Salah
satu problem kompleks yang dihadapi umat Islam hari ini adalah tentang
ketiadaan sistem tata waktu yang dapat menyatukan seluruh agenda umat Islam di
muka bumi, baik agenda ibadah maupun muamalah. Dikatakan problem kompleks
karena ketiadaan sistem waktu ini menyebabkan rentetan masalah yang timbul di
tengah umat Islam. Satu di antara rentetan masalah itu adalah terjadinya
perbedaan pelaksanaan puasa Arafah antara satu tempat dengan tempat lain
(Syamsul Anwar: Kalender Hijriah Global, Penyatuan Jatuhnya Hari Arafah,
h. 2). Puasa Arafah adalah satu macam ibadah yang pelaksanaannya terkait dengan
peristiwa yang terjadi ditempat lain, yaitu Arafah. Di mana ketika di Arafah sesungguhnya
sudah masuk tanggal 9 Dzulhijah tapi ada beberapa kawasan yang belum masuk
tanggal 9 Dzulhijah, maka di sinilah kemudian muncul problem. Selain masalah
tersebut ada masalah lain yang hampir selalu menghampiri umat Islam setiap kali
akan memasuki bulan Ramadan dan Syawal. Umat Islam di seluruh dunia pada
bulan-bulan tersebut mengalami ketidakpastian tentang kapan mereka harus
memulai puasa dan hari raya. Problem mendasar dari semua yang dihadapi umat
Islam tersebut adalah karena umat Islam sampai hari ini tidak memiliki suatu
sistem tata waktu yang bersifat unifikatif. Ironis memang, ketika usia
peradaban Islam yang hampir menyentuh angka 1,5 milenium, masih saja peradaban
ini belum memiliki kalender Islam pemersatu. Padahal sebagaimana disebutkan
Syamsul Anwar, “setiap peradaban besar yang lahir ke dalam panggung sejarah
pasti memiliki suatu sistem penanggalan sesuai dengan pandangan hidup dan nilai
yang dikembangkan oleh peradaban itu.” (Syamsul Anwar: Kalender Hijriah
Global, Penyatuan Jatuhnya Hari Arafah, h. 1dan 7-12).
Di
tengah masalah yang sedang menghampiri kita itu, ada beberapa ahli yang mencoba
menyumbangkan ide dan gagasan cemerlang mereka demi terwujudnya kalender Islam
internasional. Di antara ahli tersebut adalah Syamsul Anwar, seorang Guru Besar
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga menjadi Ketua Majelis Tarjih Pimpinan
Pusat Muhammadiyah melalui banyak karyanya. Beliau termasuk satu dari sedikit
orang, kalau bukan satu-satunya, di Indonesia yang concern terhadap isu
kalender Islam internasional. Tulisan yang ada di hadapan pembaca ini adalah
upaya penulis meresensi salah satu buah karya beliau berjudul “Diskusi &
Korespondensi Kalender Hijriah Global”.
Buku
ini adalah kumpulan dari tulisan-tulisan beliau yang sebagian besar pernah
dipublikasikan melalui makalah. Selain itu ada dua tulisan baru dalam buku ini
yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Keseluruhan jumlah tulisan yang
ada di buku ini adalah 11 yang dibagi menjadi 11 bab + pendahuluan. Dengan
judul “Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global”, buku ini
terbilang komprehensif karena hampir memuat seluruh bahasan tentang apa saja
yang terkait tentang pengkalenderan, khususnya dalam upaya menyatukan sistem
waktu umat Islam. Dimulai dengan tulisan tentang garis batas tanggal. Tulisan
pertama ini mengulas gagasan sebagian orang yang berpendapat bahwa garis batas
tanggal yang sekarang berada di Greenwich harus diubah ke Kakbah. Menurut
sebagian orang yang berpendapat demikian, kita sekarang yang mengikuti
Greenwich Mean Time (GMT) dan berlokasi antara Arab Saudi dan Garis Tanggal
Internasional (GTI) telah melanggar sunah Rasulullah saw. Syamsul Anwar dalam
tulisan pertama ini membantah anggapan itu sekaligus menunjukkan bahwa gagasan
menjadikan Kakbah sebagai patokan sistem waktu justru menimbulkan masalah baru,
yaitu akan membelah hari umat Islam yang ada di sebelah barat Kakbah dan timur
Kakbah. Padahal Kakbah dan Mekah adalah tempat yang padat penduduk, bahkan di
sekeliling Kakbah itu sendiri umat Islam hampir setiap hari melakukan Tawaf dan
ibadah yang lain.
Tulisan
kedua membahas tentang pihak yang optimis dan pihak yang pesimis terhadap upaya
penyatuan kalender Islam. Tulisan ini berawal dari sebuah surat yang dikirimkan
kepada Majelis Tarjih yang ditulis KH. Maman Abdurrahman Ks, anggota Dewan
Hisab Rukyat Pimpinan Pusat PERSIS. Menurut Syamsul Anwar, di tengah wacana
penyatuan kalender Islam ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok; kelompok
pesimis dan kelompok optimis. Kelompok yang pesimis berpandangan bahwa tidak
mungkin awal bulan kamariah disatukan, karena kenyataan alam menunjukkan bahwa
tampakan atau wujud pertama hilal tidak merata di seluruh muka bumi. Selain itu
luas dan beragamnya komunitas muslim di dunia akan meyulitkan untuk mencapai
kesepakatan dalam penyatuan pandangan mengenai awal bulan kamariah, khususnya
bulan-bulan ibadah. Akan tetapi di pihak lain banyak pakar yang yakin bahwa
kita bisa memiliki kalender Islam internasional. Optimisme ini disadarkan pada
falsafah dasar yang diajarkan Nabi saw dalam sebuah hadis bahwa, “setiap ada
penyakit pasti ada obatnya...”. Ini artinya bahwa setiap problem tentu ada
jalan keluar dan pemecahannya. Demikian pula halnya dengan awal bulan kamariah.
Tulisan
ketiga dan keempat mengkaji tentang beberapa model hisab urfi sebagai landasan
dalam pembuatan kalender. Benang merah dari tanggapan Syamsul Anwar terhadap
kedua tulisan tersebut adalah bahwa kalender dengan berlandaskan hisab urfi
tidak dapat dijadikan pegangan untuk membuat kalender Islam internasional,
karena selain perhitungan kalender hisab urfi tidak sesuai dengan pergerakan
faktual bulan di langit juga karena kalender jenis ini tidak sesuai dengan
sunah Rasulullah saw. Di bagian bahasan kalender hisab urfi dalam bukunya ini
juga ada satu hal menarik yang disajikan Syamsul Anwar, yaitu beliau memaparkan
temuan barunya terkait kapan al-Qur’an itu pertama kali turun. Dengan
pendekekatan interkonektif antara ilmu hadis, sejarah dan astronomi, Syamsul
Anwar berkesimpulan bahwa al-Qur’an diwahyukan pertama kali pada malam senin
tanggal 19 Ramadan 14 sebelum hijrah (25 Agustus 609 M), bukan tanggal 17
Ramadan sebagaimana banyak diyakini.
Tulisan
kelima adalah respon Syamsul Anwar atas rekor fantastis seorang astronom
Perancis bernama Thiery Legault ketika mampu merukyat hilal dengan elongasi
yang sangat kecil. Rekor baru yang ditorehkan Legault ini memberikan semacam
kabar gembira dan harapan baru, khususnya di Indonesia, karena rekor tersebut dianggap
akan dapat mendekatkan (bahkan mungkin menyatukan) antara hisab dan rukyat yang
selama ini sama-sama kita ketahui menimbulkan pertikaian yang tak kunjung
menemukan akhir. Memang harus diakui bahwa terobosan Legault ini banyak
memberikan manfaat, akan tetapi menurut Syamsul Anwar di balik itu semua justru
terobosan Legault akan mengundang perdebatan baru yang jumlahnya tidak hanya
satu. Pertama, apakah keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari
terbenam merupakan suatu keharusan untuk bisa memasuki bulan kamariah baru atau
sudah tidak diperlukan lagi karena hilal sudah terlihat saat ijtimak, meskipun
saat matahari tenggelam bulan sudah di bawah ufuk? Kedua, aakah rukyat
syar’i itu adalah rukyat saat matahari terbenam sebagaimana dilakukan Nabi,
ataukah rukyat saat mana pun sejak terjadinya ijtimak hingga sebelum gurub
meskipun saat matahari terbenam hilal sudah tidak mungkin dilihat karena bulan
sudah tenggelam di balik ufuk?
Perdebatan
itu belum dikaitkan dengan upaya penyatuan kalender Islam internasional. Bila
dikaitkan, maka terobosan Legault ini tidak akan banyak menolong dalam upaya
tersebut, karena metode yang dipakai Legault akan meradikalisasi masuknya bulan
baru, dan dari perspektif penyatuan penanggalan hijriah sedunia memaksa kawasan
ujung timur bumi masuk bulan baru sebelum terjadinya ijtimak pada hari
sebelumnya. Padahal hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan melanggar
salah satu syarat validitas kalender Islam yang ideal.
Pada
tulisan berikutnya, yaitu tulisan keenam, Syamsul Anwar memaparkan perkembangan
upaya penyatuan kelender Islam internasional. Dalam catatannya, berbagai
pertemuan internasional untuk membahas upaya penyatuan kalender Islam telah
banyak dilakukan. Dalam pertemuan-pertemuan itu pula para ahli memperkenalkan
kalender mereka yang akan diusulkan menjadi kalender Islam internasional.
Secara umum, dalam upaya penyatuan kalender Islam sedunia ada dua kategori
kalender; kalender zonal dan kalender terpadu (unifikatif). Dalam tulisannya
yang keenam ini, Syamsul Anwar menyajikan beberapa contoh kalender yang
termasuk dalam dua kategori tersebut.
Jika
pada tulisan keenam Syamsul Anwar menyajikan beberapa pemikiran yang berkembang
tentang penyatuan kalender Islam, pada tulisan ketujuh selanjutnya Syamsul
Anwar mengerucutkan pada empat kalender yang diusulkan dalam Temu Pakar II
untuk dijadikan kalender Islam Internasional. Dalam kalender Islam
internasional ini yang berlaku adalah satu hari satu tanggal di seluruh dunia
dan sekaligus menolak konsep kalender zonal. Empat kalender yang diusulkan, dan
saat ini sedang diuji adalah: (a) Kalender al-Husain Diallo, (b) Kalender
Libia, (c) Kalender Ummul Qura, dan (d) Kalender ‘Abdur Raziq/Shaukat.
Pada
tulisan kedelapan Syamsul Anwar menyajikan korespondensi yang ia lakukan dengan
salah seorang konseptor kalender Islam pemersatu, bernama Jamaluddin Abdur Raziq.
Dalam korespondensi yang dilakukan Syamsul Anwar dengan Abdur Raziq hal yang
disoroti adalah tentang problem yang muncul dari sistem kalender bizonal atau
kalender yang membagi bumi menjadi dua zona. Menurut korespondensi yang mereka
lakukan kalender bizonal pada tahun-tahun tertentu akan memaksa orang yang
berada di zona barat tidak dapat berpuasa Arafah karena hari Arafah di Mekah
jatuh bersamaan dengan Idul Adha di zona barat.
Tulisan
kesembilan Syamsul Anwar melakukan rekam jejak terhadap apa yang pernah dilakukan
di kota Istanbul, Turki, dalam kurun waktu 35 tahun, yaitu dari 1978 hingga
2013 terkait upaya penyatuan penanggalan Islam. Dalam jangka waktu yang cukup
lama itu masih nampak jelas betapa umat Islam belum mampu membebaskan diri
sepenuhnya dari ketegangan teks dan konteks. Umat Islam masih saja terus
bertikai antara yang berpegang pada hisab dan yang berpegang pada rukyat.
Pada
tulisan kesepuluh Syamsul Anwar menyotori keadaan peradaban Islam saat ini yang
sedemikian besar tapi belum memiliki suatu kalender yang mampu
mengorganisasisakan agenda ibadah dan muamalah mereka secara sekaligus. Padahal
seperti dikatakan oleh seorang penulis adanya kalender bagi suatu peradaban
adalah merupakan “civilizational imperative” (tuntutan peradaban). Dalam
upaya penyatuan kalender Islam, menurut Syamsul Anwar ada tiga hambatan;
hambatan alam, hambatan pemahaman agama yang kurang kontekstual dan hambatan
wawasan yang terlalu berorientasi inward looking.
Tulisan
terakhir, yaitu tulisan kesebelas. Dalam tulisan ini Syamsul Anwar menawarkan solusi
untuk menjawab salah satu hambatan yang ada pada tulisan kesepuluh, yaitu
hambatan pemahaman agama yang kurang kontekstual. Harus diakui bahwa sebagian
besar umat Islam masih saja terus berpegang teguh pada rukyat untuk menetapkan
awal bulan. Hanya sedikit umat Islam yang meyakini hisab sebagai suatu metode
penetapan awal bulan yang paling reliabel untuk saat ini. Padahal menurut Idris
ibn Sari, Presiden Asosiasi Astronomi Maroko, salah satu penyebab utama yang
menjadi penghambat terbesar bagi terwujudnya kalender Islam internasional
adalah karena sebagian besar umat Islam sampai hari ini masih saja berpegang
teguh kepada rukyat. Mereka tidak menyadari bahwa selama umat Islam masih
menjadikan rukyat sebagai metode dalam menentukan awal bulan, maka selama itu
pula peradaban Islam akan menjadi peradaban yang tak memiliki sistem waktu yang
baik dan reliabel. Pada tulisan terakhir di bukunya inilah Syamsul Anwar memberikan
suatu alternatif penafsiran terhadap teks secara kontekstual agar tidak cenderung
tekstual dan konvensional. Alternatif penafsiran teks ini sekaligus menjawab hambatan pemahaman agama yang kurang kontekstual yang selama ini menjadi penghalang bagi terwujudnya kalender Islam internasional.
Akhirnya,
buku ini memang bukan sebuah jawaban instan dari masalah besar yang kita
hadapi. Tapi mengkaji buku ini akan menciptakan dialektika keilmuan yang dapat mempertajam
ide bahkan merangsang gagasan baru untuk mewujudkan kalender Islam
internasional, yang hari ini masih menjadi hutang peradaban kita yang harus
segera dibayar.
Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI)
Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta
Judul
Buku : Diskusi & Korespondensi
Kalender Hijriah Global
Penulis : Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA.
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Terbit : Juni 2014
Tebal
: 300 + xiv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar