Tahun Baru Hijriyah dan Semangat Tajdid
Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*
Setiap kali kita memasuki tahun baru hijriyah, maka setiap itu pula
kita diingatkan kembali dengan sebuah memori tentang peristiwa hijrah
Rasulullah saw dari kota Mekah menuju kota Islam pertama, Madinah. Dalam
sejarahnya, orang pertama yang menetapkan peristiwa hijrah Nabi ini
sebagai awal hari dari penaggalan Islam ialah khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah yang terkenal dengan keberaniannya ini, menetapkan peristiwa
hijrah Nabi sebagai awal hari penanggalan Islam bermula dari beberapa
usulan para sahabat yang lain. Ada empat usulan yang diberikan untuk
dipertimbangkan menjadi awal mula penanggalan Islam. Pertama, hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Kedua, hari diutusnya Nabi Muhammad menjadi Rasul. Ketiga, hari di mana Rasulullah beserta kaum muslimin hijrah dari kota Mekah menuju Madinah. Dan keempat,
hari wafatnya Rasulullah saw. Setelah dimusyawarahkan bersama, dengan
mempertimbangkan berbagai macam hal, akhirnya khalifah Umar bin Khattab
memilih peristiwa hijrah Rasulullah ini menjadi awal hari dari
penanggalan Islam, atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama tahun
hijriyah (‘Ali Muhammad al-Shalâbi, Amîrul Mu’minîn Umar ibn al-Khattâb, hal. 150 dan Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bârî, vol. 7, hal. 268).
Dari latar belakang penetapan penanggalan hiriyah yang didasarkan
pada peristiwa hijrah Nabi, sesungguhnya ada makna filosofis yang
terkandung di dalamnya. Selain peristiwa hijrah itu mengandung makna
hijrah secara fisik (badaniyyah), mengadung pula pengertian hijrah hati (qalbiyyah).
Oleh karena itu, Sebagai seorang muslim hendaknya kita dalam menyambut
tahun baru Islam ini tidak dengan melakukan serangkaian perayaan yang
sifatnya sia-sia apalagi sampai melakukan hal-hal yang dapat menjauhkan
diri dari Allah swt.
Sebagai alternatif, salah satu cara paling efektif dalam rangka menyambut tahun baru hijriyah ialah dengan ber-muhasabah
(introspeksi diri). Sudahkah kita berhijrah dari kebatilan menuju yang
hak? sudahkah kita benar-benar melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar?
Sudah sejauh mana diri kita mempersiapkan bekal untuk kehidupan di
akhirat kelak?
Lebih dari itu, bila dicermati mendalam sebenarnya ada satu pelajaran
yang tidak kalah penting, yang bisa kita ambil dari kebijakan Umar bin
Khattab dalam menetapkan penanggalan Islam dan beberapa ijtihadnya yang
lain. Pelajaran tersebut adalah pelajaran tentang pentingnya semangat
tajdid (pembaruan) dimiliki oleh setiap muslim.
Tajdîd al-Niyyât wa al-Qulûb (Pembaruan niat dan hati)
Dalam rangka tahun baru hijriyah, pembaruan dalam masalah niat adalah
yang terpenting. Niat, seperti yang diungkapkan para ulama fikih adalah
suatu hal yang sangat urgent dalam segala macam aktifitas ibadah (lihat misalnnya Sayyid al-Sâbiq, Fiqh al-Sunnah,
vol. 1, hal. 42 dan 72). Tidak hanya dalam masalah ibadah, dalam segala
aktifitas manusia selama ia hidup, niat merupakan satu hal yang
menentukan tujuan dari aktifitas yang akan ia lakukan. Ini dikarenakan
dalam satu kesempatan Rasulullah saw pernah bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat,
dan setiap orang itu tergantung pada apa yang ia niatkan. Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (ia akan mendapatkan
pahala) hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Namun barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang ia kejar atau wanita yang hendak ia nikahi,
maka ia hanya akan mendapatkan sesuai niat hijrahnya”.
Hadis tentang niat yang begitu masyhur ini diriwayatkan oleh banyak sekali mukharrij (penghimpun hadis) dalam berbagai karya mereka. Antara lain oleh Bukhari dalam Shahîh-nya (vol. 8, no. 6689 dan vol. 9, no. 6953), Muslim dalam Shahîh-nya (vol. 3, no. 1907), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ (vol. 1, no. 184) dan Syu’ab al-Îmân (vol. 5, no. 6837), al-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 1, no. 40 dan vol. 7 no. 7050), Abû Dâwûd dalam Sunan-nya (vol. 2, no. 2203), Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (vol. 22, no. 4227), al-Nasai dalam Sunan-nya (vol. 1, no. 75, vol. 6, no. 3437 dan vol. 7, no. 3794), Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya (vol. 1, no. 142), Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 1, no. 168) dan Abû ‘Awwânah dalam Musnad-nya (vol. 4, no. 7438).
Asbâb al-wurûd (sebab
datangnya) hadis ini memang terkait dengan peristiwa hijrah yang
dilakukan oleh Rasulullah bersama kaum muslimin dari kota Mekah menuju
Madinah. Hal ini sangat terlihat dari matan (teks) hadis yang
menyebutkan kata hijrah yang dihubungkan dengan niat seseorang tersebut.
Di samping itu, Jalâluddîn al-Suyûthi dalam kitab-nya al-Luma’ fî Asbâbi Wurûd al-Hadîts
juga menjelaskan perihal hadis ini. Diceritakan bahwa tatkala Nabi tiba
di kota Madinah, para sahabat dilanda wabah demam. Kemudian ada salah
satu sahabat yang berinisiatif menikahi seorang wanita yang ada di kota
tersebut. Tak lama kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar dan
mensabdakan sebuah hadis terkait pentingnya niat seperti yang terdapat
dalam riwayat di atas (Jalâluddîn al-Suyûthi, Al-Luma’ fî Asbâbi Wurûd al-Hadîts, hal. 30-31).
Kemudian apa kaitan antara tajdîd al-niyyât dengan tajdîd al-qulûb?
Kaitannya ialah karena selain niat letaknya ada di dalam hati, juga
karena hati adalah salah satu bagian dalam diri yang keberadaanya sangat
menentukan baik tidaknya tingkah dan laku kita. Al-Nu’mân bin Basyîr
meriwayatkan bahwasanya,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا
يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ
اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ
يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ
مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: “Aku (Al-Nu’mân bin Basyîr) mendengar Rasulullah saw bersabda: Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihât
(syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh
kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihât,
maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan barangsiapa
yang terjerumus dalam hal syubhat, maka ia seperti penggembala di
sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah
sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya.
Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu
baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak,
maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahîh-nya (vol. 1, no. 52), Muslim dalam Shahîh-nya (vol. 3, no. 1599), al-Baihaqi dalam dua karyanya; al-Sunan al-Kubrâ (vol. 5, no. 10703) dan Syu’abu al-Îmân (vol. 7, no. 5356), Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (vol. 2, no. 3984), al-Dârimi dalam Sunan-nya (vol, 2, no. 2531), Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 30, no. 18374), serta beberapa mukharrij (penghimpun hadis) lain.
Dalam pembahasan kali ini yang perlu digaris bawahi dari hadis di
atas ialah bagian ujungnya, yang menjelaskan tentang sekerat daging
(hati) yang keberadaanya sangat berpengaruh bagi seluruh anggota tubuh.
Ibnu Hajar al-‘Asqalâni menjelaskan mengapa dinamakan hati (al-Qalb), karena sifat dari hati itu sendiri ialah berbolak-balik (al-Taqallub) (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî,
vol. 1, hal. 128). Berbolak balik di sini memiliki arti tidak tentu dan
tidak tetap, kadang benar dan kadang salah. Oleh karenanya selalu
mengadakan pembaruan hati dengan cara memurnikan niat dan membersihkan
hati dari hal-hal buruk yang dapat mengotorinya adalah termasuk dalam
suatu rangkaian kegiatan yang dapat menjaga diri kita agar tetap
istiqamah dan tunduk dalam ketaatan kepada-Nya.
Tajdîd al-Aqwâl wa al-Af’âl (pembaruan ucapan dan perbuatan)
Pembaruan dalam hal ucapan dan perbuatan (Tajdid al-Aqwâl wa al-Af’âl)
bisa dimanifestasikan dalam beberapa wujud yang berbeda-beda. Segala
macam bentuk perbaikan dalam hal ucapan dan tingkah laku juga dapat
dikatakan sebagai wujud tajdid. Tidak jauh berbeda dari itu, setiap
upaya yang diaplikasikan demi terwujudnya sesuatu yang positif termasuk
juga dalam tajdid. Ada satu sabda Rasulullah yang bila dihubungkan
dengan ini, akan membentuk satu pertalian yang menyimpulkan pada suatu
kesimpulan tentang pentingnya tajdid al-aqwâl wa al-af’âl,
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ
الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya: “Dari Abû Dzar, bahwasanya Nabi saw
bersabda kepadanya: bertakwalah kamu di mana pun kamu berada. Dan
ikutkanlah keburukan dengan kebaikan, niscaya itu (kebaikan) akan
menghapuskannya (keburukan). Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang
baik”.
Hadis yang dibawa sahabat Abû Dzar di atas terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmidzi (vol. 4, no. 1987) karya Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Dârimi (vol. 2, no. 2791) karya Imam al-Dârimi, Syu’abu al-Îmân (vol. 10, no. 7663) karya Imam al-Baihaqi dan Musnad Ahmad (vol. 35, no. 21354) karya Imam Ahmad.
Selain oleh Abû Dzar, hadis yang senada juga dibawa oleh sahabat Mu’âdz
bin Jabal, yang diriwayatkan antara lain oleh Imam al-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr (vol. 20, no. 296, 297 dan 298), Imam al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Îmân (vol. 10, no. 7660 dan 7662) dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 36, no. 22059).
Sanad-Sanad hadis tersebut oleh beberapa muhaqqiq
(peneliti) kitab-kitab di atas dinyatakan hasan. Demikian pula
penilaian Nâshiruddîn al-Albâni terhadap hadis ini sebagaimana terdapat
dalam kitabnya, al-Jâmi’ al-Shahîh wa Ziyâdatuhu.
Meskipun hanya hasan dan tidak sampai pada derajat shahih, hadis ini
dapat diamalkan dan dijadikan hujah, karena sebagaimana mayoritas ulama
hadis mengatakan bahwa hadis hasan adalah termasuk hadis yang makbul
(dapat diterima sebagai hujah) (Nûruddîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûmi al-Hadîts, hal. 241).
Dalam matan hadis di atas terdapat kata “mengikutkan keburukan dengan kebaikan”. Menurut al-Mubârakfûrî, seorang ulama pen-syarh kitab Sunan al-Tirmidzi,
menjelaskan bahwa kebaikan di situ mencakup amalan-amalan ibadah
seperti salat, sadaqah, istighfar (mohon ampun kepada Allah) dan lain
sebagainya atau dengan kata lain mencakup perkataan dan perbuatan yang
bernilai ibadah (al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Sunan al-Tirmdizi,
vol. 6). Artinya, seseorang yang telah berbuat dosa diperintahkan untuk
mengerjakan hal-hal yang baik sebagai bentuk tajdid untuk membersihkan
dirinya dari ucapan dan perbuatan dosa yang ia lakukan. Meskipun begitu,
hadis ini tidak dapat dimaknai serampangan dengan memahaminya bahwa
selagi bisa dihilangkan dengan perbuatan baik, maka tidak perlu takut
untuk berbuat dosa. Atau dengan istilah popular yang sering digunakan
sebagai anekdot di tengah masyarakat, STMJ (salat terus maksiat jalan).
Menurut Syaikh al-‘Utsaimîn, kebaikan akan menghapuskan keburukan
sebagaimana firman Allah dalam surat Hud ayat 114. Beliau menambahkan
bahwa kebaikan yang paling utama, yang dapat menghapuskan dosa ialah
dengan bertaubat kepada Allah (Muhammad al-‘Utsaimîn, Syarh Riyâdh al-Shâlihîn,
hal. 69). Sehingga dengan demikian, istilah STMJ (salat terus maksiat
jalan) yang sering dijadikan anekdot ini tidak dapat dibenarkan, karena
salah satu syarat dosa akan diampuni ialah dengan bertaubat dan
menyesalinya.
Tajdîd al-Afkâr (pembaruan pemikiran)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ قاَلَ إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ
كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia dari Rasulullah saw bersabda:
sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini seorang mujaddid setiap
seratus tahun sekali yang memperbarui agamanya”.
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 6, no. 6527) dan Abû Dâwûd dalam Sunan-nya (vol. 4, no. 4293). Sanad hadis ini shahih, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Albâni dalam Misykâh al-Mashâbîh (vol. 1, no. 247) dan al-Silsilah al-Shahîhah (vol. 2, no. 599).
Âbâdî Abî Thayyib dalam ‘Aun al-Ma’bûd-nya ketika men-syarh (menjelaskan) hadis ini mengatakan bahwa Allah akan mengutus seseorang atau lebih untuk menjadi mujadid (pembaru)
bagi agamanya setiap seratus tahun. Lebih lanjut, mujadid ini akan
bertugas menjelaskan sunnah kepada para pelaku bid’ah yang ada di dalam
Islam (Âbâdî Abî Thayyib, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, vol. 11).
Sepanjang perjalanan sejarah, seorang yang benar-benar mujadid
(pembaru) selain mencerahkan umat, ia juga identik dengan sumbangan
pemikiran baru yang ia tawarkan. Tentunya, tajdid dalam hal pemikiran
ini bukan berarti membebaskan akal untuk sebebas-bebasnya. Namun, tetap
berpegang pada pondasi pokok ajaran Islam.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi, keduanya disebut-sebut
sebagai mujadid karena ide pemikiran purifikasinya terhadap ajaran Islam
ketika di tengah umat mereka banyak sekali penyelewengan akidah.
Muhammad Abduh juga Muhammad Rasyid Ridha mendapat julukan mujadid
berkat keintelektualitasan mereka dalam rangka memodernisasikan
masyarakat Islam yang saat itu benar-benar terpuruk dalam
keterbelakangan dan pada saat yang sama tetap konsisten menjaga
kemurnian ajaran Islam. Ahmad Dahlan selain dikenal sebagai pendiri
Muhammadiyah dengan gerakan purifikasinya itu, juga dikenal sebagai
mujadid berkat pemikiran yang begitu cemerlang dalam bidang astronomi
(baca: hisab) yang ia terapkan sebagai sebuah sarana pendukung dalam
kesempurnaan ibadah.
Jauh sebelum mereka semua, sesungguhnya khalifah Umar bin Khattab,
dengan berbagai macam ijtihad dan kebijakannya termasuk dalam menetapkan
peristiwa hijrah Nabi sebagai penanggalan Islam, patut disebut sebagai
mujadid brilian yang ada pada era sahabat. Pemikirannya yang begitu
cemerlang terkait penetapan penanggalan Islam menjadikan dirinya dicatat
dalam sejarah sebagai pendiri tonggak pertama dan utama sistem kelender
Islam.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat, tugas kita sebagai generasi penerus ialah melanjutkan tajdid Umar
tersebut dengan mencanangkan kalender Islam pemersatu (Kalender Islam
Internasional) sebagai solusi dari berbagai macam permasalahan yang
muncul di tengah-tengah umat. Oleh karenanya, dalam rangka tahun baru
hijriyah ini, marilah kita bersama-sama memikirkan bagaimana terwujudnya
kalender Islam pemersatu yang amat dirindu-rindukan tersebut.
Kesimpulan
Dalam moment tahun baru hijriyah ini ada beberapa tajdid yang perlu
umat Islam lakukan sebagai langkah kongkrit kita untuk lebih maju dan
lebih baik. Ketiga tajdid di atas akan lebih optimal manakala setiap
muslim mau bersama-sama merenunginya, dan yang terpenting adalah mau
merealisasikannya. Hal ini bukan memberi pengertian bahwa tajdid hanya
dilakukan ketika moment-moment tertentu, seperti pada moment tahun baru
hijriyah ini. Karena sesungguhnya perintah untuk selalu memperbarui diri
menuju sesuatu yang lebih baik tidak hanya pada kondisi, waktu dan
tempat tertentu saja.
Hal lain yang perlu umat islam lakukan sekarang ialah ber-muhasabah
(introspeksi) dengan cara menghitung-hitung apa yang telah kita lakukan
dan persiapkan untuk hari esok (akhirat), sebagaimana yang telah Allah
perintahkan dalam surat al-hasyr ayat 18. Sehingga jangan sampai
nantinya kita menyesal karena kelalaian kita terhadap diri kita sendiri.
Wallohu A’lam bi al-Shawâb.
*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta