Hari Rabu 10 April 2013 lalu saya benar-benar belajar. Belajar dari sebuah peristiwa yang menampar saya demikian keras. Bahwa betapa pra-konsepsi yang kita bangun akan sangat berpengaruh pada cara berpikir kita terhadap seseorang atau sesuatu. Pra-konsepsi buruk yang kita bangun akan membuat kita menutup diri dari apa saja yang berkaitan dengannya. Itu pula yang terjadi pada saya ketika mendengarnama Anies Rasyid Baswedan, atau akrab disapa Anies Baswedan. Ketika pertama kali mendengar namanya yang akan mengisi salah satu kuliah umum pada Presidential Series Lectures, maka yang ada dalam persepsi saya ketika itu tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan liberalisme agama. Predikatnya sebagai rektor Universitas Paramadina, menggantikan Nurcholis Madjid yang terkenal sebagai seorang tokoh liberal, membuat saya tidak terlalu ngeh ketika mendengar namanya. Apalagi universitas yang dipimpinnya saat ini, oleh sebagian orang sering disebut sebagai sarangnya orang-orang liberal. Namun pada hari Rabu itu anggapan buruk tentang Anies seketika luntur, tatkala saya mendengar paparannya.
Sejak 30 menit sebelum kuliah di mulai, sekitar 900-an peserta yang telah sedari tadi memenuhi Auditorium Kahar Mudzakkir Universitas Islam Indonesia disuguhi video profil Anies Baswedan. Selain menonton, saya kurang puas jika hanya mendapatkan informasi dari sebuah video yang hanya berdurasi tidak lebih dari 15 menit. Saya pun searching di google. Saya berdecak kagum ketika membaca profil Anies. Anies Baswedan diusianya yang masih sangat muda telah berhasil menjadi seorang rektor. Ketika 2007 saat Nurcholis Madjid meninggal, ia baru berusia 38 tahun dan didaulat menjadi pengganti Madjid untuk menjadi rektor. Tidak hanya itu di tahun 2008 majalah berkelas internasional Foreign Policy memasukkannya ke dalam salah satu dari seratus intelektual dunia. Dia satu-satunya yang mewakili Indonesia. Kemudian pada April 2010 majalahForesight menobatkan dirinya sebagai salah satu dari 20 tokoh yang diperkirakan akan menjadi perhatian dunia dalam 20 tahun ke depan. Ia bersanding dengan nama-nama besar, seperti Vladmir Putin (Perdana Menteri Rusia) dan Hugo Chavez (Presiden Venezuela). Mereka diproyeksikan berperan dalam perubahan dunia dua dekade mendatang. Luar biasa. Sekarang prediksi dunia terhadap Anies sepertinya akan menjadi kenyataan. Melalui salah satu gerakan yang dirintisnya, Indonesia Mengajar, Anies Baswedan memulai upayanya mewujudkan mimpi Republik tercinta ini untuk bisa 'berbicara' pada dunia internasional di masa depan.
Kuliah umum yang dibawakannya pada hari itu bertajuk “Lewat Pendidikan Mari Kita Selamatkan Bangsa”. Sebuah tema yang sangat relevan untuk dibahas dan didiskusikan pada saat-saat sekarang ini.
Pendidikan merupakan salahsatu proses penting dalam kehidupan umat manusia. Di Republik ini pendidikan menjadi satu kegiatan yang tak dapat dipisahkan dari setiap denyut nadi masyarakatnya. Namun sayangnya kenyataan yang cukup membanggakan itu tidak dibarengi dengan adanya keseimbangan distribusi tenaga pendidik yang merata. Betapa banyak pendidik yang menggerombol dalam suatu daerah, padahal sebenarnya masih banyak daerah-daerah di sudut pelosok negeri ini yang masih teramat membutuhkan tenaga pendidik.
Realita tersebut belum lagi dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan kualitas para pendidik. Disadari atau tidak kehadiran sebagian besar pendidik di negeri ini lebih cocok bila diibaratkan sebagai ‘penjual’ tenaga ajar, daripada penebar inspirasi dan motivasi. Betapa banyak pendidik yang lebih memikirkan dan mementingkan berapa banyak income yang akan ia dapatkan, daripada apa yang bisa ia berikan kepada anak-anak ketika ia mendidik.
Beberapa persoalan tersebutlah yang menjadi perhatian Anies Baswedan. Ia merasa bila generasi muda Indonesia masih terus berpikiran bahwa akan ada orang lain yang menyelesaikan persoalan tersebut, dan hanya berpangku tangan menunggu orang itu datang, maka Republik ini sekali-kali tidak akan pernah berhasil melunasi janji-janji kemerdekaan yang dulu telah diikrarkan. Lambat laun Republik tercinta ini akan masuk pada fase di mana kuantitas penduduk yang begitu melimpah justru akan menjadi penambah masalah.
Solusinya, kata Anies,hanya ada satu; turun tangan langsung. Jangan sampai kita menganggap bahwa pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Secara konstitusional memang demikian. Tapi secara moral pendidikan adalah urusan dan tanggung jawab orang-orang terdidik. Pendidikan sangat berbeda dengan sekolah. Bedakan itu!
Anies mengajak pada bangsa Indonesia ini untuk jangan hanya terus-menerus mengecam kegelapan, tapi cobalah untuk berusaha menyalakan cahaya harapan. Republik ini dibangun oleh mereka orang-orang yang berani menyalakan cahaya, meski dalam pekatnya kegelapan. Para pemimpin kita dulu, di manapun mereka berada, yang selalu didengungkan kepada rakyatnya adalah tentang harapan, bukan ratapan. Padahal ketika itu segala bentuk persyaratan untuk pesimis telah dimiliki bangasa Indonesia. Namun para pemimpin kita lebih memilih untuk selalu menebar optimisme. Lalu kenapa kita sekarang harus memilih untuk pesimis, di saat banyak persyaratan optimis kita miliki? Soekarno, Hatta dan para pemimpin Republik ini tempo doeloe di saat hampir 99 % bangsa Indonesia berada dalam jurang kebodohan dan kemiskinan adalah orang-orang yang memiliki segala persyaratan untuk hidup mewah, tenang tanpa harus memikirkan urusan orang lain. Tapi mereka membuang itu semua, dan memilih untuk berkorban menyalakan cahaya di tengah kegelapan Republik ini kala itu. Mereka tidak pernah bertanya dan berpikir akan mendapatkan apa setalah itu. Yang mereka pikirkan adalah pengorbanan apa yang bisa mereka lakukan untuk bangsa ini.
Bila kita sedikit menilik ke dalam kitab suci al-Qur’an, maka semangat yang digalakkan Anies Baswedan untuk merubah bangsa ini dengan pendidikan sesungguhnya sejalan dengan salah satu ayat-Nya. Dalam surat al-Ra’d ayat 11 Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu sendirilah yang merubahnya”. Bila keadaan bangsa Indonesia ingin maju, maka yang harus dipikirkan dan kemudian dilakukan oleh bangsa ini adalah bagaimana cara untuk dapat mencapai tujuan itu. Republik ini tidak akan lebih baik, jika bangsanya saja masih belum percaya bahwa Republiknya sendiri bisa melakukan itu. Keyakinan dan optimisme dari setiap individu warga negara jauh lebih penting daripada hanya menyalahkan dan mengecam para pengurus bangsa. Kita mau hidup berubah bukan karena kehendak pemerintah, tapi karena kemauan kita sendiri.
Tidak dapat dipungkiri peran pemimpin dalam hal ini memang sangat penting. Tapi itu bukan segalanya. Karena sayangnya sekali lagi, pemimpin bangsa kita saat ini lebih sering mengirim nada pesimis dan ratapan daripada menumbuhkan optimisme dan menebar insprirasi serta motivasi kepada rakyat. Sehingga jika kita lebih memilih menanti pemerintah yang turun tangan, maka penantian itu akan berujung pada kekecewaan dan hujatan.
Oleh karenanya yang perlu kita lakukan saat ini, kata Anies adalah “think big, start small and act now”. Pendidikan adalah cara efektif untuk menebar optimisme. Berjuanglah menatap Indonesia yang lebih baik dan lebih maju. Siapapun yang memberikan perhatian pada pendidikan, maka ia sedang memberikan perhatian pada masa depan bangsanya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang terdidik dan mau menghargai para pendidik. Hidup para pendidik Indonesia!
Kaliurang, 24-25 April2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar