Hadis Ahad Sebagai Hujah Akidah (Suatu Tinjauan atas Perspektif Muhammadiyah terhadap Hadis Ahad dalam Masalah Akidah)
Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi
Telah menjadi kesepakatan bulat (ijmak) umat Muhammad bahwa hadis adalah salah satu dari dua sumber utama hukum Islam. Oleh karenanya, hadis sebagai demikian, menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari seluruh macam aspek keagamaan, di mana ia membutuhkan dalil hujah sebagai alat legitimasi. Dari segi kualitas atau diterima-tolaknya, hadis dibagi menjadi makbul (diterima) dan mardud (ditolak) (Nuruddin ‘Itr, 1981: 241). Keduanya di-break down menjadi beberapa cabang yang cukup banyak. Sementara bila dilihat dari kuantitas jalur pewarta (rawi) atau cara sampainya kepada kita, hadis terbagi menjadi mutawatir, masyhur dan ahad (‘Ajjaj al-Khatib, 1989: 301-3), serta ada sebagian yang menganggap hanya dibagi menjadi mutawatir dan ahad (Mahmud Al-Thahan, 19-21).
Dalam kaitan hadis sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadis mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadis mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah pewarta yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadis ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa pewarta yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa pewarta. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadis ahad yang sifatnya zhan tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammadiyah yang dengan tegas menyatakan bahwa dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah, hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13 dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).
Sikap Muhammadiyah yang tidak menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidah ini banyak dikritik oleh beberapa kalangan, baik dari intern maupun dari ekstern Muhammadiyah. Hal tersebut tidak lain karena akan berimplikasi terhadap hadis-hadis ahad yang ‘berbicara’ tentang akidah, namun statusnya dapat diterima (makbul). Menurut sebagaian mereka (para pengkritik), suatu ironi tersendiri ketika Muhammadiyah yang memiliki jargon “al-ruju’ ila al-qur’an wa al-sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah), malahan tidak mau menerima hadis makbul sebagai hujah agama, meskipun dalam hal akidah. Di satu sisi, konsistensi Muhammadiyah dalam mengaplikasikan prinsipnya tersebut juga banyak dipertanyakan. Artinya, ada sebagian pengkritik yang mensinyalir bahwa dalam hadis-hadis yang dijadikan hujah Muhammadiyah dalam masalah akidah tidak semuanya mutawatir.
Pada intinya, dari semua kritik yang pernah penulis dengar dan jumpai, ada yang sifatnya konstruktif ada pula yang hanya sekedar menyalah-nyalahkan tanpa memberi solusi sama sekali. Melalui tulisan ini, penulis sebagai kader muda Muhammadiyah mencoba memberikan ‘semacam’ sumbangsi ide dan gagasan - jikalau pantas dan layak dikatakan demikian - bagi organisasi yang telah turut berperan dalam membentuk kepribadian penulis.
Hadis Ahad dalam Perspektif Muhammadiyah
Muhammadiyah dalam anggaran dasarnya, seperti yang dikutip Syamsul Anwar, adalah suatu organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan (1869-1923) di Jogjakarta pada permulaan abad ke-20, persisnya tahun 1912 (1330 H). Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar, dan tajdid yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumbernya (Syamsul Anwar, 2007: 313). Tidak mengherankan dengan identitas seperti itu acap kali ketika nama Muhammadiyah disebut, orang langsung mengidentikannya dengan gerakan tajdid yang memiliki jargon begitu masyhur, “al-ruju’ ilaa al-qur’an wa al-sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah). Dengan jargon ini pula, Muhammadiyah berusaha tidak berafiliasi dengan satu madzhab tertentu. Namun, pada saat yang sama Muhammadiyah tidak antipati dan tetap mengakomodir pendapat-pendapat madzhab sebagai pertimbangan.
Sebagai gerakan dakwah yang menangani pula pelbagai permasalahan yang muncul di tengah kehidupan sosial, Muhammadiyah memiliki suatu lembaga (Majelis) khusus yang memang bertugas menjawab dinamika-dinamika kemasyarakatan, baik yang berkaitan dengan keagamaan maupun muamalah. Lembaga ini sekarang bernama Majelis Tarjih dan Tajdid atau sering disebut masyarakat “Majelis Tarjih” saja, tanpa kata “tajdid” setelahnya. Majelis yang beberapa kali berubah nama ini dalam upayanya menjawab permasalahan-permasalahan yang memerlukan istinbath hukum, memiliki manhaj (metodologi) tersediri yang dianut. Manhaj Tarjih dalam satu sisi mengandung pengertian sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an dan al-Sunah al-Makbulah (Syamsul Anwar: 3-4). Di samping itu, Majelis Tarjih juga memiliki pokok-pokok manhaj yang menjadi dasar acuan dalam memandu aktifitas beristidlal. Salah satu dari pokok manhaj, yang juga menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah pokok manhaj nomor 5 (lima). Dalam pokok tersebut tertulis, “Di dalam masalah akidah (tawhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir” (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13). Pokok manhaj Tarjih ini, dikuatkan dengan pernyataan yang terdapat dalam himpunan putusan Tarjih, “Inilah pokok-pokok ‘akidah yang benar yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits dan dikuatkan oleh pemberitaan-pemeberitaan yang mutawatir” (Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).
Dari sini dapat ditarik benang merah tentang bagaimana sikap Muhammadiyah, dalam hal ini Majelis Tarjih, ketika memandang hadis ahad sebagai dalil istinbath. Paling tidak ada dua kesimpulan yang dapat penulis ambil. Pertama, selama hadis ahad tersebut makbul (dapat diterima), maka selama itu pula Majelis Tarjih meyakini bahwa hadis tersebut dapat dijadikan dalil. Kedua, pengeculian dilakukan Majelis Tarjih dalam masalah akidah. Menurut Majelis Tarjih, hadis ahad walaupun ia makbul (dapat diterima) tetap tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah akidah. Karena dalam masalah ini hanya berita yang mutawatir sajalah yang dapat dijadikan hujah.
Hadis Mutawatir, Ahad dan Implikasinya (Faedahnya)
Hadis mutawatir adalah hadis yang diwartakan oleh sejumlah rawi dengan kuantitas banyak, dari setiap generasi ke generasi, di mana mereka secara kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, serta pewartaan yang mereka lakukan ialah dengan disandarkan pada sesuatu yang dapat diindera (Nuruddin ‘Itr, 1981: 404, ‘Ajjaj al-Khatib, 1989: 301, al-Suyuthi, 2008: 390 dan Mahmud Al-Thahan, 19). Definisi ini diamini oleh semua ahli hadis, baik klasik maupun kontemporer. Sehingga mereka membuat syarat sebagai patokan kapan dan bagaimana sebuah hadis dapat dikatakan mutawatir, yang jumlahnya ada 4 (empat) poin. Pertama, diriwayatkan oleh banyak perawi. Kedua, perawi yang banyak ini ada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad atau dengan kata lain dari awal hingga akhir sanad. Ketiga, secara kebiasaan mereka tidak mungkin sepakat berdusta. Keempat, sandaran hadis mereka dengan menggunakan indera, seperti: kami melihat (raayna), kami mendegar (sami’na) dan lain sebagainya (Mahmud Al-Thahan, 19-20).
Mengenai poin pertama tentang kuantitas perawi terjadi perdebatan. Sejumlah ahli mematok jumlah tertentu mengenai batas minimal perawi dikatakan banyak. Al-Qadhi al-Baqilani, seperti dikutip al-Suyuthi, mengatakan jumlah minimalnya adalah lima rawi. Ada pula yang bependapat sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, jumlah pasukan thalut dan tentara badar dan masih banyak lagi batasan minimal yang mereka patok. Namun, menurut al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi-nya, jumlah minimal yang dipilih adalah sepuluh rawi (al-Suyuthi, 2088: 391).
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir memberikan suatu pengetahuan/ilmu (yufidu ‘ilm) yang sifatnya qath’i serta wajib diyakini (‘Ajjaj al-Khatib, 1981: 301, Nuruddin ‘Itr, 1981: 404). Atau bila penulis boleh katakan, hadis mutawatir harus diterima apa adanya (taken for granted) seperti kita menerima al-Qur’an. Dalam artian, tidak perlu lagi kita melakukan penelitian tentang kualitas dan keotentikannya.
Hadis mutawatir ada dua macam; mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi (Nuruddin ‘Itr, 1981: 405). Bila dibandingkan dengan jumlah hadis ahad, hadis mutawatir jumlahnya sangat sedikit. Konsekuensinya, tidak semua permasalahan yang muncul ditengah umat dapat ter-cover oleh hadis mutawatir an sich. Oleh karenanya, berdalil dengan hadis ahad yang makbul adalah suatu tuntutan dan kebutuhan yang dharuri dalam rangka untuk memecahkan pelbagai permasalahan di tengah umat.
Adapun hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir (‘Ajjaj al-Khatib, 1981: 302 dan Mahmud Al-Thahan, 21). Hadis ahad bila dilihat dari segi kuantitas jalur pewarta, seperti dikemukakan oleh para ahli hadis, terbagi menjadi hadis masyhur, ‘aziz dan gharib (Mahmud Al-Thahan, 21). Dilihat dari segi ini, hadis ahad tidak membahas masalah kualitas dan keontetikan. Sehingga dari ketiga varian hadis ahad tersebut sangat dimungkinkan terdapat hadis-hadis yang berstatus makbul (diterima) dan mardud (ditolak), tergantung pada pewarta-pewartanya bersambung dan kredibel serta memiliki kapasitas atau tidak.
Bila hadis mutawatir telah disepakati dapat memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya qath’i, maka hadis ahad masih diperdebatkan apakah ia memberikan suatu pengetahuan yang qath’i atau zhanni. Paling tidak ada tiga pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Dawud al-Zhahiri (Hasan Shabari: 8), mayoritas ahli hadis dan fikih dari kalangan empat madzhab besar Islam dan beberapa ulama yang lain, seperti al-Qadhi dan Syaikh Taqiyudin. Berkaitan dengan hal ini, al-Qadhi mengatakan, “Hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i ketika sanadnya shahih, tidak menyelisihi riwayat yang lain serta telah diterima oleh umat sebagai suatu berita yang makbul”. (al-Jibrin, 1987: 60). Di era kontemporer, pendapat ini diamini oleh kalangan ahli hadis, semisal Muhammad Syakir dan Nashiruddin al-Albani (al-Qaradhawi, 2002: 92, al-Albani: 10).
Di samping itu, abdurrahaman al-Jibrin, seorang pakar hadis kontemporer juga mengumpulkan 19 argumen yang di ajukan oleh kelompok yang berpendapat hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i.
2. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i dengan syarat ada qarinah yang menyertainya.
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama hadis, ushul fikih dan ahli kalam, diantaranya imam al-Amidi, al-Baqilani, Ibnu al-Hajib dan lain sebagainya, termasuk yang terkenal adalah Ibnu Shalah (al-Jibrin, 1987: 77, al-Qaradhawi, 2002: 92). Qarinah yang mereka maksud ada dua macam; muttashilah (bersambung) dan munfashilah (terpisah). Qarinah muttashilah maksudnya ialah qarinah yang masih berkaitan dengan hadis itu sendiri, seperti keadaan para pewartanya, isi hadis dan juga kita sebagai penerima hadis. Mereka mensyaratkan hadis yang dapat memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya qath’i adalah hadis yang diwartakan oleh para pewarta yang kredibel dan memiliki kapasitas serta isi hadisnya pun harus bisa dipastikan bahwa itu datang dari Rasulullah (al-Jibrin, 1987: 77-8).
Adapun qarinah munfashilah di sini adalah qarinah yang sama sekali tidak berkaitan dengan hadis yang menjadi objek kajian dalam masalah ini. Mereka yang mengajukan syarat qarinah ini (munfashilah) adalah para ahli kalam. Sehingga dalam beberapa kitab ilmu hadis yang penulis rujuk tidak memberikan informasi yang cukup signifikan mengenai hal ini. Namun, menurut penulis antara pendapat pertama yang mengatakan hadis (ahad) yang ‘adl dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i dengan pendapat kedua ini tidak ada perbedaan yang cukup menadasar dan substansial. Mereka sama-sama mensyaratkan hadis yang bersangkutan diwartakan oleh para pewarta yang kredibel dan memiliki kapasitas. Bedanya pendapat kedua di tambah qarinah munfashilah yang diajukan oleh para ahli kalam.
3. Ketiga, pendapat yang mengatakan hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhan (dugaan)
Ulama yang dengan terang menyatakan bahwa hadis ahad tidak memberikan suatu pengetahuan yang qath’i, namun hanya berfaedah zhan (dugaan) adalah imam al-Ghazali (al-Jibrin, 1987: 84) dalam karyanya, “al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul”. Lebih lanjut, dalam karyanya tersebut, ia mentakwil pendapat kelompok yang meyakini bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i. Dalam takwilan al-Ghazali, ada dua kemungkinan hadis ahad bisa dikatakan memberikan suatu pengetahuan yang qath’i; pertama, yang dimaksud demikian (hadis ahad berfaedah ‘ilm) adalah dengan wajib mengamalkannya; atau kedua, bisa jadi yang dimaksud ‘ilm (pengetahuan yang qath’i) di situ adalah zhan (dugaan), karena biasanya zhan (dugaan) dapat berarti pula ‘ilm (pengetahuan yang qath’i) (al-Ghazali, t.t: 179-180).
Abdurrahman al-Jibrin dalam kitabnya, “Akhbar al-Ahad fi al-Hadits al-Nabawi”, mengkritisi dan juga menyayangkan sikap Imam al-Ghazali dan para ulama yang berpendapat bahwa hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang zhan. Menurutnya, mereka sampai pada kesimpulan seperti ini karena kesibukan mereka yang hanya berkutat pada pembahasan yang berkaitan dengan ilmu kalam belaka. Ia juga menyayangkan sikap para ahli hadis, seperti imam al-Nawawi dan Ibnu al-Atsir yang menukil pendapat imam al-Ghazali ketika mentakwil pendapat kelompok yang meyakini bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i tersebut.
Kontroversi Hadis Ahad sebagai Dalil dalam Akidah
Kontroversi tentang apakah hadis ahad dapat dijadikan hujah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadis ahad itu berfaedah qath’i atau zhanni. Perdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadis ahad sebagai hujah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadis ahad dapat dijadikan hujah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhanni akan menolak kehujahan hadis ahad dalam masalah akidah. Belum lagi ketika ditambah persoalan pendefinisian akidah yang belum juga sampai pada mufakat. Ada sebagian yang menganggap bahwa akidah adalah hal-hal yang hanya terkait dengan keyakinan saja. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa akidah tidak hanya sebatas itu, karena akidah dituntut pula tindakan praksis sebagai bentuk aplikasi dari apa yang diyakini seseorang. Semua faktor inilah yang menyebabkan perbedaan di kalangan para ulama. Pada prinsipnya, mereka semua mengemukakan pendapat masing-masing dengan disertai argumen dan penjelasan.
Perlu diketahui bersama, upaya moderasi untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda itu, coba dilakukan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Walaupun mungkin tidak secara eksplisit, namun menurut penulis apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi ketika mengklasifikasikan akidah dalam bukunya “al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wa al-Hadharah” bisa diaggap sebagai upaya pengkompromian. Dalam bukunya itu, ulama yang memang terkenal dengan kemoderatannya ini, mengklasifikasikan akidah menjadi dua; akidah asasi (al-‘aqidah al-asasi) dan akidah furu’i (al-‘aqidah al-furu’i). Dimaksud yang pertama adalah pokok-pokok akidah dan rukun-rukunnya, seperti keimanan kepada Allah, meyakini keesaan-Nya, mengakui nabi muhammad sebagai utusan-Nya, yakin akan adanya hari kebangkitan, dan lain sebagainya. Untuk akidah ini telah ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan memang ia telah cukup sebagai landasan dalil dalam masalah ini. Kalaupun ada hadis yang menjelaskan kembali, maka itu sifatnya sebagai penguat (ta’kid) dan perinci (tafshil). (al-Qaradhawi, 2002: 94-9)
Adapun dimaksud yang kedua adalah akidah yang sifatnya furu’i, sehingga bisa (baca: cukup) ditetapkan dengan hadis yang shahih, seperti pertanyaan dua malaikat di alam kubur, siksa dan nikmat kubur, syafa’at bagi para pelaku dosa besar kelak di hari kiamat, dan lain sebagainya. Satu syarat yang dikemukakan pula bahwa macam akidah ini harus bisa dinalar akal (dilogikakan). (al-Qaradhawi, 2002: 95).
Apakah Muhammadiyah konsisten dengan prinsipnya?
Meskipun belum terlalu gamblang bagaimana Muhammadiyah sesungguhnya mendefinisikan akidah, namun dari apa yang dipaparkan di atas bisa diterka secara teoritis bagaimana akidah yang dipahami dalam ruang lingkup yang lebih simplistis. Maka, pertanyaan yang menjadi sub-judul ini patut diajukan kepada Muhammadiyah. Dalam produk tarjihnya, khususnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), bisa ditelusuri permasalahan yang sangat erat kaitannya dengan akidah. Karena akidah identik dengan keyakinan, tentunya memilih Kitab Iman sebagai fokus pembahasan adalah pilihan yang sangat tepat dan relevan. Penulis dalam hal ini tidak akan meneliti satu persatu hadis yang ada dalam kitab iman, selain akan memakan waktu yang cukup lama, penelitian yang dilakukan oleh DR. Kasman tampaknya telah bisa menjadi tolok ukur untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah Muhammadiyah konsisten dengan prinsipnya?
DR. Kasman adalah seorang pengajar ilmu hadis pada beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur, tepatnya di kota Jember dan sekitarnya. Selain pengajar, beliau adalah seorang mantan ketua Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember dan sekarang diamanahi sebagai ketua umum pada Pimpinan Daerah yang sama. Dalam buku “Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah” yang berasal dari disertasinya, beliau telah meneiliti hadis-hadis yang dijadikan rujukan dalam HPT. Berdasarkan penelitiannya, ada 6 dari 11 hadis yang dijadikan dalil dalam Kitab Iman berstatus ahad, dan oleh karenanya tidak bisa dikatakan mutawatir. Belum lagi, ada dua hadis dha’if yang ditemukan dalam persoalan ibadah - berdasarkan penelitiannya - dengan mengacu kepada kaidah-kaidah kehadisan yang dibuat oleh Muhammadiyah (Kasman, 2012: 399-400). Dari penelitian tersebut, terlihat sikap Muhammadiyah yang kurang konsisten dalam menerapkan prinsipnya sendiri, yaitu hanya berhujah dengan hadis mutawatir dalam masalah akidah. Kekurang konsistenan ini menurut penulis bisa disebabkan beberapa faktor, baik yang sifatnya sarana penunjang, seperti keterbatasan kitab yang dirujuk pada saat perumusan HPT, maupun yang sifatnya teoritis, seperti belum jelasnya apa yag dimaksud akidah menurut perspektif Muhammadiyah.
Catatan Penutup dan Saran
Dari pemaparan di atas, menurut hemat penulis, Muhammadiyah perlu kiranya mengkaji ulang apa yang telah ditetapkan sebagai prinsip berhujah, kaitannya dengan hadis ahad dalam masalah akidah. Memang boleh jadi sikap Muhammadiyah yang hanya menerima hadis mutawatir dalam masalah akidah ialah demi menjaga kesucian dan kemurnian akidah dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya. Namun selain implikasinya Muhammadiyah akan dilabeli tidak konsisten, juga dengan sikapnya itu Muhammadiyah akan berhadapan dengan problem yang hubungannya dengan otoritas sunah sebagai sumber primer kedua setelah al-Qur’an. Akan banyak hadis-hadis makbul (baca: shahih) yang berbicara tentang akidah tidak diterima (baca: ditolak) oleh Muhammadiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Tulisan ini terinspirasi dan khusus saya dedikasikan untuk al-mukarram al-ustadz Teuku Ismail Thaib, yang beberapa hari lalu genap berumur 80 tahun)
Sumber Acuan
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Books, 2007.
, Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan Hukum Dalam Tarjih Muhammadiyah. (Makalah disamapaikan pada Acara Pelatihan Kader Tarjih
Nasional, 20-01-2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang).
‘Itr, Nûruddîn Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981.
Al-Khatîb, ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989.
Al-Thahân, Mahmûd, Taysîr Musthalah al-Hadîts, Ttp.: Dâr al-Fikr, t.t.
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cet. Ke-3, Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009.
Sayûthî, Jalâluddîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî, edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1429/2008.
Jibrîn, ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân al-, Akhbâr al-Âhâd fî al-Hadîts al-Nabawî: Hujjiyatuhâ, Mafâduhâ, al-‘Amalu bi Mûjibihâ, ttp.: t.p., t.t.
Shabarî, ‘Âmir Hasan, Hujjiyah Khabar al-Âhâd fî al-‘Aqâ’id wa al-Ahkam, ttp.: t.p., t.t.
Qaradhâwî, Yûsuf al-, Al-Sunnah Mashdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1423/2002.
Albânî, Muhammad Nâshiruddîn al-, Al-Hadits Hujjiyah bi Nafsih fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkam, ttp.: t.p., t.t.
Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Ahmad al-, Al-Mushtashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, edisi Hamzah ibn Zuhair Hâfizh, ttp., t.t.
Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012.
Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi
Telah menjadi kesepakatan bulat (ijmak) umat Muhammad bahwa hadis adalah salah satu dari dua sumber utama hukum Islam. Oleh karenanya, hadis sebagai demikian, menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari seluruh macam aspek keagamaan, di mana ia membutuhkan dalil hujah sebagai alat legitimasi. Dari segi kualitas atau diterima-tolaknya, hadis dibagi menjadi makbul (diterima) dan mardud (ditolak) (Nuruddin ‘Itr, 1981: 241). Keduanya di-break down menjadi beberapa cabang yang cukup banyak. Sementara bila dilihat dari kuantitas jalur pewarta (rawi) atau cara sampainya kepada kita, hadis terbagi menjadi mutawatir, masyhur dan ahad (‘Ajjaj al-Khatib, 1989: 301-3), serta ada sebagian yang menganggap hanya dibagi menjadi mutawatir dan ahad (Mahmud Al-Thahan, 19-21).
Dalam kaitan hadis sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadis mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadis mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah pewarta yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadis ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa pewarta yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa pewarta. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadis ahad yang sifatnya zhan tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammadiyah yang dengan tegas menyatakan bahwa dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah, hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13 dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).
Sikap Muhammadiyah yang tidak menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidah ini banyak dikritik oleh beberapa kalangan, baik dari intern maupun dari ekstern Muhammadiyah. Hal tersebut tidak lain karena akan berimplikasi terhadap hadis-hadis ahad yang ‘berbicara’ tentang akidah, namun statusnya dapat diterima (makbul). Menurut sebagaian mereka (para pengkritik), suatu ironi tersendiri ketika Muhammadiyah yang memiliki jargon “al-ruju’ ila al-qur’an wa al-sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah), malahan tidak mau menerima hadis makbul sebagai hujah agama, meskipun dalam hal akidah. Di satu sisi, konsistensi Muhammadiyah dalam mengaplikasikan prinsipnya tersebut juga banyak dipertanyakan. Artinya, ada sebagian pengkritik yang mensinyalir bahwa dalam hadis-hadis yang dijadikan hujah Muhammadiyah dalam masalah akidah tidak semuanya mutawatir.
Pada intinya, dari semua kritik yang pernah penulis dengar dan jumpai, ada yang sifatnya konstruktif ada pula yang hanya sekedar menyalah-nyalahkan tanpa memberi solusi sama sekali. Melalui tulisan ini, penulis sebagai kader muda Muhammadiyah mencoba memberikan ‘semacam’ sumbangsi ide dan gagasan - jikalau pantas dan layak dikatakan demikian - bagi organisasi yang telah turut berperan dalam membentuk kepribadian penulis.
Hadis Ahad dalam Perspektif Muhammadiyah
Muhammadiyah dalam anggaran dasarnya, seperti yang dikutip Syamsul Anwar, adalah suatu organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan (1869-1923) di Jogjakarta pada permulaan abad ke-20, persisnya tahun 1912 (1330 H). Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar, dan tajdid yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumbernya (Syamsul Anwar, 2007: 313). Tidak mengherankan dengan identitas seperti itu acap kali ketika nama Muhammadiyah disebut, orang langsung mengidentikannya dengan gerakan tajdid yang memiliki jargon begitu masyhur, “al-ruju’ ilaa al-qur’an wa al-sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah). Dengan jargon ini pula, Muhammadiyah berusaha tidak berafiliasi dengan satu madzhab tertentu. Namun, pada saat yang sama Muhammadiyah tidak antipati dan tetap mengakomodir pendapat-pendapat madzhab sebagai pertimbangan.
Sebagai gerakan dakwah yang menangani pula pelbagai permasalahan yang muncul di tengah kehidupan sosial, Muhammadiyah memiliki suatu lembaga (Majelis) khusus yang memang bertugas menjawab dinamika-dinamika kemasyarakatan, baik yang berkaitan dengan keagamaan maupun muamalah. Lembaga ini sekarang bernama Majelis Tarjih dan Tajdid atau sering disebut masyarakat “Majelis Tarjih” saja, tanpa kata “tajdid” setelahnya. Majelis yang beberapa kali berubah nama ini dalam upayanya menjawab permasalahan-permasalahan yang memerlukan istinbath hukum, memiliki manhaj (metodologi) tersediri yang dianut. Manhaj Tarjih dalam satu sisi mengandung pengertian sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an dan al-Sunah al-Makbulah (Syamsul Anwar: 3-4). Di samping itu, Majelis Tarjih juga memiliki pokok-pokok manhaj yang menjadi dasar acuan dalam memandu aktifitas beristidlal. Salah satu dari pokok manhaj, yang juga menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah pokok manhaj nomor 5 (lima). Dalam pokok tersebut tertulis, “Di dalam masalah akidah (tawhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir” (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13). Pokok manhaj Tarjih ini, dikuatkan dengan pernyataan yang terdapat dalam himpunan putusan Tarjih, “Inilah pokok-pokok ‘akidah yang benar yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits dan dikuatkan oleh pemberitaan-pemeberitaan yang mutawatir” (Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).
Dari sini dapat ditarik benang merah tentang bagaimana sikap Muhammadiyah, dalam hal ini Majelis Tarjih, ketika memandang hadis ahad sebagai dalil istinbath. Paling tidak ada dua kesimpulan yang dapat penulis ambil. Pertama, selama hadis ahad tersebut makbul (dapat diterima), maka selama itu pula Majelis Tarjih meyakini bahwa hadis tersebut dapat dijadikan dalil. Kedua, pengeculian dilakukan Majelis Tarjih dalam masalah akidah. Menurut Majelis Tarjih, hadis ahad walaupun ia makbul (dapat diterima) tetap tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah akidah. Karena dalam masalah ini hanya berita yang mutawatir sajalah yang dapat dijadikan hujah.
Hadis Mutawatir, Ahad dan Implikasinya (Faedahnya)
Hadis mutawatir adalah hadis yang diwartakan oleh sejumlah rawi dengan kuantitas banyak, dari setiap generasi ke generasi, di mana mereka secara kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, serta pewartaan yang mereka lakukan ialah dengan disandarkan pada sesuatu yang dapat diindera (Nuruddin ‘Itr, 1981: 404, ‘Ajjaj al-Khatib, 1989: 301, al-Suyuthi, 2008: 390 dan Mahmud Al-Thahan, 19). Definisi ini diamini oleh semua ahli hadis, baik klasik maupun kontemporer. Sehingga mereka membuat syarat sebagai patokan kapan dan bagaimana sebuah hadis dapat dikatakan mutawatir, yang jumlahnya ada 4 (empat) poin. Pertama, diriwayatkan oleh banyak perawi. Kedua, perawi yang banyak ini ada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad atau dengan kata lain dari awal hingga akhir sanad. Ketiga, secara kebiasaan mereka tidak mungkin sepakat berdusta. Keempat, sandaran hadis mereka dengan menggunakan indera, seperti: kami melihat (raayna), kami mendegar (sami’na) dan lain sebagainya (Mahmud Al-Thahan, 19-20).
Mengenai poin pertama tentang kuantitas perawi terjadi perdebatan. Sejumlah ahli mematok jumlah tertentu mengenai batas minimal perawi dikatakan banyak. Al-Qadhi al-Baqilani, seperti dikutip al-Suyuthi, mengatakan jumlah minimalnya adalah lima rawi. Ada pula yang bependapat sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, jumlah pasukan thalut dan tentara badar dan masih banyak lagi batasan minimal yang mereka patok. Namun, menurut al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi-nya, jumlah minimal yang dipilih adalah sepuluh rawi (al-Suyuthi, 2088: 391).
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir memberikan suatu pengetahuan/ilmu (yufidu ‘ilm) yang sifatnya qath’i serta wajib diyakini (‘Ajjaj al-Khatib, 1981: 301, Nuruddin ‘Itr, 1981: 404). Atau bila penulis boleh katakan, hadis mutawatir harus diterima apa adanya (taken for granted) seperti kita menerima al-Qur’an. Dalam artian, tidak perlu lagi kita melakukan penelitian tentang kualitas dan keotentikannya.
Hadis mutawatir ada dua macam; mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi (Nuruddin ‘Itr, 1981: 405). Bila dibandingkan dengan jumlah hadis ahad, hadis mutawatir jumlahnya sangat sedikit. Konsekuensinya, tidak semua permasalahan yang muncul ditengah umat dapat ter-cover oleh hadis mutawatir an sich. Oleh karenanya, berdalil dengan hadis ahad yang makbul adalah suatu tuntutan dan kebutuhan yang dharuri dalam rangka untuk memecahkan pelbagai permasalahan di tengah umat.
Adapun hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir (‘Ajjaj al-Khatib, 1981: 302 dan Mahmud Al-Thahan, 21). Hadis ahad bila dilihat dari segi kuantitas jalur pewarta, seperti dikemukakan oleh para ahli hadis, terbagi menjadi hadis masyhur, ‘aziz dan gharib (Mahmud Al-Thahan, 21). Dilihat dari segi ini, hadis ahad tidak membahas masalah kualitas dan keontetikan. Sehingga dari ketiga varian hadis ahad tersebut sangat dimungkinkan terdapat hadis-hadis yang berstatus makbul (diterima) dan mardud (ditolak), tergantung pada pewarta-pewartanya bersambung dan kredibel serta memiliki kapasitas atau tidak.
Bila hadis mutawatir telah disepakati dapat memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya qath’i, maka hadis ahad masih diperdebatkan apakah ia memberikan suatu pengetahuan yang qath’i atau zhanni. Paling tidak ada tiga pendapat dalam hal ini.
- Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa hadis (ahad) yang ‘adl (kredibel) dapat memberikan suatu pengetahuan (‘ilm) yang qath’i.
Pendapat pertama ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Dawud al-Zhahiri (Hasan Shabari: 8), mayoritas ahli hadis dan fikih dari kalangan empat madzhab besar Islam dan beberapa ulama yang lain, seperti al-Qadhi dan Syaikh Taqiyudin. Berkaitan dengan hal ini, al-Qadhi mengatakan, “Hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i ketika sanadnya shahih, tidak menyelisihi riwayat yang lain serta telah diterima oleh umat sebagai suatu berita yang makbul”. (al-Jibrin, 1987: 60). Di era kontemporer, pendapat ini diamini oleh kalangan ahli hadis, semisal Muhammad Syakir dan Nashiruddin al-Albani (al-Qaradhawi, 2002: 92, al-Albani: 10).
Di samping itu, abdurrahaman al-Jibrin, seorang pakar hadis kontemporer juga mengumpulkan 19 argumen yang di ajukan oleh kelompok yang berpendapat hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i.
2. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i dengan syarat ada qarinah yang menyertainya.
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama hadis, ushul fikih dan ahli kalam, diantaranya imam al-Amidi, al-Baqilani, Ibnu al-Hajib dan lain sebagainya, termasuk yang terkenal adalah Ibnu Shalah (al-Jibrin, 1987: 77, al-Qaradhawi, 2002: 92). Qarinah yang mereka maksud ada dua macam; muttashilah (bersambung) dan munfashilah (terpisah). Qarinah muttashilah maksudnya ialah qarinah yang masih berkaitan dengan hadis itu sendiri, seperti keadaan para pewartanya, isi hadis dan juga kita sebagai penerima hadis. Mereka mensyaratkan hadis yang dapat memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya qath’i adalah hadis yang diwartakan oleh para pewarta yang kredibel dan memiliki kapasitas serta isi hadisnya pun harus bisa dipastikan bahwa itu datang dari Rasulullah (al-Jibrin, 1987: 77-8).
Adapun qarinah munfashilah di sini adalah qarinah yang sama sekali tidak berkaitan dengan hadis yang menjadi objek kajian dalam masalah ini. Mereka yang mengajukan syarat qarinah ini (munfashilah) adalah para ahli kalam. Sehingga dalam beberapa kitab ilmu hadis yang penulis rujuk tidak memberikan informasi yang cukup signifikan mengenai hal ini. Namun, menurut penulis antara pendapat pertama yang mengatakan hadis (ahad) yang ‘adl dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i dengan pendapat kedua ini tidak ada perbedaan yang cukup menadasar dan substansial. Mereka sama-sama mensyaratkan hadis yang bersangkutan diwartakan oleh para pewarta yang kredibel dan memiliki kapasitas. Bedanya pendapat kedua di tambah qarinah munfashilah yang diajukan oleh para ahli kalam.
3. Ketiga, pendapat yang mengatakan hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhan (dugaan)
Ulama yang dengan terang menyatakan bahwa hadis ahad tidak memberikan suatu pengetahuan yang qath’i, namun hanya berfaedah zhan (dugaan) adalah imam al-Ghazali (al-Jibrin, 1987: 84) dalam karyanya, “al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul”. Lebih lanjut, dalam karyanya tersebut, ia mentakwil pendapat kelompok yang meyakini bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i. Dalam takwilan al-Ghazali, ada dua kemungkinan hadis ahad bisa dikatakan memberikan suatu pengetahuan yang qath’i; pertama, yang dimaksud demikian (hadis ahad berfaedah ‘ilm) adalah dengan wajib mengamalkannya; atau kedua, bisa jadi yang dimaksud ‘ilm (pengetahuan yang qath’i) di situ adalah zhan (dugaan), karena biasanya zhan (dugaan) dapat berarti pula ‘ilm (pengetahuan yang qath’i) (al-Ghazali, t.t: 179-180).
Abdurrahman al-Jibrin dalam kitabnya, “Akhbar al-Ahad fi al-Hadits al-Nabawi”, mengkritisi dan juga menyayangkan sikap Imam al-Ghazali dan para ulama yang berpendapat bahwa hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang zhan. Menurutnya, mereka sampai pada kesimpulan seperti ini karena kesibukan mereka yang hanya berkutat pada pembahasan yang berkaitan dengan ilmu kalam belaka. Ia juga menyayangkan sikap para ahli hadis, seperti imam al-Nawawi dan Ibnu al-Atsir yang menukil pendapat imam al-Ghazali ketika mentakwil pendapat kelompok yang meyakini bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i tersebut.
Kontroversi Hadis Ahad sebagai Dalil dalam Akidah
Kontroversi tentang apakah hadis ahad dapat dijadikan hujah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadis ahad itu berfaedah qath’i atau zhanni. Perdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadis ahad sebagai hujah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadis ahad dapat dijadikan hujah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhanni akan menolak kehujahan hadis ahad dalam masalah akidah. Belum lagi ketika ditambah persoalan pendefinisian akidah yang belum juga sampai pada mufakat. Ada sebagian yang menganggap bahwa akidah adalah hal-hal yang hanya terkait dengan keyakinan saja. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa akidah tidak hanya sebatas itu, karena akidah dituntut pula tindakan praksis sebagai bentuk aplikasi dari apa yang diyakini seseorang. Semua faktor inilah yang menyebabkan perbedaan di kalangan para ulama. Pada prinsipnya, mereka semua mengemukakan pendapat masing-masing dengan disertai argumen dan penjelasan.
Perlu diketahui bersama, upaya moderasi untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda itu, coba dilakukan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Walaupun mungkin tidak secara eksplisit, namun menurut penulis apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi ketika mengklasifikasikan akidah dalam bukunya “al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wa al-Hadharah” bisa diaggap sebagai upaya pengkompromian. Dalam bukunya itu, ulama yang memang terkenal dengan kemoderatannya ini, mengklasifikasikan akidah menjadi dua; akidah asasi (al-‘aqidah al-asasi) dan akidah furu’i (al-‘aqidah al-furu’i). Dimaksud yang pertama adalah pokok-pokok akidah dan rukun-rukunnya, seperti keimanan kepada Allah, meyakini keesaan-Nya, mengakui nabi muhammad sebagai utusan-Nya, yakin akan adanya hari kebangkitan, dan lain sebagainya. Untuk akidah ini telah ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan memang ia telah cukup sebagai landasan dalil dalam masalah ini. Kalaupun ada hadis yang menjelaskan kembali, maka itu sifatnya sebagai penguat (ta’kid) dan perinci (tafshil). (al-Qaradhawi, 2002: 94-9)
Adapun dimaksud yang kedua adalah akidah yang sifatnya furu’i, sehingga bisa (baca: cukup) ditetapkan dengan hadis yang shahih, seperti pertanyaan dua malaikat di alam kubur, siksa dan nikmat kubur, syafa’at bagi para pelaku dosa besar kelak di hari kiamat, dan lain sebagainya. Satu syarat yang dikemukakan pula bahwa macam akidah ini harus bisa dinalar akal (dilogikakan). (al-Qaradhawi, 2002: 95).
Apakah Muhammadiyah konsisten dengan prinsipnya?
Meskipun belum terlalu gamblang bagaimana Muhammadiyah sesungguhnya mendefinisikan akidah, namun dari apa yang dipaparkan di atas bisa diterka secara teoritis bagaimana akidah yang dipahami dalam ruang lingkup yang lebih simplistis. Maka, pertanyaan yang menjadi sub-judul ini patut diajukan kepada Muhammadiyah. Dalam produk tarjihnya, khususnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), bisa ditelusuri permasalahan yang sangat erat kaitannya dengan akidah. Karena akidah identik dengan keyakinan, tentunya memilih Kitab Iman sebagai fokus pembahasan adalah pilihan yang sangat tepat dan relevan. Penulis dalam hal ini tidak akan meneliti satu persatu hadis yang ada dalam kitab iman, selain akan memakan waktu yang cukup lama, penelitian yang dilakukan oleh DR. Kasman tampaknya telah bisa menjadi tolok ukur untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah Muhammadiyah konsisten dengan prinsipnya?
DR. Kasman adalah seorang pengajar ilmu hadis pada beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur, tepatnya di kota Jember dan sekitarnya. Selain pengajar, beliau adalah seorang mantan ketua Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember dan sekarang diamanahi sebagai ketua umum pada Pimpinan Daerah yang sama. Dalam buku “Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah” yang berasal dari disertasinya, beliau telah meneiliti hadis-hadis yang dijadikan rujukan dalam HPT. Berdasarkan penelitiannya, ada 6 dari 11 hadis yang dijadikan dalil dalam Kitab Iman berstatus ahad, dan oleh karenanya tidak bisa dikatakan mutawatir. Belum lagi, ada dua hadis dha’if yang ditemukan dalam persoalan ibadah - berdasarkan penelitiannya - dengan mengacu kepada kaidah-kaidah kehadisan yang dibuat oleh Muhammadiyah (Kasman, 2012: 399-400). Dari penelitian tersebut, terlihat sikap Muhammadiyah yang kurang konsisten dalam menerapkan prinsipnya sendiri, yaitu hanya berhujah dengan hadis mutawatir dalam masalah akidah. Kekurang konsistenan ini menurut penulis bisa disebabkan beberapa faktor, baik yang sifatnya sarana penunjang, seperti keterbatasan kitab yang dirujuk pada saat perumusan HPT, maupun yang sifatnya teoritis, seperti belum jelasnya apa yag dimaksud akidah menurut perspektif Muhammadiyah.
Catatan Penutup dan Saran
Dari pemaparan di atas, menurut hemat penulis, Muhammadiyah perlu kiranya mengkaji ulang apa yang telah ditetapkan sebagai prinsip berhujah, kaitannya dengan hadis ahad dalam masalah akidah. Memang boleh jadi sikap Muhammadiyah yang hanya menerima hadis mutawatir dalam masalah akidah ialah demi menjaga kesucian dan kemurnian akidah dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya. Namun selain implikasinya Muhammadiyah akan dilabeli tidak konsisten, juga dengan sikapnya itu Muhammadiyah akan berhadapan dengan problem yang hubungannya dengan otoritas sunah sebagai sumber primer kedua setelah al-Qur’an. Akan banyak hadis-hadis makbul (baca: shahih) yang berbicara tentang akidah tidak diterima (baca: ditolak) oleh Muhammadiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(Tulisan ini terinspirasi dan khusus saya dedikasikan untuk al-mukarram al-ustadz Teuku Ismail Thaib, yang beberapa hari lalu genap berumur 80 tahun)
Sumber Acuan
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Books, 2007.
, Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan Hukum Dalam Tarjih Muhammadiyah. (Makalah disamapaikan pada Acara Pelatihan Kader Tarjih
Nasional, 20-01-2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang).
‘Itr, Nûruddîn Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981.
Al-Khatîb, ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989.
Al-Thahân, Mahmûd, Taysîr Musthalah al-Hadîts, Ttp.: Dâr al-Fikr, t.t.
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cet. Ke-3, Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009.
Sayûthî, Jalâluddîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî, edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1429/2008.
Jibrîn, ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân al-, Akhbâr al-Âhâd fî al-Hadîts al-Nabawî: Hujjiyatuhâ, Mafâduhâ, al-‘Amalu bi Mûjibihâ, ttp.: t.p., t.t.
Shabarî, ‘Âmir Hasan, Hujjiyah Khabar al-Âhâd fî al-‘Aqâ’id wa al-Ahkam, ttp.: t.p., t.t.
Qaradhâwî, Yûsuf al-, Al-Sunnah Mashdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1423/2002.
Albânî, Muhammad Nâshiruddîn al-, Al-Hadits Hujjiyah bi Nafsih fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkam, ttp.: t.p., t.t.
Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Ahmad al-, Al-Mushtashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, edisi Hamzah ibn Zuhair Hâfizh, ttp., t.t.
Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar