Oleh: Nicky
Alma Febriana Fauzi *
Dalam beberapa waktu
yang tidak lama lagi, kita umat Islam akan merayakan hari raya Idul Adlha yang
di dalamnya disyari’atkan kurban bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Ibadah
kurban ini adalah ibadah yang membutuhkan materi untuk dapat melaksanakannya.
Ia juga menjadi salah satu bentuk nyata perintah syukur yang diperintahkan
Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya:
“Maka dirikanlah salat Karena Tuhanmu; dan berkurbanlah”
Ibadah
kurban bila dilihat dari aspek historis tentunya tidak akan pernah
terlepas dari kisah penyembelihan Nabi Isma’il yang
dilakukan oleh ayahnya sendiri, Nabi Ibrahim, sebagaimana yang diabadikan dalam
al-Qur’an (QS. Ash-Shâffât: 100-111). Bila
direnungkan lebih mendalam, sesungguhnya di dalam pensyari’atan kurban pada
hari raya Idul Adlha mengajarkan kepada umat Islam suatu semangat yang
mendorong mereka untuk lebih bisa memanifestasikan sifat insani
(kemanusiaan)-nya kepada sesama manusia.
Bagaimanapun ibadah kurban selain mencakup
hubungan transendental manusia dengan Allah, mencakup pula hubungan horizontal
manusia dengan manusia yang lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya praktek
shadaqah yang dilakukan dalam pembagian daging hasil kurban kepada orang lain
di sekitar kita. Tidak hanya kepada sesama muslim, Rasulullah juga menganjurkan
untuk memberikannya kepada orang-orang non-muslim, seperti dalam hadis:
عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ
عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِى أَهْلِهِ
فَلَمَّا جَاءَ قَالَ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِىِّ أَهْدَيْتُمْ
لِجَارِنَا الْيَهُودِىِّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ
أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Artinya: “Dari Mujahid bahwasanya
Abdullah bin ‘Amr menyembelih seekor kambing kemudian bertanya (kepada
keluarganya). "Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada
tetangga kita yang Yahudi?. Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut
kepada tetangga kita yang Yahudi?, (karena) "Aku telah mendengar Nabi
bersabda: Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap
tetangga, hingga aku menyangka ia akan memberikan harta warisan kepadanya. (Hadis
riwayat al-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 1943 dan disahihkan oleh al-Bani
dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan al-Tirmidzi).
Hadis di atas secara jelas menerangkan kepada
kita tentang solidaritas antar umat beragama dalam pembagian ibadah kurban. Satu
ibadah yang di dalamnya rasa kepedulian terhadap sesama manusia sangat
dijunjung tinggi. Bila kepada umat selain Islam saja kita dianjurkan untuk
demikian, bagaimana terhadap sesama umat Islam sendiri? Oleh karena itu
sebenarnya bila semangat kemanusian ini dapat dioptimalkan umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari, niscaya tidak akan lagi kita mendengar berita tentang
kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan umat Islam di berbagai tempat di
mana pun mereka berada.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan semangat
kemanusian
Hadis
tentang tidak sempurnanya iman seseorang yang tidak mencintai saudaranya
حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qatadah.
(ia) dari Anas (dan ia) dari Nabi saw bersabda: tidak sempurna iman seseorang
sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahîh (vol. 1, no.
13), Muslim dalam Shahîh (vol. 1, no. 71 dan 72), al-Thabrani
dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 8, no. 8292 dan 8861) dan al-Mu’jam al-Shaghîr (vol. 2,
no. 700), Ibnu Majah dalam Sunan (vol. 1, no. 66), Tirmidzi dalam Sunan
(vol. 4, no. 2515), al-Nasai dalam Sunan (vol. 8, no. 5031, 5032 dan
5054), Ibnu Hibban dalam Shahîh (vol. 1, no. 234), Abu Ya’la dalam
Musnad (vol. 1, no. 90, 91, 92 dan 93), Ahmad dalam Musnad (vol.
20, no. 12801, 13146 dan vol. 21, no. 13874, 13963 dan 14082) serta beberapa mukharrij
lainnya.
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa seorang
mukmin dikatakan tidak sempurna imannya apabila ia sampai tidak mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Inilah semangat Islam.
Semangat yang mendorong umat agar jangan sampai memiliki sifat narsis (cinta
diri yang berlebihan). Suatu sifat yang bila dipelihara dan dijaga
terus-menerus oleh pemiliknya akan mengakibatkan munculnya sifat tamak (rakus)
dan egois, di mana kedua sifat ini sangat berpeluang besar menutup pintu hati
nurani kita untuk peduli terhadap sesama.
Secara psikologis sesungguhnya cinta diri
(baca: pada diri sendiri) memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan cinta
pada semua makhluk lain (Erich Fromm, 2002: 99). Ini berbeda dengan anggapan
sebagian orang yang mengatakan bahwa cinta diri itu identik dengan sikap egois
atau sifat mementingkan diri sendiri. Erich fromm, salah seorang psikolog
ternama, menjelaskan bahwa sifat mementingkan diri sendiri dan cinta diri sama
sekali tidak identik, justru sebaliknya, sebenarnya merupakan dua hal yang
saling berlawanan. Orang yang mementingkan dirinya sendiri tidak terlalu banyak
mencintai dirinya sendiri, tapi justru dia sangat kurang mencintai dirinya -
bahkan sesungguhnya dia membenci dirinya. Orang yang mementingkan diri sendiri
hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya
sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika
menerima (Erich Fromm, 2002: 102-103). Maka oleh karenanya, berawal dari
mencintai diri kita sendiri, kita diingatkan untuk mencintai sesama manusia.
Hadis
tentang orang yang merasakan kenyang tapi saudaranya kelaparan
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُسَاوِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيْسَ
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
Artinya: “Bukanlah
dinamakan mukmin, orang yang merasakan
kenyang namun (membiarkan) tetangga di sampingnya kelaparan”
Hadis
ini diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, di antaranya ialah oleh Baihaqi
dalam Syu’abu al-Îman dan al-Sunan al-Kubrâ
(vol. 10, no. 19452), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (vol. 12, no. 12741), Abu Ya’la dalam Musnad (vol.
5, no. 2699), al-Hakim dalam Mustadrak (vol. 2, no. 2166 dan vol. 4, no.
7307). Sanad hadis ini dapat diterima (maqbûl). Dalam artian ada beberapa sanad yang dinyatakan
statusnya hasan li dzâtihi (hasan karena
sendirinya) yang saling menguatkan sehingga naik menjadi shahîh
li ghairih. Namun dalam pada itu ada juga
sanad yang memang telah shahih dengan sendirinya (li dzâtihi).
Dalam hadis ini umat Islam diperingatkan
kembali tentang pentingnya kepedulian terhadap sesama, khususnya
saudara-saudara yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Bahwa tidak pantas
seorang mukmin merasakan kenyang padahal di sekitarnya masih banyak
saudara-saudaranya yang kelaparan. Islam dengan ajarannya yang luhur ini sangat
memperhatikan nilai-nilai solidaritas dan kemanusian.
Sebuah refleksi bisa kita lakukan ketika
bangsa indonesia sampai saat ini masih saja terkungkung dalam berbagai masalah
kehidupan sosial-kemanusian, khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat. Sampai saat ini, misalnya, kita masih juga melihat dan mendegar
berita di berbagai media maupun kehidupan nyata tentang anak jalanan dan lansia
yang demi mempertahankan hidupnya, mereka rela mengais sisa-sisa makanan di
tempat-tempat sampah, yang notabene makanan tersebut sudah tidak layak lagi
dikonsumsi. Terlebih bila kita melihat kesenjangan sosial yang terjadi dalam
masyarakat kota. Di Jakarta, misalnya, kota yang begitu terkenal dengan
kemetropolitannya. Dalam perspektif kita, kota ini sering sekali dianggap
sebagai simbol kemegahan dan sumber ‘kebahagian’ bagi suatu kehidupan yang
hanya berorientasikan materi an sich. Padahal sesungguhnya di balik
kemegahan gedung-gedung pencakar langit yang ada di kota tersebut, terselip potret
kehidupan yang begitu kontradiktif. Di balik gedung dan bangunan yang
mencerminkan keperkasaan, terdapat gubug-gubug kumuh nan reot yang
menggambarkan kesengsaraan dan kepedihan.
Inilah tugas Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamin.
Melalui ibadah kurban yang disyari’atkan Allah, kita diseru untuk lebih bisa
memanusiakan (ngewongke) manusia. Sehingga dengan adanya upaya
pengoptimalisasian nilai-nilai berkurban kita diharapkan bisa berkorban lebih
banyak bagi sesama. Berkorban dengan seluruh apa yang kita miliki dan yang bisa
dimanfaatkan dalam diri kita, karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang
paling banyak memberi manfaat untuk orang lain (anfa’uhum lin nas). Wallohu
A’lam bi al-Shawab.
*Alumni
Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar