Selasa, 19 Agustus 2014

Selamat, Kang!

Minggu-minggu ini sepertinya menjadi pekan yang berbahagia bagi beberapa orang, termasuk saya. Saya, tadi pagi, Alhamdulilah baru saja menyelesaikan sebagian dari fase akhir pendidikan saya di tingkat sarjana, yaitu ujian pendadaran. Dan syukur Alhamdulilah mendapatkan hasil yang memuaskan. Rasa terima kasih beriring doa saya ucapkan kepada semuanya yang turut mendukung dan mendoakan. Semoga kebaikan teman-teman dan semuanya dibalas oleh Allah dengan limpahan cinta, rahmat dan barakah-Nya. Amin.

Beberapa hari yang lalu tepatnya hari sabtu, 16 Agustus 2014, salah seorang kakak kelas saya yang baik hati baru saja diwisuda. Hudzaifaturrahman namanya. Dia adalah kakak kelas saya semenjak di Tsanawiyah. Dulu ketika di Tsanawiyah kami pernah bersama-sama ‘bersaing’ satu sama lain untuk menjadi ketua OSIS. Ketika itu saya yang akhirnya menjadi ketua OSIS. Ada sedikit rasa bangga karena bisa mengalahkan kakak kelas. Tapi lambat laun, saya sadar bahwa apa yang saya banggakan itu salah. Saya justru banyak belajar dari Kang Udhe, begitu saya menggil kakak kelas saya itu. Apalagi setelah kami dipertemukan kembali di PUTM. Dia benar-benar seperti kakak saya sendiri. Apa yang saya butuhkan dan perlukan, dengan senang hati ia bantu. Bagi saya, dia bukan sekedar kakak kelas. Dia sekaligus guru saya. Dia mengajarkan bagaimana cara bersyukur maksimal, bersabar tiada henti, berterimakasih pada sesama, hidup sederhana, patuh pada para ustadz dan loyalitas yang tinggi. Bagi saya, Kang Udhe adalah kakak kelas saya yang paling ngalahan (mengalah) kepada adik-adik kelasnya. Dia tidak mau adik-adik kelasnya merasa terberatkan dan tersusahkan. Saya termasuk yang sangat merasakan itu. Di PUTM dulu, keberadaannya benar-benar saya rasakan. Keberadaannya betul-betul menebarkan manfaat bagi orang-orang di sampingnya.



Saya menyesal. Saya menyesal karena di hari wisudanya kemarin saya tidak bisa bergabung berbahagia bersamanya karena tak dapat hadir di momen berbahagia itu. Saya tidak bisa mengucapkan selamat langsung kepadanya pada salah satu hari paling bersejarah baginya itu. Tapi, meskipun tak dapat hadir, doa dan harapan baik untuknya senantiasa saya panjatkan sebagai doa seorang adik kelas pada kakak kelasnya. Semoga itu bukan wisuda terakhir yang akan ia lalui. Saya berharap saya masih bisa menghadiri wisuda-wisudanya yang lain.

Orang lain yang berbahagia pada pekan ini selain saya dan Kang Udhe adalah kakak kelas saya  yang lain yang tidak kalah baik hatinya. Dia adalah Syamsul Ma’arief. Hari ini, bertepatan dengan hari saya ujian pendadaran, Mas Syamz diwisuda di almamaternya, UGM. Saya bisa melihat rona kebahagian yang terpancar dari wajahnya tadi pagi. Dia juga adalah kakak kelas saya dulu di Pondok, sama dengan Kang Udhe. Di Pondok dulu saya tidak terlalu dekat dengannya, bahkan mungkin sampai tulisan ini dibuat. Itu bila dibandingkan kedekatan saya dengan Kang Udhe. Tapi lewat status-statusnya di Facebook yang begitu amat menghibur dan melalui beberapa kali interaksi dengannya, rasa-rasanya saya semakin dekat dengannya. Dan melalui tulisan ini, semoga bisa lebih mendekatkan saya dengan Mas Syamz. Meskipun tidak terlalu dekat, izinkan saya sedikit bercerita tentangnya.

Mas Syamz ini adalah salah seorang kakak kelas saya yang meraih beasiswa dari Depag. Untuk ukuran teman-temannya, kelulusannya sekarang mungkin bisa dikatakan agak telat. Mengingat banyak teman-temannya yang sudah lulus dan diwisuda terlebih dahulu. Saya berkesimpulan seperti itu juga karena membaca status-status Facebook-nya yang sering mengungkapkan segala hal tentang kegalauan seorang mahasiswa yang tak kunjung lulus. Uniknya, statusnya tidak ditulis dengan nada galau, marah apalagi menghina, tapi status-statusnya ditulis dengan sangat ringan, renyah dan menghibur. Itu yang membuat saya jatuh cinta dengan status-status Facebook Mas Syamz. Saya adalah pembaca setia status Facebook-nya. Tak jarang ketika saya membaca statusnya, saya tertawa sendiri seperti orang gila. Membaca status-statusnya sama seperti menyuntikkan energi positif ke dalam diri saya. Bahkan sering kali dari status-statusnya itu banyak motivasi dan inspirasi yang saya dapat. Ini yang saya salut dengan Mas Syamz. Kegalauannya mengerjakan skripsi tidak menutup dirinya untuk terus menghibur, memotivasi dan menginspirasi orang lain. Kegalauannya tidak menghalanginya untuk terus menebar manfaat. Di acara wisudanya tadi, saya sempat katakan padanya agar status-status Facebook-nya itu dibukukan dan diterbitkan. Jika benar, saya akan sangat berbahagia dan berharap menjadi orang pertama yang mendapat karya monumentalnya itu.

Kesuksesan seseorang memang tidak bisa diukur dengan seberapa cepat dia lulus dan diwisuda. Nyatanya, banyak sekarang orang-orang yang sudah wisuda tapi bingung mau melakukan apa. Bersyukurlah orang-orang yang mungkin lulusnya telat tapi tetap masih dapat menebar manfaat.
Ada satu kesamaan antara dua kakak kelas saya ini. Mereka sama-sama mampu menebar manfaat bagi yang lain dengan cara mereka masing-masing. Hidup memang tentang manfaat. Bernilai atau tidaknya seseorang dilihat dari seberapa ia mampu memberi manfaat bagi yang lain. Orang yang masih hidup tapi tidak memberi manfaat bagi yang lain, bahkan dikatakan seperti orang yang mati. Wujuduhu ka’adamihi, kata pepatah Arab. Keberadaannya sama seperti ketidakberadaannya. Ada atau tidaknya dia sama saja; tak berpengaruh apa-apa. Dua kakak kelas saya ini, bagi saya, termasuk orang yang kaya manfaat. Keberadaannya memberikan manfaat bagi orang lain di sekitarnya. Saya sebagai adik kelas mereka mendoakan, semoga kakak-kakak kelas saya itu akan terus sukses, maju dan bermanfaat bagi umat. Sekali lagi, untuk mereka berdua: Selamat wisuda, Kang! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar