Rabu, 27 Agustus 2014

Antrian SPBU dan Fenomena Panic Buying

Suatu fenomena yang beberapa hari belakangan terjadi di seantero pulau Jawa adalah fenomena panic buying. Bagi saya panic buying adalah salah satu fonemena masyarakat yang kurang sehat. Panic buying adalah suatu tindakan orang membeli dalam jumlah luar biasa besar untuk mengantisipasi kenaikan harga atau kekurangan barang tertentu.

Saya agak yakin, sebagian besar orang yang hari ini, beberapa hari lalu dan (mugkin) beberapa hari ke depan mengantri di SPBU-SPBU adalah orang yang sebenarnya di tangki motor atau mobilnya masih ada simpanan bahan bakar yang cukup. Mereka hanya panik atau takut saja tidak akan mendapatkan bahan bakar lagi, karena pemberitaan di media yang begitu gencar tentang pembatasan BBM dari Pertamina. Orang yang biasanya mengisi bensin motornya hanya Rp. 10.000, sekarang mengisi full tangkinya. Ini yang menurut saya mejadikan kelangkaan BBM akhir-akhir ini semakin parah. Bayangkan jika semua orang yang setiap harinya mengisi tangki motornyanya Rp. 10.000, sekarang mengisi full. Pasti dalam tempo tidak kurang dari sehari stok BBM di SPBU sudah habis. Dampaknya banyak orang lain yang tidak mendapat jatah BBM. Jika setiap individu tidak panik dalam menghadapi kebijakan pembatasan BBM ini, insya Allah fenomena antrian di SPBU tidak se-ekstrem apa yang terjadi sekarang.

Tidak Peduli Orang Lain

Terasa atau tidak panic buying akan menggiring kita pada satu pembentukan karakter, yaitu tidak peduli orang lain. "Tidak urus orang lain mau dapat atau tidak, yang penting tangki motor atau mobil saya full, saya bisa jalan ke mana-mana." Secara disadari atau tidak akan muncul karakter seperti itu pada orang-orang yang mengalami kepanikan akan kelangkaan suatu barang. Itu belum lagi ditambah sikap antri masyarakat kita yang jauh dari tertib. Tertib di perempatan lampu merah yang hanya menunggu dua menit saja kita masih sering melanggar, apalagi ini harus mengantri satu jam lebih di SPBU di tengah matahari yang terik.

Di Jepang konon, orang-orangnya sangat tertib. Bahkan, kata Prof. Imam Robandi dalam bukunya The Ethos of Sakura, orang yang tidak dapat antri toilet di Jepang tidak dapat menduduki posisi penting di perusahaan atau instansi. Di Jepang, sikap tertib seseorang menjadi salah satu tolok ukur apakah dia layak menjadi pemimpin atau tidak. Bagaimana dengan di Negeri kita, Indonesia? Hari ini barangkali kita baru bisa menjadi penonton. Semoga di hari kemudian akan muncul peradaban tertib di Indonesia kita.

Kembali pada kebijakan pembatasan BBM. Kebijakan ini seharusnya mampu menjadikan kita belajar lebih banyak untuk bisa menahan diri memperoleh sesuatu secara melimpah tapi justru hal tersebut menjadikan kita tidak peduli pada orang lain.

Salam tertib dari orang yang motornya kehabisan bensin :D



Selasa, 19 Agustus 2014

Selamat, Kang!

Minggu-minggu ini sepertinya menjadi pekan yang berbahagia bagi beberapa orang, termasuk saya. Saya, tadi pagi, Alhamdulilah baru saja menyelesaikan sebagian dari fase akhir pendidikan saya di tingkat sarjana, yaitu ujian pendadaran. Dan syukur Alhamdulilah mendapatkan hasil yang memuaskan. Rasa terima kasih beriring doa saya ucapkan kepada semuanya yang turut mendukung dan mendoakan. Semoga kebaikan teman-teman dan semuanya dibalas oleh Allah dengan limpahan cinta, rahmat dan barakah-Nya. Amin.

Beberapa hari yang lalu tepatnya hari sabtu, 16 Agustus 2014, salah seorang kakak kelas saya yang baik hati baru saja diwisuda. Hudzaifaturrahman namanya. Dia adalah kakak kelas saya semenjak di Tsanawiyah. Dulu ketika di Tsanawiyah kami pernah bersama-sama ‘bersaing’ satu sama lain untuk menjadi ketua OSIS. Ketika itu saya yang akhirnya menjadi ketua OSIS. Ada sedikit rasa bangga karena bisa mengalahkan kakak kelas. Tapi lambat laun, saya sadar bahwa apa yang saya banggakan itu salah. Saya justru banyak belajar dari Kang Udhe, begitu saya menggil kakak kelas saya itu. Apalagi setelah kami dipertemukan kembali di PUTM. Dia benar-benar seperti kakak saya sendiri. Apa yang saya butuhkan dan perlukan, dengan senang hati ia bantu. Bagi saya, dia bukan sekedar kakak kelas. Dia sekaligus guru saya. Dia mengajarkan bagaimana cara bersyukur maksimal, bersabar tiada henti, berterimakasih pada sesama, hidup sederhana, patuh pada para ustadz dan loyalitas yang tinggi. Bagi saya, Kang Udhe adalah kakak kelas saya yang paling ngalahan (mengalah) kepada adik-adik kelasnya. Dia tidak mau adik-adik kelasnya merasa terberatkan dan tersusahkan. Saya termasuk yang sangat merasakan itu. Di PUTM dulu, keberadaannya benar-benar saya rasakan. Keberadaannya betul-betul menebarkan manfaat bagi orang-orang di sampingnya.