Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*
Ilmu bagaikan cahaya penerang, terutama bagi siapa
saja yang memilikinya. Oleh karena itu menuntut ilmu adalah sesuatu yang sangat
mulia, sampai-sampai Allah swt berjanji akan mengangkat derajat orang-orang
yang berilmu (QS. 59: 11). Al-Baghawi dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat
tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang beriman akan diangkat derajatnya
karena keutamaan ilmu mereka (Ma’alim al-Tanzil, vol. VIII, hal. 58).
Bahkan Syaikh Yusuf Qaradhawi membuat satu bab khusus tentang prioritas ilmu
atas amal (awlawiyah al-‘ilmi ‘ala al-‘amal) (Fiqh al-Awlawiyat, hal.
49). Ibnu ‘Abd al-Barr (w. 463 H), seorang ulama yang berasal dari Andalusia
juga menyusun kitab khusus yang membahas tentang hakikat dan keutamaan menuntut
ilmu. Beliau memberi nama kitabnya dengan nama Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa
Fadhlihi. Tidak hanya Syaikh Yusuf Qaradhawi dan Ibnu ‘Abd al-Barr yang
memberikan semacam perhatian khusus tentang keutamaan ilmu dan menuntut ilmu, ulama
lain juga banyak yang memberikan perhatian khusus. Diantaranya adalah penulis
buku best seller, La Tahzan, Dr. ‘Aidh al-Qarni dengan judul kitabnya Kayfa
Tathlubu al-‘Ilmi dan Dr. Anas Ahmad Karzun dengan kitabnya yang berjudul Adabu
Thalib al-‘Ilmi. Kedua buku tersebut telah diterbitkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Selain al-Qur’an, al-Sunnah juga menerangkan tentang
keutamaan menuntut ilmu dan kemulian orang yang berilmu. Namun tidak seperti
al-Qur’an yang mutawatir, al-Sunnah banyak riwayat yang lemah (dha’if)
yang disandarkan kepada Nabi, bahkan ada sebagian yang palsu (maudhu’). Penyebab
munculnya hadis palsu di antaranya adalah sikap fanatik (ta’asshub) terhadap
suatu golongan, bahasa, madzhab, atau negeri (Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah,
hal. 34). Sehingga terkadang muncul hadis-hadis yang mengindikasikan tentang
kefanatikan perawi terhadap suatu madzhab yang dipegangnya, golongan atau
bahasa tertentu, atau suatu negeri khusus yang disebutkan oleh perawi. Selain
itu, ulama hadis juga telah menetapkan beberapa kaidah untuk menetapkan
ke-maudhu’-an (kepalsuan) suatu hadis. Salah satu kaidahnya ialah apabila suatu
hadis di dalamnya memuat ancaman keras terhadap hal sepele, atau janji besar
terhadap perkara ringan (Subhi Shalih, 2009: 245).
Mengenai hadis dha’if, Para ahli hadis bersikap tasyaddud (ketat
dan keras) dalam menilainya, terutama terhadap hadis yang
menginformasikan tentang halal dan haram. Sehingga mereka hanya menerima hadis yang
paling tinggi derajatnya, atau yang biasa disebut dengan istilah
‘sahih’ (Subhi
Shalih, 2009: 196). Namun dalam hal-hal keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal) terjadi
perbedaan pendapat. Ada sebagian ulama yang menolak secara
mutlak. Ada yang
menerimanya tanpa syarat apapun. Dan ada Sebagian lagi menerima hadis dha’if dengan beberapa syarat.
Bagi yang memegang
pendapat tentang kebolehan menyampaikan hadis dha’if tentang
keutamaan-keutamaan (fadhailu
al-a’mal) – dalam hal ini keutamaan menuntut ilmu – hendaknya menjelaskan
kedha’ifannya dan menunjukkan macam kelemahannya (subhi shalih, 2009: 197)
sehingga kita terhindar dari kegabahan mengambil hadis yang disandarkan kepada
nabi.
Di dalam tulisan ini ada beberapa hadis lemah (dha’if)
dan bahkan sebagian di nyatakan palsu (maudhu’) oleh para ulama hadis,
yang sering di sampaikan oleh para mubaligh atau sering dijumpai dalam
masyarakat.
Hadis
Dha’if Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu
1.
Menuntut
ilmu sekalipun sampai ke negeri China
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّين حدثنا
أَبُو عَاتِكَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik, ia berkata:
Rasulullah saw bersabda: Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri China”.
Hadis ini
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman
(vol. III, no. 1543) dan al-Madkhal (vol. I, no. 243), al-Bazzar dalam kitab
Musnad (vol. I, no. 95), al-Rubai’ dalam Musnad-nya (no. 18)
dalam Bab fi al-‘Ilmi wa Thalabihi wa Fadlihi, Abu Nu’aim al-Ashbahani
dalam Akhbar Ashbahan (vol. VII, hal. 376), Ibnu ‘Abd al-Barr dalam Jami’
Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi (vol. I, no. 15 & 16, hal. 25-26), Ibnu ‘Addi
dan al-‘Uqaili sebagaimana dinukil oleh al-Suyuthi dalam kitabnya al-Âlî al-Masnu’ah
bab Kitab al-‘Ilmi (vol. I, hal. 175) . Mereka semua meriwayatkan dari Abu ‘Atikah
melalui jalur Anas bin Malik secara marfu’ (disandarkan sampai kepada nabi)
.
Kedha’ifan hadis
ini terletak pada perawi yang bernama Tharif bin Sulaiman Abu ‘Atikah al-Bashari
atau al-Kuffi (al-Dhu’afa wa al-Matrukin li Ibn al-Jauzi, vol. II, hal.
63). Menurut an-Nasai dalam kitabnya al-Dhu’afa wa al-Matrukin,
ia bukanlah orang yang tsiqah/kredibel (laysa bi tsiqoh) (vol.I,
hal. 198), al-Bukhari mengatakan bahwa ia seorang munkar al-hadits (orang
yang hadisnya diingkari) (Tahdzib al-Tahdzib, vol. XII, hal. 127). Selain
itu Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wa al-Ta’dil mengatakan bahwa ia adalah
dzahib al-hadits (orang yang hadisnya hilang) dan dha’if al-hadits (orang
yang hadisnya dha’if) (vol. IV, hal. 494). Para kritikus hadis juga
telah mendla’ifkannya dalam kitab-kitab mereka; seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani
dalam Lisan al-Mizan (vol. VII, hal. 251), al-Dzahabi dalam Mizan
al-I’tidal (vol. II, hal. 335), al-‘Uqaili dalam Dhu’afa al-‘Uqaili (vol.
II, hal. 230).
Sesungguhnya para
mukharrij mencantumkan hadis ini dalam kitab-kitab mereka dengan tambahan
lafal di belakangnya: فَإِنَّ
طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (maka sungguh
menunut ilmu itu wajib bagi setiap muslim). Namun yang sering
disampaikan oleh para mubaligh atau sering dijumpai hanya sepenggal saja tanpa
tambahan lafal tersebut setelahnya.
Walaupun dari segi sanad hadis ini dha’if (lemah),
namun bila dilihat dari segi matan nampaknya perspektif Syaikh Abdul Aziz bin
Baz sangat baik dalam menjelaskan kandungan matan hadis ini. Beliau berkata: “Seandainya
hadis ini shahih, maka tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri China dan penduduknya,
karena maksud hadis ini - kalaulah memang shahih - adalah anjuran untuk
menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, sebab
menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting sekali, karena ilmu
merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang mengamalkannya.
Jadi, bukanlah maksud hadis ini adalah negeri China itu sendiri, tetapi karena
China adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi saw menjadikannya
sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas sekali bagi orang yang mau memperhatikan
hadis ini” (al-Tuhfah al- Karimah fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa
Saqimah, hal. 60)
2.
Kewajiban
menuntut ilmu bagi muslim dan muslimah
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Artinya:
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”.
Hadis ini asalnya tidak ada tambahan lafal “wa muslimatin”
. Namun yang populer di kalangan masyarakat adalah matan hadis yang disertai
dengan tambahan lafal tersebut. Hal ini dikuatkan oleh statement Imam al-Sakhawi
dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah. Beliau berujar “Sebagian penulis
telah memasukkan hadis ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ, padahal tidak disebutkan dalam
berbagai jalur hadis sedikitpun” (al-Maqashid al-Hasanah, hal. 442).
Bila matan hadis yang disertai dengan tambahan “wa muslimatin” itu tidak ada sumbernya, maka matan hadis
yang tidak ada tambahan lafal tersebut sangat banyak jalurnya. Sebagian riwayat,
seperti yang di-takhrij oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. V,
no. 2837) dan al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 6746) yang melalui
jalur Anas bin Malik sanadnya didha’ifkan oleh Husain Salim Asad ketika mentahqiq
kitab Musnad Abi Ya’la (Musnad Abi Ya’la, vol. V, no. 2837) karena
di dalamnya terdapat Hafsh bin Sulaiman al-Asadi yang mendapat jarh
(celaan) dari para kritikus hadis (al-Dhu’afa wa al-Matrukin li Ibn al-Jauzi,
vol. I, hal. 221, Tahdzib al-Tahdzib, vol.1, hal. 172, dan al-Majruhin,
vol. I hal, 255), kemudian
riwayat dari Abu Ya’la juga dalam Musnad-nya (vol. V, no.
2903) yang di dalamnya terdapat seorang perawi dari penduduk Syam yang tidak
diketahui identitasnya (majhul).
Namun perlu diketahui bahwa jalur hadis yang banyak bisa saling
mengangkat derajat suatu hadis yang dha’if menjadi hasan (hasan lighairih)
dengan syarat di dalam sanad hadis tersebut tidak terdapat perawi yang tertuduh
dusta dan hadisnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadis yang
lebih shahih) (Manhaj al-Naqd, hal. 268). Hal ini juga kiranya yang
membuat ahli hadis kontemporer sekelas Nashirudin al-Albani menilai hadis ini
sebagai hadis hasan karena menurutnya, ke-dha’ifan hadis ini tidak terlalu
parah dan jalur hadisnya sangat banyak sehingga bisa menguatkan satu sama lain
(Silsilah al-Ahaditsah al-Dha’ifah, hal. 604).
Riwayat yang lain dari berbagai jalur
diantaranya terdapat dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1545), Ittihaf al-Khoyrah (vol. I, no. 261),
al-Mu’jam al-Awsath (vol. I, no. 9, vol. III, no. 2462, vol. VIII, no.
8381, no. 8567 dan no. 8833), al-Mu’jam al-Shaghir (vol. I, no.22 dan
no. 61), al-Mu’jam al-Kabir (vol. X, no. 10439), Musnad al-Syamiyyin
(vol. III, no. 2084 dan vol. IV, no. 3375), Musnad al-Syihab (vol. I,
no. 174 dan 175), Amali Ibn Basyran (vol. I, no.245), Amali Ibn
Sama’un (vol. I, no. 23), Amali al-Baghindi (vol. I, no. 18), al-Fawaid
karya al-Ashbahani (vol. I, no. 14), Gharaib Malik Ibn Anas (vol. I, no.
176), ‘Awali al-Imam Abi Hanifah (vol. I, no. 41), Masyikhah al-Abnusi
(vol. I, no. 154), Mu’jam Abi Ya’la (vol. I, no. 154), Mu’jam Asami
(vol. II, no. 397), Mu’jam Ibn al-‘Arabi (vol. I, no. 304, vol. IV, no.
1786 dan vol. V, no. 2036), Mu’jam Ibn al-Muqri (vol. II, no. 839), dan Mu’jam
al-Syuyukh li Ibn Jami’ al-Shaidawi (vol. I, no. 123).
Di samping hadis
ini diriwayatkan dari banyak jalur, beberapa riwayat juga ada yang menyebutkan
dengan matan yang sedikit berbeda, yaitu dengan lafal طَلَبُ
الْعِلْمِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
(menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim). Mereka yang meriwayatkan dengan matan ini ialah al-Baihaqi dalam Sya’bu
al-Iman (vol. III, no. 1552), al-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath (vol.
VIII, no. 8611), Ibnu Abd al-Bar dalam Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi (vol.
I, no. 20), Baybi binti Abd al-Shomad al-Harwiyah dalam Juz Baybi (vol.
I, no. 110), dan al-Shaidawi dalam Mu’jam al-Syuyukh (vol. II, no. 337).
Walaupun hadis
yang mendapat tambahan “wa muslimatin” tidak ada sumbernya, namun bila dilihat
dari segi matan hadis yang mendapat tambahan lafal tersebut shahih,
yaitu kewajiban menuntut ilmu tidak hanya untuk seorang muslim tapi juga
muslimah. Musthafa al-Istanbuli, seorang mufassir bermadzhab Hanafi dalam tafsirnya
menerangkan bahwa menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan yang telah
mukallaf (mukallaf dzakaran kana aw untsa)
(Tafsir Ruh al-Bayan, vol. VIII, hal. 61 ). Selain beliau, Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha juga mengatakan bahwa “Hadits - menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim - mencakup wanita juga dengan kesepakatan ulama, sekalipun tidak
ada tambahan lafadz “wa muslimatin”". (Huquq al-Nisa Fi
al-Islam)
3.
Dunia dan akhirat dengan ilmu
وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya: “Barangsiapa
yang menghendaki dunia maka wajib baginya dengan ilmu, dan barangsiapa yang
menghendaki akhirat maka wajib baginya dengan ilmu. Dan barang siapa yang
menghendaki keduanya (dunia dan akhirat) maka wajib dengan ilmu”.
Hadis ini sangat
populer dan sering disandarkan kepada Nabi. Namun ini sesungguhnya bukanlah
perkataan beliau melainkan perkataan Imam al-Syafi’i. Perkataan Imam Syafi’i ini
tercantum diantaranya dalam kitab Nasyarthi fi Fadhl Hamlah al-‘Ilmi (vol.
I, hal.162) karangan Muhammad bin Abdurrahman bin Umar, Tafsir al-Siraj
al-Munir (vol. IX, hal.162) karangan Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini, Tahdzib
al-Asma wa al-Lughat (hal. 78) karangan Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf
al-Nawawi, al-Da’wah al-Salafiyyah (hal. 89) karangan Mahmud Abdul Hamid
al-‘Asqalani, Mafatih Tadabbur al-Sunnah, Hadzihi Hiya Zaujati karangan Abu
Ahmad, dan Arsyifi Multaqi Ahl al-Hadits.
Dari ke semua
kitab di atas yang mencantumkan perkataan Imam al-Syafi’i tersebut, seluruhnya
menuliskan وَمَنْ أَرَادَ
الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ مَنْ أَرَادَ
الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
tanpa tambahan وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ. Hanya
ada satu riwayat dari Imam Ali dalam Arsyifi Multaqi Ahl al-Hadits dengan
tambahan وَمَنْ
أَرَادَهُمَامعاً فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ.
4.
Menuntut ilmu dari buaian sampai liang
kubur
اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buain sampai ke liang kubur”.
Hadis ini sangat populer
di kalanngan masyarakat. Namun hadis tentang perintah menutut ilmu dari buaian
sampai liang kubur ini tidak bersumber dari Nabi. Bahkan ahli
ilmu menyatakan hadis ini palsu (maudhu’). Hal ini ditegaskan oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Durus (vol. X, hal. 35). Sepanjang penelitian ini, penulis tidak menemukan
jalur sanadnya di kitab hadis manapun, maupun kitab-kitab lainnya. Hanya saja
dalam kitab Nashaih wa Taujihat fi al-‘Ilmi wa Da’wah dan kitab Kutub
Shalih Âli Syaikh karangan Shalih bin Abdul Aziz Âli Syaikh disebutkan bahwa
ini adalah perkataan sebagian orang-orang salaf (qala ba’dhu salaf).
Bahkan ada pendapat yang mengatakan ini adalah perkataan Imam Ahmad (Nashaih
wa Taujihat fi al-‘Ilmi wa Da’wah, vol. I, hal. 1 dan Kutub Shalih Âli
Syaikh).
Maksud hadis ini sesungguhnya sangat baik, yaitu
memerintahkan manusia untuk mencari ilmu sejak dini. Namun sekali lagi,
menyandarkan berita kepada nabi yang datangnya bukan dari nabi tentu bukanlah
hal yang baik. Apalagi hadis ini dinyatakan palsu.
5.
Ilmu
sebagai penghapus dosa yang telah lalu
مَنْ طَلَبَ
الْعِلْمَ ، كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ : عَنِ النَّبِيِّ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ
Artinya: “Dari Abdullah bin Sakhbarah, dari Sakhbarah, dari Nabi
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang mecari ilmu maka ilmu tersebut akan
menjadi kafarat
(penghapus) bagi dosa-dosa yang
telah lampau”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol.
V, no. 2648) dan Ibnu Qani’ dalam Mu’jam al-Shahabah (vol. I, hal. 321).
Di dalam sanadnya terdapat Abu Dawud al-A’ma yang menurut Ibnu Ma’in, dia
adalah seorang perawi yang tidak tsiqah/kredibel dan tidak dapat
dipercaya (laysa bi tsiqah wa la mamun) (al-Majruhin, vol. III,
hal. 55). Ibnu Qayyim dalam Miftah Dar al-Sa’adah juga berkomentar bahwa
ia bukanlah orang yang tsiqah/kredibel (ghayru tsiqah) (vol. I,
hal. 76). Sementara al-‘Uqaili memasukan Abu Dawud al-A’ma dalam kitab kumpulan
orang-orang dha’if miliknya (Dhu’afa al-‘Uqaili, vol. IV, hal. 307). Nashirudin
al-Albani bahkan mengangap hadis ini sebagai hadis palsu (maudhu’) (Dha’if
al-Jami’, no. 5686).
Matan hadis ini bila dilihat pun sedikit berlebihan, karena hanya
dengan menuntut ilmu bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu. Padahal semangat
al-Qur’an dan al-Sunnah tidak hanya menyeru umat islam untuk menuntut ilmu saja
tapi juga semangat mengamalkan amal shalih.
6.
Orang
yang menuntut ilmu berada di jalan Allah sampai ia kembali pulang
عَنْ أَنَسٍ بْنِ
ماَلِكٍ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ خَرَجَ
فيِ طَلَبِ الْعِلْمِ كاَنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
Artinya: “Dari anas bin malik berkata: Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah (fi
sabilillah) sampai ia kembali pulang”.
Hadis ini termasuk hadis marfu’ (disandarkan sampai
kepada Nabi).
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. V, no. 2647), al-Bazzar
dalam Musnad (vol. II, no. 6520) dan al-Thabrani dalam Mu’jam
al-Shaghir (vol. I, no.). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama
Khalid bin Yazid al-Lu-lu serta Abu Ja’far al-Razi yang menyendiri (tafarrada)
dalam meriwayatkannya dari jalur Anas bin Malik.
Sebenarnya Khalid bin Yazid al-Lu-lu al-‘Itqi adalah perawi yang
lemah (dha’if) (al-Mughni Fi al-Dhu’afa, vol. I, hal. 207).
Menurut al-‘Uqaili kebanyakan hadisnya tidak dapat diikuti (la yutabi’u ‘ala
katsir min haditsihi) (Dhu’afa al-‘Uqaili, vol. II, hal. 17).
Sehingga al-Albani mendhaifkannya (Misykah al-Mashabih, vol. I, no.
220). Namun oleh Tirmidzi hadis ini di anggap hadis hasan (Mizan al-I’tidal,
vol. I, hal. 648).
Secara matan hadis ini memang memberikan berita tentang keutamaan
orang yang pergi menuntut ilmu sampai ia kembali pulang. Namun untuk alternatif
lain ada hadis yang lebih aman – karena derajatnya lebih tinggi – yang bisa disampaikan
kepada masyarakat. Diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda:
فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ وَ
إِنَّ
الْملَاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهاَ رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ
الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَان
فيِ الْماَءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى
سَائِرِ الكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَماَءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِياَءِ إنَّ الْأَنْبِياَءَ
لَمْ يُوَرِّثُواْ دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إنَّماَ وَرَثُوْا العِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya: “Sesungguhnya aku (Abu Darda) r.a
mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menempuh jalan untuk
menuntut ilmu, niscaya Allah akan bukakan baginya salah satu jalan menuju
syurga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayapnya untuk orang
yang menuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu akan benar-benar dimintakan
ampun oleh semua penduduk langit dan bumi, bahkan ikan hiu yang ada di air
(laut). Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah adalah
seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar
maupun dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya,
berarti ia telah mengambil jatah yang cukup banyak”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ahmad, Abu Syaibah, Ibnu Basyran. Dan lafal ini milik Ibnu Majah.
Dishahihkan oleh Nashirudin al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibn
Majah, (vol. I, hal. 295)).
Di dalam hadis ini dijelaskan penghormatan besar yang
diperoleh para penuntut ilmu. Para malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada
penuntut ilmu dengan rendah diri dan rasa hormat. Begitu juga halnya para
makhluk Allah yang berada di langit, bumi bahkan lautan. Semuanya akan
memintakan ampun dan berdoa untuk mereka.
Begitulah kemulian para penuntut ilmu. Orang yang
berilmu diibaratkan seperti purnama yang bersinar di antara bintang-bintang
yang lain. Semoga kita termasuk dalam golongan-golongan penuntut ilmu yang
benar-benar bisa menjadi pewaris para Nabi. Amiin yaa Rabbal’alamin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar