Pada momen Ramadan lalu,
masyarakat Indonesia ‘dihebohkan’ dengan munculnya sebuah goyang yang bisa
dikatakan menggemparkan industri hiburan Indonesia. Goyang yang diciptakan oleh
seorang komedian baru bernama Caisar Aditya Putra atau yang akrab disapa Caisar
mampu menghipnotis beribu pasang mata masyarakat kita pada saat sahur, di satu
acara salah satu stasiun tv swasta negeri ini. Goyangan yang sederhana, asyik,
sekaligus juga diiringi sebuah lagu yang ‘pas’, membuat goyang Caisar ini mudah
dihafal dan diikuti banyak orang. Di dunia maya, tepatnya di salah satu situs
ternama, You Tube, banyak sekali ditemukan video-video yang meniru gaya
khas Caisar dalam bergoyang. Mereka para followers goyang Caisar
memanfaatkan situs ini untuk numpang ngeksis, ngetren, narsis
atau hanya sekedar turut mempopulerkan goyang Caisar tersebut. Sementara di
dunia nyata, tak jarang anak-anak dan juga remaja dengan tidak malu-malu
berteriak keras mencucapkan “keep smile”, sesuai dengan nada Caisar
sebelum mulai bergoyang.
Setali tiga uang, di balik
popularitas goyang Caisar ini tidak dipungkiri membuat nama si kreator goyangan
meroket namanya. Mengawali karir di belakang layar dengan menjadi asisten
beberapa komedian yang sudah dulu terkenal, Caisar perlahan tapi pasti
mensejajarkan dirinya dengan para komedian tersebut. Betapa banyak acara talk
show di berbagai stasiun tv yang mengundangnya untuk berbagi cerita.
Pundi-pundi rupiahnya pun semakin jauh menebal bila dibandingkan dulu ketika ia
menjadi seorang tukang ojek. Sekarang siapa yang tidak kenal dengan Caisar dan
goyangannya. Mulai dari anak-anak hingga orang tua mengenal sosok pria 24 tahun
ini.
Kini setelah Ramadan usai,
acara yang menampilkan goyang Caisar itu pun turut menyudahi
episode-episodenya. Namun karena melihat animo tinggi masyarakat untuk
kembali menonton aksi Caisar, pihak stasiun tv yang menayangkan acara tersebut
memutar kembali acara yang pada saat pemutaran versi live-nya selalu
menempati rating teratas tontonan sahur. Kini para penonton
penggila goyang Caisar tidak perlu menunggu hingga Ramadan tahun depan untuk
melihatnya. Di pagi dan malam Caisar akan kembali tampil di layar kaca untuk
menggoyang para penonton.
Di balik kesuksesan goyang
Caisar yang mampu menghipnotis penikmat acara televisi di Indonesia, ada sebuah
fenomena yang hampir selalu menjadi gejala musiman di tanah air tiap kali ada
seseorang atau sesuatu yang dianggap mampu ‘menggemparkan’ perhatian orang
banyak. Gejala ini penulis sebut sebagai gejala atau sindrom “melu-melu”, yang
dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “ikut-ikutan”. Betapa tidak? Sekarang
bila kita perhatikan di beberapa acara televisi, konsep acara yang menyisipkan
goyangan khas seseorang atau kelompok menjadi daya tarik tersendiri bagi acara
tersebut. Sebut saja acara musik yang dipandu Olga Syahputra, Raffi Ahmad dan
Denny Cagur yang kini menambahkan goyang gaspol dan goyang jali ke dalam konsep
acaranya. Kemudian goyang sundul yang dipopulerkan Sule, Parto dan Andre
Taulani dalam acaranya yang mengusung konsep wayang orang. Selain itu, yang
paling terbaru adalah goyangan yang dipopulerkan presenter kenamaan Uya Kuya
pada acara kuis yang dipandunya. Penulis tidak begitu yakin apakah goyang
Caisar tersebut juga adalah salah satu efek sindrom “melu-melu” dari goyang
sejenis “gangnam style” atau “harlem shake” yang terlebih dahulu
terkenal itu atau tidak. Yang jelas fenomena goyang Caisar telah menciptakan
sindrom baru khususnya di dunia hiburan tanah air.
Fenomena tersebut
mengingatkan penulis pada sindrom film horor yang beberapa tahun lalu menjamur
di bioskop-bioskop Indonesia. Ketika itu muncul satu film horor yang mampu
menyita perhatian banyak penikmat film Indonesia, kemudian berduyun-duyun
banyak produser dan sutradara menggarap film ber-genre sejenis. Memang
tidak bisa disalahkan ketika satu produser film atau stasiun tv mengekor
kesuksesan konsep film atau acara yang telah terlebih dahulu mampu mencuri
perhatian masyarakat. Terlebih ketika pangsa pasar hiburan ‘menuntut’ lebih
banyak munculnya acara-acara seperti itu. Ibarat pepatah, “di mana ada gula
di situ ada semut”. Tetapi di balik semua itu ada yang menarik dari
sindrom-sindrom tersebut. Pertama adalah kekuatan media. Penulis yakin goyang
Caisar yang sekarang digandrungi banyak orang tidak akan mampu menjadi seperti sekarang
bila tidak ada sarana media yang menyampaikannya pada masyarakat. Caisar dan
goyang khasnya itu mampu masuk ke dalam setiap sendi dan elemen masyarakat yang
pelosok sekalipun. Media telah mengantarkannya sampai pada alat elektronik
berbentuk kotak-kubus di setiap rumah di sudut-sudut negeri ini yang jauhnya
mungkin ribuan kilometer dari keberadaan Caisar saat menampilkan goyangnya
diatas panggung. Betapa banyak fenomena-fenomena di negeri ini bahkan di dunia
yang telah di’besar’kan atau sengaja dibuat besar oleh media. Karenanya bila
kita mau mendidik masyarakat dan membentuk budaya masyarakat yang baik
sebenarnya kita bisa melakukannya melalui media. Sehingga di zaman seperti
sekarang ini penguasaan terhadap media adalah sebuah keniscayaan bagi umat
Islam yang mencita-citakan kehidupan berkualitas. Seseorang atau lembaga yang
memiliki otoritas keagamaan pun harus mendukungnya dengan imbauan, nasehat atau
bahkan produk fatwa yang mendukung pembentukan media yang ‘sehat’, bukan malah
mengeluarkan fatwa haram tentang media dan segala unsur yang ada di dalamnya,
termasuk kesenian. Menurut penulis, sebuah produk fatwa yang dikeluarkan oleh
seseorang atau lembaga yang melarang adanya media dan segala unsur di dalamnya
adalah fatwa yang tidak mengindahkan aspek maqashid (tujuan
diberlakukannya syari’at) dan mempertimbangkan realitas yang ada.
Hal menarik dari
sindrom-sindrom tersebut yang kedua adalah pembentukan paradigma. Salah satu
efek besar dari meroketnya popularitas Caisar dan goyangannya adalah munculnya
sebuah dorongan kuat yang mampu memaksa para produser dan kreatif acara
“ikut-ikutan” (melu-melu) membuat konsep acara yang mirip dengan acara yang
melambungkan Caisar (dengan menyisipkan goyang khas dari orang atau kelompok
tertentu). Efek “ikut-ikutan” inilah yang menurut penulis bisa membentuk
paradigma seseorang. Efek ini dapat membuat orang kurang mampu berfikir di luar
cara berfikir orang pada umumnya, atau dalam istilah lain sering disebut
berfikir outside the box (berfikir di luar kotak/di luar orang pada
umumnya). Walhasil kreatifitas seseorang pun akan terpasung pada hal-hal itu
saja, yaitu hal-hal yang sudah dulu dipopulerkan atau dikenalkan oleh orang
lain. Cara berfikir kita tidak akan mampu melampaui cara berfikir orang
lain,karena kita hanya mengekor (baca: “ikut-ikutan”) popularitas orang
tersebut.
Di kehidupan sebagian
masyarakat Indonesia berkembang anggapan ‘unik’ bahwa kesuksesan seseorang itu
diukur dari apakah ia menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau tidak. Mereka
menganggap bahwa kalau sudah jadi PNS, hidup akan menjadi tenang dan ekonomi
terjamin. Anggapan ini pada beberapa kasus barangkali benar adanya, tetapi
tentu tidak selalu benar.
Anggapan seperti ini,
yaitu anggapan tentang ukuran kesuksesan seseorang yang diukur dengan orang
tersebut menjadi PNS atau tidak adalah salah satu akibat dari paradigma yang
terbentuk karena ketidakmampuan masyarakat kita berfikir di luar cara berfikir
orang pada umumnya. Paradigma seperti ini mendorong orang berlomba-lomba untuk
menjadi PNS. Akibatnya ada orang yang sangking tinggi cita-citanya untuk
menjadi PNS, ia rela menghalalkan segala cara agar impiannya tersebut menjadi
terwujud. Padahal menjadi PNS adalah satu dari sekian ribu jalan seseorang
untuk meniti kesuksesan di dunia.
Pada akhirnya tulisan ini
bukan bertujuan untuk melarang orang menikmati dan mengikuti goyang Caisar,
apalagi melarang orang menjadi PNS. Akan tetapi penulis hanya ingin mengajak
para pembaca untuk melakukan refleksi terhadap fenomena baru di belantika
hiburan tanah air yang sekarang ibarat menjadi magnet bagi masyarakat untuk
memilih gaya dan budaya apa yang ingin mereka tiru. Jika media kita hanya
menayangkan tontonan yang berbau mistis-pornografis, banyolan, gosip dan
drama-drama yang tidak mendidik, mau dibawa ke mana negeri kita ini?
Niki Alma Febriana Fauzi, Alumni Ponpes
Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih
Muhammadiyah Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar