Rabu, 14 November 2012

Tahun Baru Hijriyah dan Semangat Tajdid


Tahun Baru Hijriyah dan Semangat Tajdid

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Setiap kali kita memasuki tahun baru hijriyah, maka setiap itu pula kita diingatkan kembali dengan sebuah memori tentang peristiwa hijrah Rasulullah saw dari kota Mekah menuju kota Islam pertama, Madinah. Dalam sejarahnya, orang pertama yang menetapkan peristiwa hijrah Nabi ini sebagai awal hari dari penaggalan Islam ialah khalifah Umar bin Khattab. Khalifah yang terkenal dengan keberaniannya ini, menetapkan peristiwa hijrah Nabi sebagai awal hari penanggalan Islam bermula dari beberapa usulan para sahabat yang lain. Ada empat usulan yang diberikan untuk dipertimbangkan menjadi awal mula penanggalan Islam. Pertama, hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Kedua, hari diutusnya Nabi Muhammad menjadi Rasul. Ketiga, hari di mana Rasulullah beserta kaum muslimin hijrah dari kota Mekah menuju Madinah. Dan keempat, hari wafatnya Rasulullah saw. Setelah dimusyawarahkan bersama, dengan mempertimbangkan berbagai macam hal, akhirnya khalifah Umar bin Khattab memilih peristiwa hijrah Rasulullah ini menjadi awal hari dari penanggalan Islam, atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama tahun hijriyah (‘Ali Muhammad al-Shalâbi, Amîrul Mu’minîn Umar ibn al-Khattâb, hal. 150 dan Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Fath al-Bârî, vol. 7, hal. 268).

Dari latar belakang penetapan penanggalan hiriyah yang didasarkan pada peristiwa hijrah Nabi, sesungguhnya ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Selain peristiwa hijrah itu mengandung makna hijrah secara fisik (badaniyyah), mengadung pula pengertian hijrah hati (qalbiyyah). Oleh karena itu, Sebagai seorang muslim hendaknya kita dalam menyambut tahun baru Islam ini tidak dengan melakukan serangkaian perayaan yang sifatnya sia-sia apalagi sampai melakukan hal-hal yang dapat menjauhkan diri dari Allah swt.

Sebagai alternatif, salah satu cara paling efektif dalam rangka menyambut tahun baru hijriyah ialah dengan ber-muhasabah (introspeksi diri). Sudahkah kita berhijrah dari kebatilan menuju yang hak? sudahkah kita benar-benar melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar? Sudah sejauh mana diri kita mempersiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak?

Lebih dari itu, bila dicermati mendalam sebenarnya ada satu pelajaran yang tidak kalah penting, yang bisa kita ambil dari kebijakan Umar bin Khattab dalam menetapkan penanggalan Islam dan beberapa ijtihadnya yang lain. Pelajaran tersebut adalah pelajaran tentang pentingnya semangat tajdid (pembaruan) dimiliki oleh setiap muslim.

Tajdîd al-Niyyât wa al-Qulûb (Pembaruan niat dan hati)

Dalam rangka tahun baru hijriyah, pembaruan dalam masalah niat adalah yang terpenting. Niat, seperti yang diungkapkan para ulama fikih adalah suatu hal yang sangat urgent dalam segala macam aktifitas ibadah (lihat misalnnya Sayyid al-Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, vol. 1, hal. 42 dan 72). Tidak hanya dalam masalah ibadah, dalam segala aktifitas manusia selama ia hidup, niat merupakan satu hal yang menentukan tujuan dari aktifitas yang akan ia lakukan.  Ini dikarenakan dalam satu kesempatan Rasulullah saw pernah bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang itu tergantung pada apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (ia akan mendapatkan pahala) hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Namun barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ia kejar atau wanita yang hendak ia nikahi, maka ia hanya akan mendapatkan sesuai niat hijrahnya”.

Hadis tentang niat yang begitu masyhur ini diriwayatkan oleh banyak sekali mukharrij (penghimpun hadis) dalam berbagai karya mereka. Antara lain oleh Bukhari dalam Shahîh-nya (vol. 8, no. 6689 dan vol. 9, no. 6953), Muslim dalam Shahîh-nya (vol. 3, no. 1907), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ (vol. 1, no. 184) dan Syu’ab al-Îmân (vol. 5, no. 6837), al-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 1, no. 40 dan vol. 7 no. 7050), Abû Dâwûd dalam Sunan-nya (vol. 2, no. 2203), Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (vol. 22, no. 4227), al-Nasai dalam Sunan-nya (vol. 1, no. 75, vol. 6, no. 3437 dan vol. 7, no. 3794), Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya (vol. 1, no. 142), Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 1, no. 168) dan Abû ‘Awwânah dalam Musnad-nya (vol. 4, no. 7438).

Asbâb al-wurûd (sebab datangnya) hadis ini memang terkait dengan peristiwa hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah bersama kaum muslimin dari kota Mekah menuju Madinah. Hal ini sangat terlihat dari matan (teks) hadis yang menyebutkan kata hijrah yang dihubungkan dengan niat seseorang tersebut. Di samping itu, Jalâluddîn al-Suyûthi dalam kitab-nya al-Luma’ fî Asbâbi Wurûd al-Hadîts juga menjelaskan perihal hadis ini. Diceritakan bahwa tatkala Nabi tiba di kota Madinah, para sahabat dilanda wabah demam. Kemudian ada salah satu sahabat yang berinisiatif menikahi seorang wanita yang ada di kota tersebut. Tak lama kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar dan mensabdakan sebuah hadis terkait pentingnya niat seperti yang terdapat dalam riwayat di atas (Jalâluddîn al-Suyûthi, Al-Luma’ fî Asbâbi Wurûd al-Hadîts, hal. 30-31).

Kemudian apa kaitan antara tajdîd al-niyyât dengan tajdîd al-qulûb? Kaitannya ialah karena selain niat letaknya ada di dalam hati, juga karena hati adalah salah satu bagian dalam diri yang keberadaanya sangat menentukan baik tidaknya tingkah dan laku kita. Al-Nu’mân bin Basyîr meriwayatkan bahwasanya,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Artinya: “Aku (Al-Nu’mân bin Basyîr) mendengar Rasulullah saw bersabda: Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihât (syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihât, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan barangsiapa yang terjerumus dalam hal syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati”. 

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahîh-nya (vol. 1, no. 52), Muslim dalam Shahîh-nya (vol. 3, no. 1599), al-Baihaqi dalam dua karyanya; al-Sunan al-Kubrâ (vol. 5, no. 10703) dan Syu’abu al-Îmân (vol. 7, no. 5356), Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (vol. 2, no. 3984), al-Dârimi dalam Sunan-nya (vol, 2, no. 2531), Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 30, no. 18374), serta beberapa mukharrij (penghimpun hadis) lain.

Dalam pembahasan kali ini yang perlu digaris bawahi dari hadis di atas ialah bagian ujungnya, yang menjelaskan tentang sekerat daging (hati) yang keberadaanya sangat berpengaruh bagi seluruh anggota tubuh. Ibnu Hajar al-‘Asqalâni menjelaskan mengapa dinamakan hati (al-Qalb), karena sifat dari hati itu sendiri ialah berbolak-balik (al-Taqallub) (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, vol. 1, hal. 128). Berbolak balik di sini memiliki arti tidak tentu dan tidak tetap, kadang benar dan kadang salah. Oleh karenanya selalu mengadakan pembaruan hati dengan cara memurnikan niat dan membersihkan hati dari hal-hal buruk yang dapat mengotorinya adalah termasuk dalam suatu rangkaian kegiatan yang dapat menjaga diri kita agar tetap istiqamah dan tunduk dalam ketaatan kepada-Nya.

Tajdîd al-Aqwâl wa al-Af’âl (pembaruan ucapan dan perbuatan)

Pembaruan dalam hal ucapan dan perbuatan (Tajdid al-Aqwâl wa al-Af’âl) bisa dimanifestasikan dalam beberapa wujud yang berbeda-beda. Segala macam bentuk perbaikan dalam hal ucapan dan tingkah laku juga dapat dikatakan sebagai wujud tajdid. Tidak jauh berbeda dari itu, setiap upaya yang diaplikasikan demi terwujudnya sesuatu yang positif termasuk juga dalam tajdid. Ada satu sabda Rasulullah yang bila dihubungkan dengan ini, akan membentuk satu pertalian yang menyimpulkan pada suatu kesimpulan tentang pentingnya tajdid al-aqwâl wa al-af’âl,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقْ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Artinya: “Dari Abû Dzar, bahwasanya Nabi saw bersabda kepadanya: bertakwalah kamu di mana pun kamu berada. Dan ikutkanlah keburukan dengan kebaikan, niscaya itu (kebaikan) akan menghapuskannya (keburukan). Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.

Hadis yang dibawa sahabat Abû Dzar di atas terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmidzi (vol. 4, no. 1987) karya Imam al-Tirmidzi, Sunan al-Dârimi (vol. 2, no. 2791) karya Imam al-Dârimi, Syu’abu al-Îmân (vol. 10, no. 7663) karya Imam al-Baihaqi dan Musnad Ahmad (vol. 35, no. 21354) karya Imam Ahmad. Selain oleh Abû Dzar, hadis yang senada juga dibawa oleh sahabat Mu’âdz bin Jabal, yang diriwayatkan antara lain oleh Imam al-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr (vol. 20, no. 296, 297 dan 298), Imam al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Îmân (vol. 10, no. 7660 dan 7662) dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 36, no. 22059).

Sanad-Sanad hadis tersebut oleh beberapa muhaqqiq (peneliti) kitab-kitab di atas dinyatakan hasan. Demikian pula penilaian Nâshiruddîn al-Albâni terhadap hadis ini sebagaimana terdapat dalam kitabnya, al-Jâmi’ al-Shahîh wa Ziyâdatuhu. Meskipun hanya hasan dan tidak sampai pada derajat shahih, hadis ini dapat diamalkan dan dijadikan hujah, karena sebagaimana mayoritas ulama hadis mengatakan bahwa hadis hasan adalah termasuk hadis yang makbul (dapat diterima sebagai hujah) (Nûruddîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûmi al-Hadîts, hal. 241).

Dalam matan hadis di atas terdapat kata “mengikutkan keburukan dengan kebaikan”. Menurut al-Mubârakfûrî, seorang ulama pen-syarh kitab Sunan al-Tirmidzi, menjelaskan bahwa kebaikan di situ mencakup amalan-amalan ibadah seperti salat, sadaqah, istighfar (mohon ampun kepada Allah) dan lain sebagainya atau dengan kata lain mencakup perkataan dan perbuatan yang bernilai ibadah (al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Sunan al-Tirmdizi, vol. 6). Artinya, seseorang yang telah berbuat dosa diperintahkan untuk mengerjakan hal-hal yang baik sebagai bentuk tajdid untuk membersihkan dirinya dari ucapan dan perbuatan dosa yang ia lakukan. Meskipun begitu, hadis ini tidak dapat dimaknai serampangan dengan memahaminya bahwa selagi bisa dihilangkan dengan perbuatan baik, maka tidak perlu takut untuk berbuat dosa. Atau dengan istilah popular yang sering digunakan sebagai anekdot di tengah masyarakat, STMJ (salat terus maksiat jalan).

Menurut Syaikh al-‘Utsaimîn, kebaikan akan menghapuskan keburukan sebagaimana firman Allah dalam surat Hud ayat 114. Beliau menambahkan bahwa kebaikan yang paling utama, yang dapat menghapuskan dosa ialah dengan bertaubat kepada Allah (Muhammad al-‘Utsaimîn, Syarh Riyâdh al-Shâlihîn, hal. 69). Sehingga dengan demikian, istilah STMJ (salat terus maksiat jalan) yang sering dijadikan anekdot ini tidak dapat dibenarkan, karena salah satu syarat dosa akan diampuni ialah dengan bertaubat dan menyesalinya.

Tajdîd al-Afkâr (pembaruan pemikiran)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَلَ إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia dari Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini seorang mujaddid setiap seratus tahun sekali yang memperbarui agamanya”.

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 6, no. 6527) dan Abû Dâwûd dalam Sunan-nya (vol. 4, no. 4293). Sanad hadis ini shahih, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Albâni dalam Misykâh al-Mashâbîh (vol. 1, no. 247) dan al-Silsilah al-Shahîhah (vol. 2, no. 599).
Âbâdî Abî Thayyib dalam ‘Aun al-Ma’bûd-nya ketika men-syarh (menjelaskan) hadis ini mengatakan bahwa Allah akan mengutus seseorang atau lebih untuk menjadi mujadid (pembaru) bagi agamanya setiap seratus tahun. Lebih lanjut, mujadid ini akan  bertugas menjelaskan sunnah kepada para pelaku bid’ah yang ada di dalam Islam (Âbâdî Abî Thayyib, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, vol. 11).

Sepanjang perjalanan sejarah, seorang yang benar-benar mujadid (pembaru) selain mencerahkan umat, ia juga identik dengan sumbangan pemikiran baru yang ia tawarkan. Tentunya, tajdid dalam hal pemikiran ini bukan berarti membebaskan akal untuk sebebas-bebasnya. Namun, tetap berpegang pada pondasi pokok ajaran Islam.

Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi, keduanya disebut-sebut sebagai mujadid karena ide pemikiran purifikasinya terhadap ajaran Islam ketika di tengah umat mereka banyak sekali penyelewengan akidah. Muhammad Abduh juga Muhammad Rasyid Ridha mendapat julukan mujadid berkat keintelektualitasan mereka dalam rangka memodernisasikan masyarakat Islam yang saat itu benar-benar terpuruk dalam keterbelakangan dan pada saat yang sama tetap konsisten menjaga kemurnian ajaran Islam. Ahmad Dahlan selain dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah dengan gerakan purifikasinya itu, juga dikenal sebagai mujadid berkat pemikiran yang begitu cemerlang dalam bidang astronomi (baca: hisab) yang ia terapkan sebagai sebuah sarana pendukung dalam kesempurnaan ibadah.

Jauh sebelum mereka semua, sesungguhnya khalifah Umar bin Khattab, dengan berbagai macam ijtihad dan kebijakannya termasuk dalam menetapkan peristiwa hijrah Nabi sebagai penanggalan Islam, patut disebut sebagai mujadid brilian yang ada pada era sahabat. Pemikirannya yang begitu cemerlang terkait penetapan penanggalan Islam menjadikan dirinya dicatat dalam sejarah sebagai pendiri tonggak pertama dan utama sistem kelender Islam.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, tugas kita sebagai generasi penerus ialah melanjutkan tajdid Umar tersebut dengan mencanangkan kalender Islam pemersatu (Kalender Islam Internasional) sebagai solusi dari berbagai macam permasalahan yang muncul di tengah-tengah umat. Oleh karenanya, dalam rangka tahun baru hijriyah ini, marilah kita bersama-sama memikirkan bagaimana terwujudnya kalender Islam pemersatu yang amat dirindu-rindukan tersebut.

Kesimpulan

Dalam moment tahun baru hijriyah ini ada beberapa tajdid yang perlu umat Islam lakukan sebagai langkah kongkrit kita untuk lebih maju dan lebih baik. Ketiga tajdid di atas akan lebih optimal manakala setiap muslim mau bersama-sama merenunginya, dan yang terpenting adalah mau merealisasikannya. Hal ini bukan memberi pengertian bahwa tajdid hanya dilakukan ketika moment-moment tertentu, seperti pada moment tahun baru hijriyah ini. Karena sesungguhnya perintah untuk selalu memperbarui diri menuju sesuatu yang lebih baik tidak hanya pada kondisi, waktu dan tempat tertentu saja.
Hal lain yang perlu umat islam lakukan sekarang ialah ber-muhasabah (introspeksi) dengan cara menghitung-hitung apa yang telah kita lakukan dan persiapkan untuk hari esok (akhirat), sebagaimana yang telah Allah perintahkan dalam surat al-hasyr ayat 18. Sehingga jangan sampai nantinya kita menyesal karena kelalaian kita terhadap diri kita sendiri. Wallohu A’lam bi al-Shawâb.

*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah  Yogyakarta

Hadis Ahad Sebagai Hujah Akidah (Suatu Tinjauan atas Perspektif Muhammadiyah terhadap Hadis Ahad dalam Masalah Akidah)

Hadis Ahad Sebagai Hujah Akidah  (Suatu Tinjauan atas Perspektif Muhammadiyah terhadap Hadis Ahad dalam Masalah Akidah)

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi

Telah menjadi kesepakatan bulat (ijmak) umat Muhammad bahwa hadis adalah salah satu dari dua sumber utama hukum Islam. Oleh karenanya, hadis sebagai demikian, menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari seluruh macam aspek keagamaan, di mana ia membutuhkan dalil hujah sebagai alat legitimasi. Dari segi kualitas atau diterima-tolaknya, hadis dibagi menjadi makbul (diterima) dan mardud (ditolak) (Nuruddin ‘Itr, 1981: 241). Keduanya di-break down menjadi beberapa cabang yang cukup banyak. Sementara bila dilihat dari kuantitas jalur pewarta (rawi) atau cara sampainya kepada kita, hadis terbagi menjadi mutawatir, masyhur dan ahad (‘Ajjaj al-Khatib, 1989: 301-3), serta ada sebagian yang menganggap hanya dibagi menjadi mutawatir dan ahad (Mahmud Al-Thahan, 19-21).

Dalam kaitan hadis sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadis mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadis mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah pewarta yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadis ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa pewarta yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa pewarta. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadis ahad yang sifatnya zhan tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah. Termasuk dalam kelompok ini adalah Muhammadiyah yang dengan tegas menyatakan bahwa dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah, hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13 dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).

Sikap Muhammadiyah yang tidak menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah akidah ini banyak dikritik oleh beberapa kalangan, baik dari intern maupun dari ekstern Muhammadiyah. Hal tersebut tidak lain karena akan berimplikasi terhadap hadis-hadis ahad yang ‘berbicara’ tentang akidah, namun statusnya dapat diterima (makbul). Menurut sebagaian mereka (para pengkritik), suatu ironi tersendiri ketika Muhammadiyah yang memiliki jargon “al-ruju’ ila al-qur’an wa al-sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah), malahan tidak mau menerima hadis makbul sebagai hujah agama, meskipun dalam hal akidah. Di satu sisi, konsistensi Muhammadiyah dalam mengaplikasikan prinsipnya tersebut juga banyak dipertanyakan. Artinya, ada sebagian pengkritik yang mensinyalir bahwa dalam hadis-hadis yang dijadikan hujah Muhammadiyah dalam masalah akidah tidak semuanya mutawatir.

Pada intinya, dari semua kritik yang pernah penulis dengar dan jumpai, ada yang sifatnya konstruktif ada pula yang hanya sekedar menyalah-nyalahkan tanpa memberi solusi sama sekali. Melalui tulisan ini, penulis sebagai kader muda Muhammadiyah mencoba memberikan ‘semacam’ sumbangsi ide dan gagasan - jikalau pantas dan layak dikatakan demikian - bagi organisasi yang telah turut berperan dalam membentuk kepribadian penulis.

Hadis Ahad dalam Perspektif Muhammadiyah

Muhammadiyah dalam anggaran dasarnya, seperti yang dikutip Syamsul Anwar, adalah suatu organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan (1869-1923) di Jogjakarta pada permulaan abad ke-20, persisnya tahun 1912 (1330 H). Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar, dan tajdid yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumbernya (Syamsul Anwar, 2007: 313). Tidak mengherankan dengan identitas seperti itu acap kali ketika nama Muhammadiyah disebut, orang langsung mengidentikannya dengan gerakan tajdid yang memiliki jargon begitu masyhur, “al-ruju’ ilaa al-qur’an wa al-sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah). Dengan jargon ini pula, Muhammadiyah berusaha tidak berafiliasi dengan satu madzhab tertentu. Namun, pada saat yang sama Muhammadiyah tidak antipati dan tetap mengakomodir pendapat-pendapat madzhab sebagai pertimbangan.

Sebagai gerakan dakwah yang menangani pula pelbagai permasalahan yang muncul di tengah kehidupan sosial, Muhammadiyah memiliki suatu lembaga (Majelis) khusus yang memang bertugas menjawab dinamika-dinamika kemasyarakatan, baik yang berkaitan dengan keagamaan maupun muamalah. Lembaga ini sekarang bernama Majelis Tarjih dan Tajdid atau sering disebut masyarakat “Majelis Tarjih” saja, tanpa kata “tajdid” setelahnya. Majelis yang beberapa kali berubah nama ini dalam upayanya menjawab permasalahan-permasalahan yang memerlukan istinbath hukum, memiliki manhaj (metodologi) tersediri yang dianut. Manhaj Tarjih dalam satu sisi mengandung pengertian sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an dan al-Sunah al-Makbulah (Syamsul Anwar: 3-4). Di samping itu, Majelis Tarjih juga memiliki pokok-pokok manhaj yang menjadi dasar acuan dalam memandu aktifitas beristidlal. Salah satu dari pokok manhaj, yang juga menjadi pembahasan dalam tulisan ini adalah pokok manhaj nomor 5 (lima). Dalam pokok tersebut tertulis, “Di dalam masalah akidah (tawhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir” (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13). Pokok manhaj Tarjih ini, dikuatkan dengan pernyataan yang terdapat dalam himpunan putusan Tarjih, “Inilah pokok-pokok ‘akidah yang benar yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits dan dikuatkan oleh pemberitaan-pemeberitaan yang mutawatir” (Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).

Dari sini dapat ditarik benang merah tentang bagaimana sikap Muhammadiyah, dalam hal ini Majelis Tarjih, ketika memandang hadis ahad sebagai dalil istinbath. Paling tidak ada dua kesimpulan yang dapat penulis ambil. Pertama, selama hadis ahad tersebut makbul (dapat diterima), maka selama itu pula Majelis Tarjih meyakini bahwa hadis tersebut dapat dijadikan dalil. Kedua, pengeculian dilakukan Majelis Tarjih dalam masalah akidah. Menurut Majelis Tarjih, hadis ahad walaupun ia makbul (dapat diterima) tetap tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah akidah. Karena dalam masalah ini hanya berita yang mutawatir sajalah yang dapat dijadikan hujah.

Hadis Mutawatir, Ahad dan Implikasinya (Faedahnya)

Hadis mutawatir adalah hadis yang diwartakan oleh sejumlah rawi dengan kuantitas banyak, dari setiap generasi ke generasi, di mana mereka secara kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, serta pewartaan yang mereka lakukan ialah dengan disandarkan pada sesuatu yang dapat diindera (Nuruddin ‘Itr, 1981: 404, ‘Ajjaj al-Khatib, 1989: 301, al-Suyuthi, 2008: 390 dan Mahmud Al-Thahan, 19). Definisi ini diamini oleh semua ahli hadis, baik klasik maupun kontemporer. Sehingga mereka membuat syarat sebagai patokan kapan dan bagaimana sebuah hadis dapat dikatakan mutawatir, yang jumlahnya ada 4 (empat) poin. Pertama, diriwayatkan oleh banyak perawi. Kedua, perawi yang banyak ini ada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad atau dengan kata lain dari awal hingga akhir sanad. Ketiga, secara kebiasaan mereka tidak mungkin sepakat berdusta. Keempat,  sandaran hadis mereka dengan menggunakan indera, seperti: kami melihat (raayna), kami mendegar (sami’na) dan lain sebagainya (Mahmud Al-Thahan, 19-20).

Mengenai poin pertama tentang kuantitas perawi terjadi perdebatan. Sejumlah ahli mematok jumlah tertentu mengenai batas minimal perawi dikatakan banyak. Al-Qadhi al-Baqilani, seperti dikutip al-Suyuthi, mengatakan jumlah minimalnya adalah lima rawi. Ada pula yang bependapat sepuluh, dua belas, dua puluh, empat puluh, jumlah pasukan thalut dan tentara badar dan masih banyak lagi batasan minimal yang mereka patok. Namun, menurut al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi-nya, jumlah minimal yang dipilih adalah sepuluh rawi (al-Suyuthi, 2088: 391).

Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir memberikan suatu pengetahuan/ilmu (yufidu ‘ilm) yang sifatnya qath’i serta wajib diyakini (‘Ajjaj al-Khatib, 1981: 301, Nuruddin ‘Itr, 1981: 404). Atau bila penulis boleh katakan, hadis mutawatir harus diterima apa adanya (taken for granted) seperti kita menerima al-Qur’an. Dalam artian, tidak perlu lagi kita melakukan penelitian tentang kualitas dan keotentikannya.

Hadis mutawatir ada dua macam; mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi (Nuruddin ‘Itr, 1981: 405). Bila dibandingkan dengan jumlah hadis ahad, hadis mutawatir jumlahnya sangat sedikit. Konsekuensinya, tidak semua permasalahan yang muncul ditengah umat dapat ter-cover oleh hadis mutawatir an sich. Oleh karenanya, berdalil dengan hadis ahad yang makbul adalah suatu tuntutan dan kebutuhan yang dharuri dalam rangka untuk memecahkan pelbagai permasalahan di tengah umat.

Adapun hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir (‘Ajjaj al-Khatib, 1981: 302 dan Mahmud Al-Thahan, 21). Hadis ahad bila dilihat dari segi kuantitas jalur pewarta, seperti dikemukakan oleh para ahli hadis, terbagi menjadi hadis masyhur, ‘aziz dan gharib (Mahmud Al-Thahan, 21). Dilihat dari segi ini, hadis ahad tidak membahas masalah kualitas dan keontetikan. Sehingga dari ketiga varian hadis ahad tersebut sangat dimungkinkan terdapat hadis-hadis yang berstatus makbul (diterima) dan mardud (ditolak), tergantung pada pewarta-pewartanya bersambung dan kredibel serta memiliki kapasitas atau tidak.

Bila hadis mutawatir telah disepakati dapat memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya qath’i, maka hadis ahad masih diperdebatkan apakah ia memberikan suatu pengetahuan yang qath’i atau zhanni. Paling tidak ada tiga pendapat dalam hal ini.
  1. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa hadis (ahad) yang ‘adl (kredibel) dapat memberikan suatu pengetahuan (‘ilm) yang qath’i.
Kelompok ini terlihat mengidentikan hadis ahad di sini dengan hadis yang shahih, sehingga mereka pun mematok dua syarat ketika suatu hadis dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i. Yaitu ketika hadis tersebut memenuhi syarat-syarat hadis shahih dan telah diterima oleh umat sebagai suatu aksioma, seperti misalnya hadis tentang sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk syurga. Menurut mereka, hadis ini telah diterima umat sebagai kebenaran yang sifatnya pasti dan tidak perlu diragukan lagi. (al-Jibrin, 1987: 57) .

Pendapat pertama ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Dawud al-Zhahiri (Hasan Shabari: 8), mayoritas ahli hadis dan fikih dari kalangan empat madzhab besar Islam dan beberapa ulama yang lain, seperti al-Qadhi dan Syaikh Taqiyudin. Berkaitan dengan hal ini, al-Qadhi mengatakan, “Hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i ketika sanadnya shahih, tidak menyelisihi riwayat yang lain serta telah diterima oleh umat sebagai suatu berita yang makbul”. (al-Jibrin, 1987: 60). Di era kontemporer, pendapat ini diamini oleh kalangan ahli hadis, semisal Muhammad Syakir dan Nashiruddin al-Albani (al-Qaradhawi, 2002: 92, al-Albani: 10).

Di samping itu, abdurrahaman al-Jibrin, seorang pakar hadis kontemporer juga mengumpulkan 19 argumen yang di ajukan oleh kelompok yang berpendapat hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i.

2. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i dengan syarat ada qarinah yang menyertainya.
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama hadis, ushul fikih dan ahli kalam, diantaranya imam al-Amidi, al-Baqilani, Ibnu al-Hajib dan lain sebagainya, termasuk yang terkenal adalah Ibnu Shalah (al-Jibrin, 1987: 77, al-Qaradhawi, 2002: 92). Qarinah yang mereka maksud ada dua macam; muttashilah (bersambung) dan munfashilah (terpisah). Qarinah muttashilah maksudnya ialah qarinah yang masih berkaitan dengan hadis itu sendiri, seperti keadaan para pewartanya, isi hadis dan juga kita sebagai penerima hadis. Mereka mensyaratkan hadis yang dapat memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya qath’i adalah hadis yang diwartakan oleh para pewarta yang kredibel dan memiliki kapasitas serta isi hadisnya pun harus bisa dipastikan bahwa itu datang dari Rasulullah (al-Jibrin, 1987: 77-8).

Adapun qarinah munfashilah di sini adalah qarinah yang sama sekali tidak berkaitan dengan hadis yang menjadi objek kajian dalam masalah ini. Mereka yang mengajukan syarat qarinah ini (munfashilah) adalah para ahli kalam. Sehingga dalam beberapa kitab ilmu hadis yang penulis rujuk tidak memberikan informasi yang cukup signifikan mengenai hal ini. Namun, menurut penulis antara pendapat pertama yang mengatakan hadis (ahad) yang ‘adl dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i dengan pendapat kedua ini tidak ada perbedaan yang cukup menadasar dan substansial. Mereka sama-sama mensyaratkan hadis yang bersangkutan diwartakan oleh para pewarta yang kredibel dan memiliki kapasitas. Bedanya pendapat kedua di tambah qarinah munfashilah yang diajukan oleh para ahli kalam.

3. Ketiga, pendapat yang mengatakan hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhan (dugaan)
Ulama yang dengan terang menyatakan bahwa hadis ahad tidak memberikan suatu pengetahuan yang qath’i, namun hanya berfaedah zhan (dugaan) adalah imam al-Ghazali (al-Jibrin, 1987: 84) dalam karyanya, “al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul”. Lebih lanjut, dalam karyanya tersebut, ia mentakwil pendapat kelompok yang meyakini bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i. Dalam takwilan al-Ghazali, ada dua kemungkinan hadis ahad bisa dikatakan memberikan suatu pengetahuan yang qath’i; pertama, yang dimaksud demikian (hadis ahad berfaedah ‘ilm) adalah dengan wajib mengamalkannya; atau kedua, bisa jadi yang dimaksud ‘ilm (pengetahuan yang qath’i) di situ adalah zhan (dugaan), karena biasanya zhan (dugaan) dapat berarti pula ‘ilm (pengetahuan yang qath’i) (al-Ghazali, t.t: 179-180).

Abdurrahman al-Jibrin dalam kitabnya, “Akhbar al-Ahad fi al-Hadits al-Nabawi”, mengkritisi dan juga menyayangkan sikap Imam al-Ghazali dan para ulama yang berpendapat bahwa hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang zhan. Menurutnya, mereka sampai pada kesimpulan seperti ini karena kesibukan mereka yang hanya berkutat pada pembahasan yang berkaitan dengan ilmu kalam belaka. Ia juga menyayangkan sikap para ahli hadis, seperti imam al-Nawawi dan Ibnu al-Atsir yang menukil pendapat imam al-Ghazali ketika mentakwil pendapat kelompok yang meyakini bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu pengetahuan yang qath’i tersebut.

Kontroversi Hadis Ahad sebagai Dalil dalam Akidah

Kontroversi tentang apakah hadis ahad dapat dijadikan hujah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadis ahad itu berfaedah qath’i atau zhanni. Perdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadis ahad sebagai hujah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadis ahad dapat dijadikan hujah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadis ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhanni akan menolak kehujahan hadis ahad dalam masalah akidah. Belum lagi ketika ditambah persoalan pendefinisian akidah yang belum juga sampai pada mufakat. Ada sebagian yang menganggap bahwa akidah adalah hal-hal yang hanya terkait dengan keyakinan saja. Namun, ada juga yang menyatakan bahwa akidah tidak hanya sebatas itu, karena akidah dituntut pula tindakan praksis sebagai bentuk aplikasi dari apa yang diyakini seseorang. Semua faktor inilah yang menyebabkan perbedaan di kalangan para ulama. Pada prinsipnya, mereka semua mengemukakan pendapat masing-masing dengan disertai argumen dan penjelasan.

Perlu diketahui bersama, upaya moderasi untuk mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda itu, coba dilakukan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Walaupun mungkin tidak secara eksplisit, namun menurut penulis apa yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi ketika mengklasifikasikan akidah dalam bukunya “al-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wa al-Hadharah” bisa diaggap sebagai upaya pengkompromian. Dalam bukunya itu, ulama yang memang terkenal dengan kemoderatannya ini, mengklasifikasikan akidah menjadi dua; akidah asasi (al-‘aqidah al-asasi) dan akidah furu’i (al-‘aqidah al-furu’i). Dimaksud yang pertama adalah pokok-pokok akidah dan rukun-rukunnya, seperti keimanan kepada Allah, meyakini keesaan-Nya, mengakui nabi muhammad sebagai utusan-Nya, yakin akan adanya hari kebangkitan, dan lain sebagainya. Untuk akidah ini telah ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan memang ia telah cukup sebagai landasan dalil dalam masalah ini. Kalaupun ada hadis yang menjelaskan kembali, maka itu sifatnya sebagai penguat (ta’kid) dan perinci (tafshil).  (al-Qaradhawi, 2002: 94-9)
Adapun dimaksud yang kedua adalah akidah yang sifatnya furu’i, sehingga bisa (baca: cukup) ditetapkan dengan hadis yang shahih, seperti pertanyaan dua malaikat di alam kubur, siksa dan nikmat kubur, syafa’at bagi para pelaku dosa besar kelak di hari kiamat, dan lain sebagainya. Satu syarat yang dikemukakan pula bahwa macam akidah ini harus bisa dinalar akal (dilogikakan). (al-Qaradhawi, 2002: 95).

Apakah Muhammadiyah konsisten dengan prinsipnya?

Meskipun belum terlalu gamblang bagaimana Muhammadiyah sesungguhnya mendefinisikan akidah, namun dari apa yang dipaparkan di atas bisa diterka secara teoritis bagaimana akidah yang dipahami dalam ruang lingkup yang lebih simplistis. Maka, pertanyaan yang menjadi sub-judul ini patut diajukan kepada Muhammadiyah. Dalam produk tarjihnya, khususnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), bisa ditelusuri permasalahan yang sangat erat kaitannya dengan akidah. Karena akidah identik dengan keyakinan, tentunya memilih Kitab Iman sebagai fokus pembahasan adalah pilihan yang sangat tepat dan relevan. Penulis dalam hal ini tidak akan meneliti satu persatu hadis yang ada dalam kitab iman, selain akan memakan waktu yang cukup lama, penelitian yang dilakukan oleh DR. Kasman tampaknya telah bisa menjadi tolok ukur untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah Muhammadiyah konsisten dengan prinsipnya?

DR. Kasman adalah seorang pengajar ilmu hadis pada beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur, tepatnya di kota Jember dan sekitarnya. Selain pengajar, beliau adalah seorang mantan ketua Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember dan sekarang diamanahi sebagai ketua umum pada Pimpinan Daerah yang sama. Dalam buku “Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah” yang berasal dari disertasinya, beliau telah meneiliti hadis-hadis yang dijadikan rujukan dalam HPT. Berdasarkan penelitiannya, ada 6 dari 11 hadis yang dijadikan dalil dalam Kitab Iman berstatus ahad, dan oleh karenanya tidak bisa dikatakan mutawatir. Belum lagi, ada dua hadis dha’if yang ditemukan dalam persoalan ibadah - berdasarkan penelitiannya - dengan mengacu kepada kaidah-kaidah kehadisan yang dibuat oleh Muhammadiyah (Kasman, 2012: 399-400). Dari penelitian tersebut, terlihat sikap Muhammadiyah yang kurang konsisten dalam menerapkan prinsipnya sendiri, yaitu hanya berhujah dengan hadis mutawatir dalam masalah akidah. Kekurang konsistenan ini menurut penulis bisa disebabkan beberapa faktor, baik yang sifatnya sarana penunjang, seperti keterbatasan kitab yang dirujuk pada saat perumusan HPT, maupun yang sifatnya teoritis, seperti belum jelasnya apa yag dimaksud akidah menurut perspektif Muhammadiyah.

Catatan Penutup dan Saran

Dari pemaparan di atas, menurut hemat penulis, Muhammadiyah perlu kiranya mengkaji ulang apa yang telah ditetapkan sebagai prinsip berhujah, kaitannya dengan hadis ahad dalam masalah akidah. Memang boleh jadi sikap Muhammadiyah yang hanya menerima hadis mutawatir dalam masalah akidah ialah demi menjaga kesucian dan kemurnian akidah dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya. Namun  selain implikasinya Muhammadiyah akan dilabeli tidak konsisten, juga dengan sikapnya itu Muhammadiyah akan berhadapan dengan problem yang hubungannya dengan otoritas sunah sebagai sumber primer kedua setelah al-Qur’an. Akan banyak hadis-hadis makbul (baca: shahih) yang berbicara tentang akidah tidak diterima (baca: ditolak) oleh Muhammadiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

(Tulisan ini terinspirasi dan khusus saya dedikasikan untuk al-mukarram al-ustadz Teuku Ismail Thaib, yang beberapa hari lalu genap berumur 80 tahun)

Sumber Acuan

Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Books, 2007.

                           , Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan Hukum Dalam Tarjih Muhammadiyah. (Makalah disamapaikan pada Acara Pelatihan Kader Tarjih

Nasional, 20-01-2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang).

 ‘Itr, Nûruddîn Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981.

Al-Khatîb, ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989.

Al-Thahân, Mahmûd, Taysîr Musthalah al-Hadîts, Ttp.: Dâr al-Fikr, t.t.

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cet. Ke-3, Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009.

Sayûthî, Jalâluddîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî, edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1429/2008.

Jibrîn, ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân al-, Akhbâr al-Âhâd fî al-Hadîts al-Nabawî: Hujjiyatuhâ, Mafâduhâ, al-‘Amalu bi Mûjibihâ, ttp.: t.p., t.t.

Shabarî, ‘Âmir Hasan, Hujjiyah Khabar al-Âhâd fî al-‘Aqâ’id wa al-Ahkam, ttp.: t.p., t.t.

Qaradhâwî, Yûsuf al-, Al-Sunnah Mashdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1423/2002.

Albânî, Muhammad Nâshiruddîn al-, Al-Hadits Hujjiyah bi Nafsih fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkam, ttp.: t.p., t.t.

Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Ahmad al-, Al-Mushtashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, edisi Hamzah ibn Zuhair Hâfizh, ttp., t.t.

Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012.

Jumat, 12 Oktober 2012

Idul Adlha dan Semangat Berkemanusian

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi *

Dalam beberapa waktu yang tidak lama lagi, kita umat Islam akan merayakan hari raya Idul Adlha yang di dalamnya disyari’atkan kurban bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Ibadah kurban ini adalah ibadah yang membutuhkan materi untuk dapat melaksanakannya. Ia juga menjadi salah satu bentuk nyata perintah syukur yang diperintahkan Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2.

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: “Maka dirikanlah salat Karena Tuhanmu; dan berkurbanlah

Ibadah kurban bila dilihat dari aspek historis tentunya tidak akan pernah terlepas dari kisah penyembelihan Nabi Isma’il yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, Nabi Ibrahim, sebagaimana yang diabadikan dalam al-Qur’an (QS. Ash-Shâffât: 100-111). Bila direnungkan lebih mendalam, sesungguhnya di dalam pensyari’atan kurban pada hari raya Idul Adlha mengajarkan kepada umat Islam suatu semangat yang mendorong mereka untuk lebih bisa memanifestasikan sifat insani (kemanusiaan)-nya kepada sesama manusia.

Bagaimanapun ibadah kurban selain mencakup hubungan transendental manusia dengan Allah, mencakup pula hubungan horizontal manusia dengan manusia yang lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya praktek shadaqah yang dilakukan dalam pembagian daging hasil kurban kepada orang lain di sekitar kita. Tidak hanya kepada sesama muslim, Rasulullah juga menganjurkan untuk memberikannya kepada orang-orang non-muslim, seperti dalam hadis:

عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ فِى أَهْلِهِ فَلَمَّا جَاءَ قَالَ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِىِّ أَهْدَيْتُمْ لِجَارِنَا الْيَهُودِىِّ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ 
Artinya:Dari Mujahid bahwasanya Abdullah bin ‘Amr menyembelih seekor kambing kemudian bertanya (kepada keluarganya). "Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?. Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?, (karena) "Aku telah mendengar Nabi bersabda: Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku menyangka ia akan memberikan harta warisan kepadanya. (Hadis riwayat al-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 1943 dan disahihkan oleh al-Bani dalam Shahîh wa Dha’îf Sunan al-Tirmidzi).

Hadis di atas secara jelas menerangkan kepada kita tentang solidaritas antar umat beragama dalam pembagian ibadah kurban. Satu ibadah yang di dalamnya rasa kepedulian terhadap sesama manusia sangat dijunjung tinggi. Bila kepada umat selain Islam saja kita dianjurkan untuk demikian, bagaimana terhadap sesama umat Islam sendiri? Oleh karena itu sebenarnya bila semangat kemanusian ini dapat dioptimalkan umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, niscaya tidak akan lagi kita mendengar berita tentang kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan umat Islam di berbagai tempat di mana pun mereka berada.

Hadis-hadis yang berkaitan dengan semangat kemanusian 
   
 Hadis tentang tidak sempurnanya iman seseorang yang tidak mencintai saudaranya

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qatadah. (ia) dari Anas (dan ia) dari Nabi saw bersabda: tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahîh (vol. 1, no. 13), Muslim dalam Shahîh (vol. 1, no. 71 dan 72), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 8, no. 8292 dan 8861) dan al-Mu’jam al-Shaghîr (vol. 2, no. 700), Ibnu Majah dalam Sunan (vol. 1, no. 66), Tirmidzi dalam Sunan (vol. 4, no. 2515), al-Nasai dalam Sunan (vol. 8, no. 5031, 5032 dan 5054), Ibnu Hibban dalam Shahîh (vol. 1, no. 234), Abu Ya’la dalam Musnad (vol. 1, no. 90, 91, 92 dan 93), Ahmad dalam Musnad (vol. 20, no. 12801, 13146 dan vol. 21, no. 13874, 13963 dan 14082) serta beberapa mukharrij lainnya.
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa seorang mukmin dikatakan tidak sempurna imannya apabila ia sampai tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Inilah semangat Islam. Semangat yang mendorong umat agar jangan sampai memiliki sifat narsis (cinta diri yang berlebihan). Suatu sifat yang bila dipelihara dan dijaga terus-menerus oleh pemiliknya akan mengakibatkan munculnya sifat tamak (rakus) dan egois, di mana kedua sifat ini sangat berpeluang besar menutup pintu hati nurani kita untuk peduli terhadap sesama.
Secara psikologis sesungguhnya cinta diri (baca: pada diri sendiri) memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan cinta pada semua makhluk lain (Erich Fromm, 2002: 99). Ini berbeda dengan anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa cinta diri itu identik dengan sikap egois atau sifat mementingkan diri sendiri. Erich fromm, salah seorang psikolog ternama, menjelaskan bahwa sifat mementingkan diri sendiri dan cinta diri sama sekali tidak identik, justru sebaliknya, sebenarnya merupakan dua hal yang saling berlawanan. Orang yang mementingkan dirinya sendiri tidak terlalu banyak mencintai dirinya sendiri, tapi justru dia sangat kurang mencintai dirinya - bahkan sesungguhnya dia membenci dirinya. Orang yang mementingkan diri sendiri hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika menerima (Erich Fromm, 2002: 102-103). Maka oleh karenanya, berawal dari mencintai diri kita sendiri, kita diingatkan untuk mencintai sesama manusia.

Hadis tentang orang yang merasakan kenyang tapi saudaranya kelaparan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْمُسَاوِرِ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ

Artinya: “Bukanlah dinamakan mukmin, orang  yang merasakan kenyang namun (membiarkan) tetangga di sampingnya kelaparan”

Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa mukharrij, di antaranya ialah oleh Baihaqi dalam Syu’abu al-Îman dan al-Sunan al-Kubrâ (vol. 10, no. 19452), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (vol. 12, no. 12741), Abu Ya’la dalam Musnad (vol. 5, no. 2699), al-Hakim dalam Mustadrak (vol. 2, no. 2166 dan vol. 4, no. 7307). Sanad hadis ini dapat diterima (maqbûl). Dalam artian ada beberapa sanad yang dinyatakan statusnya hasan li dzâtihi (hasan karena sendirinya) yang saling menguatkan sehingga naik menjadi shahîh li ghairih. Namun dalam pada itu ada juga sanad yang memang telah shahih dengan sendirinya (li dzâtihi).

Dalam hadis ini umat Islam diperingatkan kembali tentang pentingnya kepedulian terhadap sesama, khususnya saudara-saudara yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Bahwa tidak pantas seorang mukmin merasakan kenyang padahal di sekitarnya masih banyak saudara-saudaranya yang kelaparan. Islam dengan ajarannya yang luhur ini sangat memperhatikan nilai-nilai solidaritas dan kemanusian.

Sebuah refleksi bisa kita lakukan ketika bangsa indonesia sampai saat ini masih saja terkungkung dalam berbagai masalah kehidupan sosial-kemanusian, khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini, misalnya, kita masih juga melihat dan mendegar berita di berbagai media maupun kehidupan nyata tentang anak jalanan dan lansia yang demi mempertahankan hidupnya, mereka rela mengais sisa-sisa makanan di tempat-tempat sampah, yang notabene makanan tersebut sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Terlebih bila kita melihat kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat kota. Di Jakarta, misalnya, kota yang begitu terkenal dengan kemetropolitannya. Dalam perspektif kita, kota ini sering sekali dianggap sebagai simbol kemegahan dan sumber ‘kebahagian’ bagi suatu kehidupan yang hanya berorientasikan materi an sich. Padahal sesungguhnya di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit yang ada di kota tersebut, terselip potret kehidupan yang begitu kontradiktif. Di balik gedung dan bangunan yang mencerminkan keperkasaan, terdapat gubug-gubug kumuh nan reot yang menggambarkan kesengsaraan dan kepedihan.

Inilah tugas Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamin. Melalui ibadah kurban yang disyari’atkan Allah, kita diseru untuk lebih bisa memanusiakan (ngewongke) manusia. Sehingga dengan adanya upaya pengoptimalisasian nilai-nilai berkurban kita diharapkan bisa berkorban lebih banyak bagi sesama. Berkorban dengan seluruh apa yang kita miliki dan yang bisa dimanfaatkan dalam diri kita, karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat untuk orang lain (anfa’uhum lin nas). Wallohu A’lam bi al-Shawab.

*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah  Yogyakarta

Kamis, 27 September 2012

Reorientasi Pendidikan di Indonesia (Sebuah Refleksi atas Kemerosotan Moral Pelajar Indonesia)

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi


Keadaan dunia pendidikan kita dalam beberapa hari terakhir ini sungguh sangat memilukan. Dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kemanusian, justru malah memberikan klise yang tidak manusiawi. Belum usai pemberitaan di berbagai media tentang satu aksi tawuran antar pelajar di suatu daerah, kita sudah kembali disuguhi tontonan aksi tawuran lain yang semuanya sungguh sangat tidak mencerminkan perilaku pelajar yang semestinya. Perilaku tersebut herannya malah menjadi satu kebanggaan dan ‘kepuasan’ tersendiri bagi para pelakunya. Ini semua tentu menambah banyak catatan hitam yang tertoreh di dunia pendidikan Indonesia. Jika sebelum ini bangsa disuguhi ketidak berpihakan pendidikan terhadap masyarakat menengah ke bawah, kini kita disuguhi berbagai macam bentuk dekadensi pelajar yang mencerminkan perilaku tak bermoral.

Dalam masalah penanaman nilai dan moral dalam diri pelajar, sesungguhnya pendidikan Indonesia belum patut berbangga untuk dikatakan sebagai Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kependidikan. Terlebih dengan torehan sederet kasus yang mencoreng asas-asas kependidikan tersebut. Bila pendidikan Indonesia mau jujur, maka fenomena-fenomena negatif yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini sebenarnya adalah salah satu bentuk kegagalan dari sistem pendidikan kita. Di sinilah sesungguhnya pemerintah, dalam hal ini KEMENDIKBUD, harus mau membuka diri untuk dikritik dan menerima masukan. Dalam masalah pengembangan kurikulum misalnya, kementerian ini oleh sebagian besar masyarakat masih dianggap sangat jauh dari harapan. Kurikulum yang seharusnya mampu mengantarkan para peserta didik mencapai substansi dari pendidikan itu sendiri, malah justru menjadikan obyek didik seperti layaknya kelinci percobaan. Sehingga muncul kesan yang cukup memprihatinkan di masyarakat bahwa setiap ganti menteri maka akan ganti pula kebijakannya, padahal kebijakan terdahulu masih belum tersosialisasi (Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hal. vi)

Perilaku-perilaku pelajar yang tidak mencerminkan seorang pelajar yang akhir-akhir ini terjadi di Negara kita hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi semua lapisan bangsa, tanpa terkecuali. Apakah patut seorang pelajar yang seharusnya menuntut ilmu, berbangga dengan pembacokan yang ia lakukan kepada lawan tawurnya? Satu pertanyaan ini mungkin bisa kita ajukan kepada pribadi kita masing-masing sebagai langkah awal untuk menemukan titik permasalahan. Salahkan pendidikan atau pendidik kita? Sebagai seorang pelajar yang masih aktif, penulis merasakan keprihatinan yang begitu mendalam tatkala melihati ini semua.
Dari serentetan kasus tersebut, menurut penulis, inilah saatnya bangsa Indonesia harus melakukan reorienstasi pendidikan. Orientasi yang benar-benar mengarah kepada tujuan pendidikan yang sesungguhnya, bukan orientasi yang mengarah pada hal-hal yang sifatnya materi apalagi utopis. Sebuah contoh, misalnya, Sebagian besar masyarakat kita masih saja mengarahkan tujuan utama pendidikan untuk memperoleh ijazah, bukan pada bagaimana bisa mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupan nyata. Kenyataan yang lebih ironis lagi di saat pendidikan hanya dijadikan sebagai suatu simbol kebanggaan sosial dengan anggapan bahwa orang yang berpendidikan adalah orang yang duduk di bangku SMP, SMA dan kuliah. Paradigma pendidikan seperti inilah yang menjadikan bangsa kita masih terseok-seok dalam hal penegakkan nilai-nilai pendidikan.

Penyebab lain mengapa nilai-nilai pendidikan sulit sekali tertanam dalam diri adalah karena adanya sikap psikis pelajar yang ingin menunjukkan keeksitensian dan kepopuaritasannnya (Abdullâh al-Sadhân, Ma’âlim fî Tharîq Thalab al-‘Ilmi, hal. 20). Suatu kewajaran memang ketika seorang pelajar ingin membuktikan bahwa dirinya ada (eksis). Namun, bila cara-cara yang ditempuh tidak masuk dalam koridor-koridor yang semestinya, bahkan cenderung hanya ingin mencari popularitas, maka disinilah letak penghalang sulitnya nilai-nilai pendidikan tertanam dan berkembang dalam diri setiap pelajar.

Menurut hemat penulis, salah satu penyebab timbulnya realita pelajar yang ingin menunjukkan keeksistensian dan kepopularitasannya tersebut ialah karena adanya rasa ketidak puasan mereka pada sosok-sosok yang semestinya menjadi teladan bagi mereka. Di lingkup kecil, sosok guru yang seharusnya memberikan panutan, terkadang bagi mereka dianggap tidak bisa mencerminkan diri sebagai seorang pendidik atau pengajar. Sementara di lingkup yang lebih besar, ketidak puasan yang cenderung diikuti rasa kecewa menyelimuti setiap benak pelajar ketika sosok-sosok pemimpin bangsa yang seharusnya mencerminkan sifat-sifat luhur, dengan tanpa malu mencederai nilai keluhuran dengan perilaku korup yang mereka lakukan. Sekali lagi, bila bangsa Indonesia mau jujur, maka sesungguhnya inilah masalah fundamental yang harus segera dicari jalan keluarnya (problem solving). Masalah krisis keteladaan yang dari dulu sampai sekarang menghinggapi kehidupan kita, baik di kalangan bawah terlebih di kalangan elit.

Sesungguhnya apabila kita mau merunut akar permasalahan mengapa sampai saat ini Indonesia masih belum bisa melahirkan sosok-sosok pemimpin seperti yang diharapkan, maka menurut hemat penulis ada beberapa faktor yang menghalanginya. Dua diantara yang terpenting ialah; Pertama, kesalahan dalam memberikan sosok siapa yang harus diteladani oleh anak-anak kita. Bagaimana tidak? Sungguh suatu hal yang sangat miris ketika kita melihat anak-anak muda kita lebih hafal dan fasih melantunkan bait-bait lagu Korea daripada menyenandungkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Padahal konon Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Anak-anak kita semenjak kecil sudah lebih dahulu diperkenalkan dengan sederet nama selebritis daripada sosok-sosok orang yang memiliki nilai kepribadian tinggi. Sebagai seorang muslim, tentu kita memiliki Rasullullah (al-Ahzâb:21). Sosok yang paling pantas dan seharusnya dijadikan panutan dalam membentuk karakter anak.
Factor kedua, ialah pendidikan dalam keluarga. Inilah lembaga pendidikan pertama (Madrasah al-Ûlâ) yang paling fundamental dalam membentuk karakter bangsa. Lembaga pendidikan yang seharusnya dioptimalkan oleh setiap orang tua atau pendidik untuk membentuk karakter anak sebaik mungkin. Bukan lembaga pendidikan yang diacuhkan dan tidak difikirkan oleh orang tua dengan alasan kesibukan mereka sebagai public figure atau yang lainnya.

Kesemuanya inilah bahan-bahan introspeksi yang harus kita renungkan bersama. Sebuah lompatan positif dalam bidang pendidikan harus kita lakukan dengan meongorientasikan kembali tujuan pendidikan Indonesia. Jangan sampai perjuangan-perjuangan pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan, tertutupi oleh segelintir tingkah tidak bermoral yang ditunjukkan bangsanya. Wallohu A’lam bi al-Shawâb.



Lereng Merapi, 27-28 September 2012