Minggu, 17 Februari 2013

Membuka Kembali Pintu Ijtihad dalam Ilmu Hadits (Resensi Buku Karya Dr. Kasman; Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah)


Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Himpunan Putusan Tarjih atau yang sering disingkat HPT, bisa dikatakan merupakan salah satu kitab (buku) yang menjadi pedoman warga Muhammadiyah untuk melaksanakan segala aktivitas ibadah maupun muamalah yang tercakup di dalamnya. Lebih dari itu bahkan oleh sebagian warganya, keberadaan HPT dianggap sangat istimewa dan otorotatif, untuk tidak mengatakan disakralkan.

Fenomena demikian ternyata tidak membuat Dr. Kasman (ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember) menutup diri untuk bersikap kritis terhadap HPT. Dalam bukunya yang berjudul “Hadits Dalam Pandangan Muhammadiyah”, ia berhasil mengkritisi hadits-hadits yang ada dalam HPT dengan sangat obyektif. Buku yang berasal dari disertasinya ini selain menggambarkan dengan detail manhaj Muhammadiyah dalam memandang suatu hadits, juga mengukur seberapa konsisten Muhammadiyah, dalam hal ini Majelis Tarjih menggunakan dan menerapkan manhajnya tersebut.

Ada beberapa hasil penelitiannya yang bisa dipertimbangkan dan menjadi bahan diskusi dikemudian hari. Pertama, dalam HPT, Dr. Kasman meneliti dan menemukan setidaknya terdapat 2 hadits dha’if dalam persoalan ibadah, menurut kriteria yang ditetapkan Muhammadiyah sendiri. Selain itu ditemukan pula 6 hadits dari 11 hadits yang digunakan dalil dalam Kitab Iman berstatus ahad. Padahal sebagaimana diketahui, Muhammadiyah hanya berhujah dengan hadits mutawatir dalam persoalan akidah, di mana persoalan iman termasuk di dalamnya (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13 dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).

Kedua, ditemukan pula beberapa hadits yang redaksinya sedikit berbeda, bahkan sangat berbeda dengan redaksi yang terdapat dalam kitab hadits aslinya. Dalam hal ini Dr. Kasman menduga pada saat perumusan HPT dulu, pengutipan hadits-hadits yang akan dijadikan dalil tidak dirujuk pada kitab aslinya, namun hanya pada kitab-kitab ‘kedua’, seperti Subul al-Salam, Nailul Authar dan lain sebagainya. Ketiga, adalah persoalan yang sampai sekarang masih menjadi obyek bulan-bulanan para orientalis kepada Islam, yaitu tentang kurang perhatiannya sarjana Islam terhadap kritik matan hadis. Menurut Dr. Kasman, Muhammadiyah dalam HPT-nya juga masih kurang sekali memperhatikan soal kritik matan ini.

Hasil penelitian dari mantan ketua Majelis Tarjih PDM Jember ini sesusungguhnya menjadi bekal berharga bagi para ulama Muhammadiyah kini untuk juga mau meninjau ulang, mengkritisi atau bahkan merevisi apa yang telah ditetapkan ulama Muhammadiyah dulu dalam HPT. Seperti diketahui, memang bahwa ketika dirumuskannya HPT dulu, sarana dan juga pra-sarana pendukung masih sangat terbatas. Untuk mengakses banyak kitab saja sangatlah sulit, tidak seperti sekarang. Maka dapat dimaklumi manakala terdapat beberapa sedikit kekurangan di sana-sini.

Muhammadiyah sebagai organisasi modern yang menyadari akan hal ini dan berkeyakinan bahwa ijtihad masih tetap terbuka, tentu tidak akan berdiam diri ketika terdapat ijitihad dari ulama Muhammadiyah dulu dalam HPT yang sekiranya kurang sesuai dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah.

Buku ini bisa menjadi panduan dalam langkah awal untuk mengoreksi bersama apa yang telah ditetapkan dalam HPT, yang mungkin kurang sejalan dengan fakta-fakta keilmuan. Misalnya saja, Dr. Kasman dalam bagian akhir buku ini memberikan saran untuk merumuskan kembali penjelasan tentang kaidah Muhammadiyah yang hanya berhujah dengan hadits mutawatir dalam persoalan akidah. Selain itu, menurutnya, Muhammadiyah juga perlu merumuskan kembali penjelasan tentang kriteria hadits mauquf yang dihukumi marfu’, kriteria ijma’ shahabi, kriteria qarinah yang dapat digunakan untuk menyambung sanad hadits mursal, dan kriteria tadlis (penyembunyian cacat) yang dapat mencederai keadilan seorang mudallis.

Secara keseluruhan, buku ini meskipun mengkritisi sebuah kitab (buku) yang dianggap sangat istimewa dan otoritatif oleh sebagian orang Muhammadiyah, namun keberadaannya patut disambut baik. Selain karena keobyektifan si penulis dalam bersikap kritis, juga karena buku ini ditulis oleh orang yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Mejelis Tarjih dan Muhammadiyah itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Prof. Zainul Arifin, guru besar hadits dan ilmu haditspada IAIN Sunan Ampel Surabaya ketika memberikan kata pengatar untuk buku ini, “Kelebihan dari karya tulis ini tidak hanya ditulis oleh seorang yang banyak bergelut dengan kajian hadits dan ilmu hadits, tetapi juga karena dilakukan oleh seorang yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Majelis Tarjih dan Muhammadiyah itu sendiri dengan tetap menjaga nalar kritisnya”.



Judul Buku     : Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah
Penulis            : Dr. Kasman
Penerbit         : Mitra Pustaka
Hal                  : 426 + xxii
Tahun             : 2012


* Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta

Kamis, 14 Februari 2013

Di Balik Sebuah Nama




Terlahir dengan nama Niki Alma Febriana Fauzi adalah salah satu takdir yang ada padaku. Tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya ketika aku masih di rahim ibu akan mendapatkan nama seperti ini. Sebuah nama yang bisa dibilang cukup panjang untuk ukuran nama orang Indonesia. Maklum, ketika aku belum lahir ke dunia, kedua orang tuaku begitu mendambakan seorang anak berjenis kelamin laki-laki; kedua kakakku semuanya perempuan. Mungkin dibuatkannya nama sepanjang ini adalah salah satu bentuk rasa syukur dan kepuasan tersendiri dari mereka. Selintas namaku ini memang agak kebarat-baratan (bila kata “Niki” tertulis “Nicky”), namun juga agak kejawa-jawaan (“Niki” dalam bahasa Jawa artinya adalah “ini”).  Tidak hanya itu, cita rasa Arabian juga cukup terasa dengan adanya kata “Alma” dan “Fauzi”, yang keduanya secara berurutan berarti “air” dan “keberuntungan”. Kata “Febriana” mungkin yang paling tidak bercorak kebarat-baratan, kejawa-jawaan atau kearab-araban. Ya, karena kata ini terambil dari sebuah nama bulan, yaitu Februari. Kata ibuku, agar dia tidak lupa pada bulan apa anak laki-laki pertamanya lahir.

Kadang aku berpikir mengapa orang tuaku menamaiku dengan nama seperti ini. Apa ada makna di baliknya? Pernah kutanyakan, tapi selalu tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Konon, sebagian namaku adalah pemberian dari seseorang yang masih saudara dengan orang tuaku. Sebut saja namanya Aying. Dari Aying inilah sebagian namaku berasal. Dua kata pertama (Niki dan Alma) adalah darinya, dan dua yang lain dari orang tuaku. Dan kebetulan juga (namun sesugguhnya Allah telah merencanakan) nama “Alma” adalah nama yang sering orang-orang gunakan untuk memanggilku. Secara arti Indonesia bila namaku diterjemahkan maka kurang lebih ialah “ini - air - bulan Februari - keberuntungan”. Terjemahan yang tidak cukup membantu menggali makna di balik sebuah nama yang panjang. Kubiarkan terus-menerus kebingungan ini, sampai pada saatnya banyak orang yang mengira namaku adalah nama perempuan, bukan laki-laki. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Kebingunan dan rasa agak kesal karena ketidakjelasanan makna namaku sendiri semakin menjadi-jadi. Mangapa tidak jelas begini? Jadi dikira perempuan lagi? Sampai pada akhirnya ketika aku duduk di kelas tiga ‘Aliyah (sederajat 3 SMA), ada seorang guruku yang bercerita tentang keistimewaan air. Air adalah sebuah senyawa yang paling mandiri di dunia ini, katanya. Dia adalah senyawa independen yang mampu bertahan di dunia walaupun tidak ada senyawa-senyawa yang lain. Dia adalah senyawa yang paling dibutuhkan oleh siapapun; manusia, tumbuhan, binatang. Bayangkan bila di dunia ini tidak ada air! Manusia, tumbuhan, binatang dan siapa saja (secara normal) tidak akan bisa bertahan hidup. Manusia mungkin bisa bertahan tidak makan berhari-hari, tapi coba suruh manusia untuk tidak minum barang sehari. Mendengar penjelasan dari guruku itu, kebingungan akan makna namaku sendiri sedikit demi sedikit luntur dan berubah menjadi partikel-partikel yang menggumpal mewujud rasa terimakasih dan syukur kepada orang yang telah memberiku nama ini. Benar-benar luar biasa! Apa yang dijelaskan oleh guruku itu ternyata juga telah mendapat legitimasi dari ayat suci al-Qur’an, firman Allah yang tidak perlu diragukan lagi kebenaran dan keotentikannya. Sebuah potongan ayat pada surat al-Anbiya ayat 30 menjadi saksi begitu istimewanya satu makhluk Allah yang bernama air, “... Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ...”. Bukan hanya satu, dua atau tiga tapi Allah mengatakan segala sesuatu. Subhanallah!

Dari sinilah rasa kebingunanku berubah menjadi rasa syukur dan terima kasih tiada tara kepada kedua orang tua dan orang yang telah menyumbang nama untukku. Mungkin inilah maksud mereka para manusia luar biasa itu memberi nama bagiku, Niki Alma Febriana Fauzi. Dengan harapan agar aku bisa menjadi orang yang benar-benar luar biasa seperti yang terkandung dalam makna air.

Saudara-saudaraku tercinta, mulai sekarang jangan pernah berprasangka buruk dengan nama kita sendiri. Orang tua atau siapapun yang telah memberi nama kita, pasti punya harapan dan tujuan mulia. Tetap semangat dan bersyukur dengan apa yang ada pada diri kita.








Kaliurang, 12 Februari 2013.