehidupan yang begitu kontradiktif. Di balik gedung dan bangunan yang mencerminkan keperkasaan, terdapat gubug-gubug kumuh nan reot yang menggambarkan kesengsaraan dan kepedihan.

Inilah tugas Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamin. Melalui ibadah kurban yang disyari’atkan Allah, kita diseru untuk lebih bisa memanusiakan (ngewongke) manusia. Sehingga dengan adanya upaya pengoptimalisasian nilai-nilai berkurban kita diharapkan bisa berkorban lebih banyak bagi sesama. Berkorban dengan seluruh apa yang kita miliki dan yang bisa dimanfaatkan dalam diri kita, karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat untuk orang lain (anfa’uhum lin nas). Wallohu A’lam bi al-Shawab.

*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah  Yogyakarta