Selasa, 03 Desember 2013

Kalau Syiah Bukan Islam, Terus Gue Harus Bilang “Wow” Githu? (Sebuah Refleksi atas Publikasi Baliho Anti Syiah di Yogyakarta)



Sekitar dua mingguan lalu ketika mengendarai motor di satu jalan di Yogyakarta pandangan saya sedikit terganggu dengan sebuah baliho besar di pinggir pertigaan Parkir Ngabean Yogyakarta. Tulisan pada baliho itu tak kalah ‘menyengat’ dibanding terik matahari Jogja siang itu. Dengan kecepatan yang agak diperlambat saya mencoba mengamati lebih seksama. “Jangan Ragu!! Syiah Bukan Islam”. Demikian sepenggal kalimat besar yang ada pada baliho tersebut.

Tak lama berselang dari kejadian itu, sekitar beberapa hari kemudian, ketika saya melewati Jalan Wirosaban, tepat di hadapan muka sebelah timur Rumah Sakit Kota Yogyakarta (atau biasa disebut Rumah Sakit Wirosaban) terpampang pula dengan angkuh baliho besar seperti yang saya lihat di pinggir pertigaan Parkir Ngabean Yogyakarta. Pandangan saya kembali terganggu dengan kalimat provokatif pada baliho itu.
Saya mencoba berangan menjadi orang lain ketika tulisan dalam baliho tersebut saya baca. Barangkali perasaan penasaran, biasa-biasa saja, risih (seperti saya), kebencian yang semakin menjadi-jadi terhadap Syiah atau mungkin malah menjadi simpati pada Syiah, akan muncul pada benak masing-masing pembaca. Tapi selama berangan menjadi orang lain, saya belum mampu menerawang tujuan utama kelompok yang memasang baliho tersebut.



Terlepas dari pedebatan sengit mengenai status Syiah dalam Islam, dalam kacamata kebhinekaan negara Indonesia, apapun tujuan pemasangan baliho tersebut jelas tak dapat dibenarkan. Seruan bernada provokatif untuk membenci golongan tertentu sangat terasa dalam baliho tersebut. Keberagaman beragama, berpaham dan berkeyakinan dalam masyarakat plural seperti yang terjadi di masyarakat Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat hindari. 

Baliho anti Syiah yang sangat provakatif tersebut (seperti yang saya jumpai dan kemungkinan besar tidak hanya di dua tempat itu) dikhawatirkan akan menjadi nilai yang diaktulisasikan dalam kehidupan masyarakat sebagai legitimasi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan anarki, radikal dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Sehingga kekhawatiran terhadap apa yang biasa disebut dalam teori-teori sosial sebagai institutionalization of violence (kekerasan yang diinstitusikan/pelembagaan kekerasan) benar-benar akan terjadi jika tindakan-tindakan seperti pemasangan atribut provokatif itu dianggap benar dan wajar.

Efek Bumerang Publisitas

Keberagaman dalam memaknai kalimat-kalimat yang ada dalam baliho anti Syiah juga dapat dilihat dari perspektif ilmu komunikasi. Jika tujuan kelompok yang memasang baliho itu adalah untuk menjauhkan dan menghindarkan masyarakat dari paham Syiah yang akhir-akhir ini menjadi polemik, maka bisa jadi (secara tidak sadar) justru akan membuat publik yang awalnya tidak tahu-menahu masalah Syiah akan mencari tahu dan pada gilirannya akan menentukan sikap, apakah akan menjauh, menghindar dan berhati-hati atau malah justru tertarik, berempati dan bersimpati. Inilah yang disebut oleh salah seorang dosen muda ilmu komunikasi UAD (Universitas Ahmad Dahlan), Muhammad Najih Farihanto, sebagai “efek bumerang publisitas”. Tujuan publikasi tidak selamanya akan sesuai dan selaras (koheren) dengan tujuan awal pihak publikator ketika mempublikasikan sesuatu. Jika asumsi bahwa tujuan awal publikasi baliho anti Syiah itu memang benar untuk menghimbau masyarakat agar menjauhi paham Syiah, namun ternyata masyarakat justru tertarik dan pada gilirannya malah bersimpati dan bergabung, maka inilah efek bumerang publisitas dari pemasangan baliho tersebut.

Efek bumerang publisitas lain yang pernah terjadi di Indonesia adalah ketika media secara masif memberitakan pro-kontra kedatangan bintang porno asal Jepang, Maria Ozawa atau akrab disapa Miyabi beberapa tahun lalu. Perdebatan tentang kedatangan Miyabi yang seharusnya tidak dipublikasikan secara berlebih, berefek serius terhadap beberapa kasus asusila di negeri ini. Pemberitaan itu (sedikit banyak) telah menginisiasi beberapa orang untuk bertindak asusila.

Banyak masyarakat yang ketika itu belum tahu siapa Miyabi beramai-ramai mencari tahu. Tidak hanya kalangan dewasa, remaja bahkan anak kecil tak mau ketinggalan berebut berita tentang Miyabi – bertanya pada mesin pencari, Google. Semua seakan terhipnotis dengan fenomena Miyabi ketika itu. Alih-alih menghimbau masyarakat agar tidak mendukung kedatangan miyabi dengan berbagai publikasi di media, hal tersebut justru menjadi bumerang tersendiri bagi pihak kontra. Efek bumerang itu tidak hanya berdampak pada pihak kontra tapi juga masyarakat secara luas.

Dari beberapa perspektif ini nampaknya pemasangan baliho anti Syiah yang kini marak di beberapa titik di Yogyakarta perlu dipertimbangkan kembali oleh pihak publikator dan para pendukungnya. Tulisan ini tidak bermaksud melarang orang atau kelompok tertentu untuk mengekpresikan loyalitas dan emosionalitas-nya dalam beragama. Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi dari sebuah fenomena baru di negeri kasultanan Ngayogyakarta yang cukup mencuri perhatian.

Ketika berangan menjadi orang lain saat membaca baliho anti Syiah, saya juga tak ketinggalan berangan menjadi seorang alay (anak lebay). Saya membayangkan menjadi anak lebay ketika membaca kalimat di baliho tersebut. Tak tahu kenapa tiba-tiba ketika saya memebayangkan dalam posisi anak lebay, terbetik dalam hati untuk mengatakan (dengan nada alay), “Kalau Syiah bukan Islam, terus gue harus bilang ‘wow’ githu?”.



Blabag Ombo Residence, 27 November 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar