Senin, 15 September 2014

Kalender Islam Internasional dan Problem Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah


Pada bulan Dzulhijah tahun ini (1435 H/2014 M) kemungkinan besar akan terjadi perbedaan di tengah-tengah umat Islam dalam menjatuhkan tanggal untuk perayaaan hari raya Idul Adha. Hal ini otomatis juga akan membawa kita pada konsekuensi perbedaan dalam melaksanakan puasa Arafah, ibadah puasa sunah yang dalam keterangan hadis dijelaskan balasan bagi orang yang mengerjakan akan dihapuskan oleh Allah dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.

Muhammadiyah yang sejak jauh-jauh hari mengeluarkan maklumat terkait jatuhnya awal bulan-bulan baru khususnya bulan ibadah telah menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 1435 H akan jatuh pada hari Sabtu, 4 Oktober 2014 (puasa Arafah: 3 Oktober) dengan menggunakan metode Hisab. Sementara pemerintah dan ormas-ormas Islam yang lain masih harus menunggu keputusan sidang isbat pada tanggal 24 September 2014. Meski masih belum ditetapkan oleh pemerintah, tapi secara astronomis ketetapan pemerintah itu dapat diprediksi melalui data astronomis yang ada. Pada saat ijtimak Dzulhijah 1435 yang terjadi pada hari Rabu, 24 September 2014 pukul 13:15:45 WIB tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta adalah (φ = -07 48 dan λ = 110 21 BT) = +0 30 04’’. Artinya, menurut kriteria Muhammadiyah meskipun tinggil hilal masih sangat rendah tapi sejatinya hilal sudah wujud dan berarti pada sore hari itu ketika terbenam matahari dan keesokan harinya bulan baru sudah masuk. Berbeda dengan kriteria Imkanur Rukyat yang dipegangi pemerintah, di mana harus ada syarat tinggi bulan minimal 2 derajat. Jika pemerintah konsisten dengan kriteria yang dipeganginya, maka secara kaidah astronomis pada sore hari tanggal 24 September 2014 dan keesokan harinya bulan baru belum akan dimulai, walaupun ada orang yang mengklaim telah melihat hilal pada saat terbenam matahari sore itu. Bulan Dzulhijah menurut kriteria pemerintah baru akan dimulai tanggal 26 Septermber 2014 dan oleh karenanya hari raya  Idul Adha akan jatuh pada tanggal 5 Oktober 2014 (puasa Arafah: 4 Oktober).

Di Arab Saudi, menurut data yang penulis dapatkan, pada tanggal 24 September 2014 tinggi hilal juga masih sangat rendah, yaitu kira-kira di bawah satu derajat. Jikapun di Arab Saudi rukyat akan dilakukan dengan menggunakan bantuan teleskop, maka kemungkinan hilal akan terlihat masih sangat sulit. Apalagi bila rukyat dilakukan hanya menggunakan mata telanjang. Inilah yang menjadikan penulis cukup yakin bahwa di Arab Saudi nanti bulan Dzulhijah baru akan dimulai tanggal 26 September 2014, dan Idul Adha akan jatuh pada tanggal 5 Oktober 2014 (puasa Arafah: 4 Oktober).

Dari penjelasan di atas kita dapat memprediksi bahwa perayaan hari raya Idul Adha 1435 H kemungkinan besar akan terjadi perbedaan. Masalah yang muncul di tengah masyarakat kemudian adalah tentang kapan waktu pelaksanaan puasa Arafah? Apakah pada tanggal 9 Dzulhijah di setiap negara, meskipun itu berbeda dengan Arab Saudi? atau pada saat jamaah haji sedang wukuf di Arafah, tanpa perlu memusingkan di negara lain tanggal berapa? Pertanyaan itu mulai banyak muncul di tengah masyarakat hari ini. Mereka resah bila nanti harus melaksanakan puasa Arafah berbeda dengan Arab Saudi. Di kampung Nitikan Baru, di mana penulis sekarang tinggal, sudah banyak jamaah yang bertanya-tanya terkait masalah ini.

Menurut pembacaan penulis terhadap beberapa sumber, setidaknya ada dua pendapat terkait puasa Arafah itu kapan dilaksanakan. Pendapat pertama mengatakan bahwa kita umat Islam yang tidak melaksanakan haji disunahkan untuk melaksanakan puasa pada saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Dengan kata lain, pendapat pertama ini mengidentikkan sekaligus mengaitkan puasa Arafah itu dengan pelaksaan wukuf di Arafah. Bila jamaah haji di Arafah melaksanakan wukuf hari ini, maka di hari yang sama pula kita umat Islam yang tidak berhaji disunahkan melaksanakan puasa. Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa sunah pada tanggal 9 Dzulhijah. Jadi, mau sama atau tidak dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, puasa Arafah menurut pendapat ini adalah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijah menurut penanggalan setempat atau negara masing-masing.

Puasa Arafah sejatinya adalah puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijah di saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Menurut hemat penulis, selain puasa Arafah itu identik dan terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, puasa ini juga harus dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijah. Jadi sesungguhnya kedua pendapat tersebut tidak bisa dipahami secara terpisah. Di saat yang sama puasa Arafah selain harus dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijah, juga pelaksanaannya harus berbarengan dengan wukuf di Arafah. Di sinilah kemudian muncul problem pelaksanaan puasa Arafah ketika misalnya di satu sisi di suatu belahan bumi sudah masuk tanggal 9 Dzulhijah, tetapi di Arafah belum dilaksanakan wukuf karena memang di sana belum masuk tanggal 9 Dzulhijah.

Problem Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah

Kedua pendapat tentang kapan dilaksanakannya puasa Arafah sebagaimana disebutkan di atas sesungguhnya tidak memecahkan problem utama terkait masalah perbedaan jatuhnya puasa Arafah. Pendapat-pendapat itu hanya menenangkan sejenak perasaan umat Islam yang mengalami perbedaan jatuhnya pelaksanaan puasa Arafah. Prof. Dr. Syamsul Anwar, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga yang juga menjadi Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan bahwa problem utama yang mengakibatkan perbedaan jatuhnya puasa Arafah sesungguhnya ada pada tempat lain, yaitu  tidak adanya kalender Islam internasional yang mampu menyatukan seluruh agenda umat Islam yang ada di dunia, termasuk dalam hal ini agenda pelaksanaan ritual ibadah. Ironis memang, ketika usia peradaban Islam yang hampir menyentuh angka 1,5 milenium, masih saja umat Islam ini belum memiliki kalender Islam pemersatu. Kalender Islam pemersatu artinya satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Tidak adanya kalender Islam internasional ini mengakibatkan semacam kekacauan pengorganisasian waktu umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam di suatu tempat di belahan bumi tertentu, misalnya, harus melaksanakan momen keagamaan berbeda dengan umat Islam di belahan bumi yang lain pada tahun-tahun tertentu. Ini tentu menjadikan problem tersendiri di tengah umat. Belum lagi jika kita berbicara citra Islam di tengah masyarakat dunia. Umat Islam bisa jadi dituding sebagai umat yang selalu tidak bisa bersatu, hanya karena perbedaan momen-momen keagamaan.

Idris ibn Sari, Presiden Asosiasi Astronomi Maroko, mengatakan bahwa salah satu penyebab utama yang menjadi penghambat terbesar bagi terwujudnya kalender Islam internasional adalah karena sebagian besar umat Islam sampai hari ini masih saja berpegang teguh kepada rukyat. Mereka tidak menyadari bahwa selama umat Islam masih menjadikan rukyat sebagai metode dalam menentukan awal bulan, maka selama itu pula peradaban Islam akan menjadi peradaban yang tak memiliki sistem waktu yang baik dan reliabel. Hal ini karena rukyat tidak akan bisa dijadikan acuan untuk membuat kelender. Selain pada setiap bulan mata kita harus menengadah ke langit untuk melihat apakah bulan baru sudah masuk atau belum, rukyat menurut Syamsul Anwar juga tidak bisa meliputi seluruh muka bumi pada visibilitas pertamanya, sehingga hal tersebut akan menjadikan bumi terbelah menjadi dua; antara yang dapat merukyat dan yang tidak. Itulah beberapa kelemahan rukyat. Dulu Rasulullah memang menggunakan rukyat dalam menentukan awal bulan, tapi hari ini rukyat tidak dapat dijadikan lagi pegangan karena akan banyak problem umat yang tidak dapat terpecahkan. Satu dari sekian banyak problem yang tidak mungkin terpecahkan itu adalah  tidak mungkinnya umat Islam memiliki kalender Islam internasional selama umat Islam masih berpegang teguh pada rukyat. Yang berarti umat Islam akan selalu berbeda dalam melaksanakan momen-momen keagaamaan pada tahun-tahun tertentu. Nampaknya kita semua harus legowo bahwa satu-satunya cara untuk mewujudkan kalender Islam internasional adalah dengan menerima hisab sebagai metode penentuan awal bulan. Ini bukan soal Muhammadiyah atau tidak, karena hisab jika hanya dilakukan pada wilayah lokal saja juga tidak akan bisa menyatukan jatunya awal bulan baru serentak di seluruh kawasan muka bumi. Tapi paling tidak, sebagaimana dikatakan Syamsul Anwar, hisab tidak seperti rukyat. Ia memberi peluang bagi kemungkinan penyatuan sistem penanggalan Islam global, sehingga problem perbedaan jatuhnya puasa Arafah juga akan hilang dengan sendirinya.

Kalender Islam Internasional dan Hutang Peradaban

Pada acara Halaqah Nasional Ahli Hisab dan Fikih Muhammadiyah yang diadakan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 9 dan 10 september 2014 lalu, seorang narasumber dari Malaysia, Prof. Dr. Tono Saksono menyajikan sebuah makalah yang sangat menarik. Beliau mangaitkan masalah astronomi tentang kalender Islam internasional yang tidak dimiliki umat Islam saat ini dengan aspek ekonomi. Menurutnya sikap umat Islam yang memilih untuk tidak memiliki kalender Islam internasional mengakibatkan hutang peradabaan yang semakin lama kian menumpuk. Selama ini umat Islam terkesan sudah puas dengan menggunakan kalender Gregorian dalam masalah-masalah muamalahnya (pendidikan, perdagangan, sosial-politik, dan lain-lain). Sementara dalam masalah ibadah, umat Islam tak habis-habisnya selalu bertikai terkait perbedaan jatuhnya momen-momen kegamaan mereka. 

Tono Saksono dalam makalahnya membuktikan bahwa anggapan problem penggunaan kalender Gregorian hanyalah problem muamalah sama sekali tidak benar. Mengabaikan penggunaan kalender Islam dalam praktek ekonomi sehari-hari ternyata memiliki konsekuensi syariah yang sangat serius. Akibat penggunaan kalender Gregorian dalam praktek ekonomi umat Islam sekarang ini telah menyebabkan akumulasi kekurangan pembayaran zakat yang sangat besar. Karena kalender Islam sebetulnya sekitar 11,5 hari lebih pendek, penggunaan kalender Gregorian pada sistem akuntansi bank syariah dan bisnis umat Islam yang lain mengalami potensi kekurangan pembayaran zakat sebesar 3 % per tahun. Ini berarti, pada setiap tiga puluh tahun operasi bisnis umat Islam, akan terdapat zakat yang tak terbayar sekitar satu tahun. Penelitian Tono Saksono ini tentu mencengangkan kita semua. Ini menjadi PR besar bagi kita umat Islam. Mendesaknya penyatuan kalender Islam bukan sekadar kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja, tapi ini demi hutang peradaban Islam yang harus segera terbayarkan dan tentunya demi kemaslahatan yang lebih besar. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.




Data dalam tulisan ini adalah sedikit rangkuman penulis dari diskusi dan makalah yang disampaikan pada acara Halaqah Nasional Ahlii Hisab dan Fikih Muhammadiyah, 9-10 September 2014.




Niki Alma Febriana Fauzi, Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar