Jumat, 27 September 2013

Goyang Caisar dan Sindrom “Melu-Melu”


Pada momen Ramadan lalu, masyarakat Indonesia ‘dihebohkan’ dengan munculnya sebuah goyang yang bisa dikatakan menggemparkan industri hiburan Indonesia. Goyang yang diciptakan oleh seorang komedian baru bernama Caisar Aditya Putra atau yang akrab disapa Caisar mampu menghipnotis beribu pasang mata masyarakat kita pada saat sahur, di satu acara salah satu stasiun tv swasta negeri ini. Goyangan yang sederhana, asyik, sekaligus juga diiringi sebuah lagu yang ‘pas’, membuat goyang Caisar ini mudah dihafal dan diikuti banyak orang. Di dunia maya, tepatnya di salah satu situs ternama, You Tube, banyak sekali ditemukan video-video yang meniru gaya khas Caisar dalam bergoyang. Mereka para followers goyang Caisar memanfaatkan situs ini untuk numpang ngeksis, ngetren, narsis atau hanya sekedar turut mempopulerkan goyang Caisar tersebut. Sementara di dunia nyata, tak jarang anak-anak dan juga remaja dengan tidak malu-malu berteriak keras mencucapkan “keep smile”, sesuai dengan nada Caisar sebelum mulai bergoyang.


Setali tiga uang, di balik popularitas goyang Caisar ini tidak dipungkiri membuat nama si kreator goyangan meroket namanya. Mengawali karir di belakang layar dengan menjadi asisten beberapa komedian yang sudah dulu terkenal, Caisar perlahan tapi pasti mensejajarkan dirinya dengan para komedian tersebut. Betapa banyak acara talk show di berbagai stasiun tv yang mengundangnya untuk berbagi cerita. Pundi-pundi rupiahnya pun semakin jauh menebal bila dibandingkan dulu ketika ia menjadi seorang tukang ojek. Sekarang siapa yang tidak kenal dengan Caisar dan goyangannya. Mulai dari anak-anak hingga orang tua mengenal sosok pria 24 tahun ini.

Kini setelah Ramadan usai, acara yang menampilkan goyang Caisar itu pun turut menyudahi episode-episodenya.  Namun karena melihat animo tinggi masyarakat untuk kembali menonton aksi Caisar, pihak stasiun tv yang menayangkan acara tersebut memutar kembali acara yang pada saat pemutaran versi live-nya selalu menempati rating teratas tontonan sahur. Kini para penonton penggila goyang Caisar tidak perlu menunggu hingga Ramadan tahun depan untuk melihatnya. Di pagi dan malam Caisar akan kembali tampil di layar kaca untuk menggoyang para penonton.

Di balik kesuksesan goyang Caisar yang mampu menghipnotis penikmat acara televisi di Indonesia, ada sebuah fenomena yang hampir selalu menjadi gejala musiman di tanah air tiap kali ada seseorang atau sesuatu yang dianggap mampu ‘menggemparkan’ perhatian orang banyak. Gejala ini penulis sebut sebagai gejala atau sindrom “melu-melu”, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “ikut-ikutan”. Betapa tidak? Sekarang bila kita perhatikan di beberapa acara televisi, konsep acara yang menyisipkan goyangan khas seseorang atau kelompok menjadi daya tarik tersendiri bagi acara tersebut. Sebut saja acara musik yang dipandu Olga Syahputra, Raffi Ahmad dan Denny Cagur yang kini menambahkan goyang gaspol dan goyang jali ke dalam konsep acaranya. Kemudian goyang sundul yang dipopulerkan Sule, Parto dan Andre Taulani dalam acaranya yang mengusung konsep wayang orang. Selain itu, yang paling terbaru adalah goyangan yang dipopulerkan presenter kenamaan Uya Kuya pada acara kuis yang dipandunya. Penulis tidak begitu yakin apakah goyang Caisar tersebut juga adalah salah satu efek sindrom “melu-melu” dari goyang sejenis “gangnam style” atau “harlem shake” yang terlebih dahulu terkenal itu atau tidak. Yang jelas fenomena goyang Caisar telah menciptakan sindrom baru khususnya di  dunia hiburan tanah air.

Fenomena tersebut mengingatkan penulis pada sindrom film horor yang beberapa tahun lalu menjamur di bioskop-bioskop Indonesia. Ketika itu muncul satu film horor yang mampu menyita perhatian banyak penikmat film Indonesia, kemudian berduyun-duyun banyak produser dan sutradara menggarap film ber-genre sejenis. Memang tidak bisa disalahkan ketika satu produser film atau stasiun tv mengekor kesuksesan konsep film atau acara yang telah terlebih dahulu mampu mencuri perhatian masyarakat. Terlebih ketika pangsa pasar hiburan ‘menuntut’ lebih banyak munculnya acara-acara seperti itu. Ibarat pepatah, “di mana ada gula di situ ada semut”. Tetapi di balik semua itu ada yang menarik dari sindrom-sindrom tersebut. Pertama adalah kekuatan media. Penulis yakin goyang Caisar yang sekarang digandrungi banyak orang tidak akan mampu menjadi seperti sekarang bila tidak ada sarana media yang menyampaikannya pada masyarakat. Caisar dan goyang khasnya itu mampu masuk ke dalam setiap sendi dan elemen masyarakat yang pelosok sekalipun. Media telah mengantarkannya sampai pada alat elektronik berbentuk kotak-kubus di setiap rumah di sudut-sudut negeri ini yang jauhnya mungkin ribuan kilometer dari keberadaan Caisar saat menampilkan goyangnya diatas panggung. Betapa banyak fenomena-fenomena di negeri ini bahkan di dunia yang telah di’besar’kan atau sengaja dibuat besar oleh media. Karenanya bila kita mau mendidik masyarakat dan membentuk budaya masyarakat yang baik sebenarnya kita bisa melakukannya melalui media. Sehingga di zaman seperti sekarang ini penguasaan terhadap media adalah sebuah keniscayaan bagi umat Islam yang mencita-citakan kehidupan berkualitas. Seseorang atau lembaga yang memiliki otoritas keagamaan pun harus mendukungnya dengan imbauan, nasehat atau bahkan produk fatwa yang mendukung pembentukan media yang ‘sehat’, bukan malah mengeluarkan fatwa haram tentang media dan segala unsur yang ada di dalamnya, termasuk kesenian. Menurut penulis, sebuah produk fatwa yang dikeluarkan oleh seseorang atau lembaga yang melarang adanya media dan segala unsur di dalamnya adalah fatwa yang tidak mengindahkan aspek maqashid (tujuan diberlakukannya syari’at)  dan mempertimbangkan realitas yang ada.

Hal menarik dari sindrom-sindrom tersebut yang kedua adalah pembentukan paradigma. Salah satu efek besar dari meroketnya popularitas Caisar dan goyangannya adalah munculnya sebuah dorongan kuat yang mampu memaksa para produser dan kreatif acara “ikut-ikutan” (melu-melu) membuat konsep acara yang mirip dengan acara yang melambungkan Caisar (dengan menyisipkan goyang khas dari orang atau kelompok tertentu). Efek “ikut-ikutan” inilah yang menurut penulis bisa membentuk paradigma seseorang. Efek ini dapat membuat orang kurang mampu berfikir di luar cara berfikir orang pada umumnya, atau dalam istilah lain sering disebut berfikir outside the box (berfikir di luar kotak/di luar orang pada umumnya). Walhasil kreatifitas seseorang pun akan terpasung pada hal-hal itu saja, yaitu hal-hal yang sudah dulu dipopulerkan atau dikenalkan oleh orang lain. Cara berfikir kita tidak akan mampu melampaui cara berfikir orang lain,karena kita hanya mengekor (baca: “ikut-ikutan”) popularitas orang tersebut.

Di kehidupan sebagian masyarakat Indonesia berkembang anggapan ‘unik’ bahwa kesuksesan seseorang itu diukur dari apakah ia menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau tidak. Mereka menganggap bahwa kalau sudah jadi PNS, hidup akan menjadi tenang dan ekonomi terjamin. Anggapan ini pada beberapa kasus barangkali benar adanya, tetapi tentu tidak selalu benar.

Anggapan seperti ini, yaitu anggapan tentang ukuran kesuksesan seseorang yang diukur dengan orang tersebut menjadi PNS atau tidak adalah salah satu akibat dari paradigma yang terbentuk karena ketidakmampuan masyarakat kita berfikir di luar cara berfikir orang pada umumnya. Paradigma seperti ini mendorong orang berlomba-lomba untuk menjadi PNS. Akibatnya ada orang yang sangking tinggi cita-citanya untuk menjadi PNS, ia rela menghalalkan segala cara agar impiannya tersebut menjadi terwujud. Padahal menjadi PNS adalah satu dari sekian ribu jalan seseorang untuk meniti kesuksesan di dunia.

Pada akhirnya tulisan ini bukan bertujuan untuk melarang orang menikmati dan mengikuti goyang Caisar, apalagi melarang orang menjadi PNS. Akan tetapi penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk melakukan refleksi terhadap fenomena baru di belantika hiburan tanah air yang sekarang ibarat menjadi magnet bagi masyarakat untuk memilih gaya dan budaya apa yang ingin mereka tiru. Jika media kita hanya menayangkan tontonan yang berbau mistis-pornografis, banyolan, gosip dan drama-drama yang tidak mendidik, mau dibawa ke mana negeri kita ini?


Niki Alma Febriana Fauzi, Alumni Ponpes Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar