Sabtu, 25 Oktober 2014

Kalender Islam Internasional, Sebuah Hutang Peradaban yang Harus Segera Dibayar



Salah satu problem kompleks yang dihadapi umat Islam hari ini adalah tentang ketiadaan sistem tata waktu yang dapat menyatukan seluruh agenda umat Islam di muka bumi, baik agenda ibadah maupun muamalah. Dikatakan problem kompleks karena ketiadaan sistem waktu ini menyebabkan rentetan masalah yang timbul di tengah umat Islam. Satu di antara rentetan masalah itu adalah terjadinya perbedaan pelaksanaan puasa Arafah antara satu tempat dengan tempat lain (Syamsul Anwar: Kalender Hijriah Global, Penyatuan Jatuhnya Hari Arafah, h. 2). Puasa Arafah adalah satu macam ibadah yang pelaksanaannya terkait dengan peristiwa yang terjadi ditempat lain, yaitu Arafah. Di mana ketika di Arafah sesungguhnya sudah masuk tanggal 9 Dzulhijah tapi ada beberapa kawasan yang belum masuk tanggal 9 Dzulhijah, maka di sinilah kemudian muncul problem. Selain masalah tersebut ada masalah lain yang hampir selalu menghampiri umat Islam setiap kali akan memasuki bulan Ramadan dan Syawal. Umat Islam di seluruh dunia pada bulan-bulan tersebut mengalami ketidakpastian tentang kapan mereka harus memulai puasa dan hari raya. Problem mendasar dari semua yang dihadapi umat Islam tersebut adalah karena umat Islam sampai hari ini tidak memiliki suatu sistem tata waktu yang bersifat unifikatif. Ironis memang, ketika usia peradaban Islam yang hampir menyentuh angka 1,5 milenium, masih saja peradaban ini belum memiliki kalender Islam pemersatu. Padahal sebagaimana disebutkan Syamsul Anwar, “setiap peradaban besar yang lahir ke dalam panggung sejarah pasti memiliki suatu sistem penanggalan sesuai dengan pandangan hidup dan nilai yang dikembangkan oleh peradaban itu.” (Syamsul Anwar: Kalender Hijriah Global, Penyatuan Jatuhnya Hari Arafah, h. 1dan 7-12).


 Di tengah masalah yang sedang menghampiri kita itu, ada beberapa ahli yang mencoba menyumbangkan ide dan gagasan cemerlang mereka demi terwujudnya kalender Islam internasional. Di antara ahli tersebut adalah Syamsul Anwar, seorang Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga menjadi Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui banyak karyanya. Beliau termasuk satu dari sedikit orang, kalau bukan satu-satunya, di Indonesia yang concern terhadap isu kalender Islam internasional. Tulisan yang ada di hadapan pembaca ini adalah upaya penulis meresensi salah satu buah karya beliau berjudul “Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global”.

Buku ini adalah kumpulan dari tulisan-tulisan beliau yang sebagian besar pernah dipublikasikan melalui makalah. Selain itu ada dua tulisan baru dalam buku ini yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Keseluruhan jumlah tulisan yang ada di buku ini adalah 11 yang dibagi menjadi 11 bab + pendahuluan. Dengan judul “Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global”, buku ini terbilang komprehensif karena hampir memuat seluruh bahasan tentang apa saja yang terkait tentang pengkalenderan, khususnya dalam upaya menyatukan sistem waktu umat Islam. Dimulai dengan tulisan tentang garis batas tanggal. Tulisan pertama ini mengulas gagasan sebagian orang yang berpendapat bahwa garis batas tanggal yang sekarang berada di Greenwich harus diubah ke Kakbah. Menurut sebagian orang yang berpendapat demikian, kita sekarang yang mengikuti Greenwich Mean Time (GMT) dan berlokasi antara Arab Saudi dan Garis Tanggal Internasional (GTI) telah melanggar sunah Rasulullah saw. Syamsul Anwar dalam tulisan pertama ini membantah anggapan itu sekaligus menunjukkan bahwa gagasan menjadikan Kakbah sebagai patokan sistem waktu justru menimbulkan masalah baru, yaitu akan membelah hari umat Islam yang ada di sebelah barat Kakbah dan timur Kakbah. Padahal Kakbah dan Mekah adalah tempat yang padat penduduk, bahkan di sekeliling Kakbah itu sendiri umat Islam hampir setiap hari melakukan Tawaf dan ibadah yang lain.

Tulisan kedua membahas tentang pihak yang optimis dan pihak yang pesimis terhadap upaya penyatuan kalender Islam. Tulisan ini berawal dari sebuah surat yang dikirimkan kepada Majelis Tarjih yang ditulis KH. Maman Abdurrahman Ks, anggota Dewan Hisab Rukyat Pimpinan Pusat PERSIS. Menurut Syamsul Anwar, di tengah wacana penyatuan kalender Islam ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok; kelompok pesimis dan kelompok optimis. Kelompok yang pesimis berpandangan bahwa tidak mungkin awal bulan kamariah disatukan, karena kenyataan alam menunjukkan bahwa tampakan atau wujud pertama hilal tidak merata di seluruh muka bumi. Selain itu luas dan beragamnya komunitas muslim di dunia akan meyulitkan untuk mencapai kesepakatan dalam penyatuan pandangan mengenai awal bulan kamariah, khususnya bulan-bulan ibadah. Akan tetapi di pihak lain banyak pakar yang yakin bahwa kita bisa memiliki kalender Islam internasional. Optimisme ini disadarkan pada falsafah dasar yang diajarkan Nabi saw dalam sebuah hadis bahwa, “setiap ada penyakit pasti ada obatnya...”. Ini artinya bahwa setiap problem tentu ada jalan keluar dan pemecahannya. Demikian pula halnya dengan awal bulan kamariah.

Tulisan ketiga dan keempat mengkaji tentang beberapa model hisab urfi sebagai landasan dalam pembuatan kalender. Benang merah dari tanggapan Syamsul Anwar terhadap kedua tulisan tersebut adalah bahwa kalender dengan berlandaskan hisab urfi tidak dapat dijadikan pegangan untuk membuat kalender Islam internasional, karena selain perhitungan kalender hisab urfi tidak sesuai dengan pergerakan faktual bulan di langit juga karena kalender jenis ini tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Di bagian bahasan kalender hisab urfi dalam bukunya ini juga ada satu hal menarik yang disajikan Syamsul Anwar, yaitu beliau memaparkan temuan barunya terkait kapan al-Qur’an itu pertama kali turun. Dengan pendekekatan interkonektif antara ilmu hadis, sejarah dan astronomi, Syamsul Anwar berkesimpulan bahwa al-Qur’an diwahyukan pertama kali pada malam senin tanggal 19 Ramadan 14 sebelum hijrah (25 Agustus 609 M), bukan tanggal 17 Ramadan sebagaimana banyak diyakini.

Tulisan kelima adalah respon Syamsul Anwar atas rekor fantastis seorang astronom Perancis bernama Thiery Legault ketika mampu merukyat hilal dengan elongasi yang sangat kecil. Rekor baru yang ditorehkan Legault ini memberikan semacam kabar gembira dan harapan baru, khususnya di Indonesia, karena rekor tersebut dianggap akan dapat mendekatkan (bahkan mungkin menyatukan) antara hisab dan rukyat yang selama ini sama-sama kita ketahui menimbulkan pertikaian yang tak kunjung menemukan akhir. Memang harus diakui bahwa terobosan Legault ini banyak memberikan manfaat, akan tetapi menurut Syamsul Anwar di balik itu semua justru terobosan Legault akan mengundang perdebatan baru yang jumlahnya tidak hanya satu. Pertama, apakah keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam merupakan suatu keharusan untuk bisa memasuki bulan kamariah baru atau sudah tidak diperlukan lagi karena hilal sudah terlihat saat ijtimak, meskipun saat matahari tenggelam bulan sudah di bawah ufuk? Kedua, aakah rukyat syar’i itu adalah rukyat saat matahari terbenam sebagaimana dilakukan Nabi, ataukah rukyat saat mana pun sejak terjadinya ijtimak hingga sebelum gurub meskipun saat matahari terbenam hilal sudah tidak mungkin dilihat karena bulan sudah tenggelam di balik ufuk?

Perdebatan itu belum dikaitkan dengan upaya penyatuan kalender Islam internasional. Bila dikaitkan, maka terobosan Legault ini tidak akan banyak menolong dalam upaya tersebut, karena metode yang dipakai Legault akan meradikalisasi masuknya bulan baru, dan dari perspektif penyatuan penanggalan hijriah sedunia memaksa kawasan ujung timur bumi masuk bulan baru sebelum terjadinya ijtimak pada hari sebelumnya. Padahal hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan melanggar salah satu syarat validitas kalender Islam yang ideal.

Pada tulisan berikutnya, yaitu tulisan keenam, Syamsul Anwar memaparkan perkembangan upaya penyatuan kelender Islam internasional. Dalam catatannya, berbagai pertemuan internasional untuk membahas upaya penyatuan kalender Islam telah banyak dilakukan. Dalam pertemuan-pertemuan itu pula para ahli memperkenalkan kalender mereka yang akan diusulkan menjadi kalender Islam internasional. Secara umum, dalam upaya penyatuan kalender Islam sedunia ada dua kategori kalender; kalender zonal dan kalender terpadu (unifikatif). Dalam tulisannya yang keenam ini, Syamsul Anwar menyajikan beberapa contoh kalender yang termasuk dalam dua kategori tersebut.

Jika pada tulisan keenam Syamsul Anwar menyajikan beberapa pemikiran yang berkembang tentang penyatuan kalender Islam, pada tulisan ketujuh selanjutnya Syamsul Anwar mengerucutkan pada empat kalender yang diusulkan dalam Temu Pakar II untuk dijadikan kalender Islam Internasional. Dalam kalender Islam internasional ini yang berlaku adalah satu hari satu tanggal di seluruh dunia dan sekaligus menolak konsep kalender zonal. Empat kalender yang diusulkan, dan saat ini sedang diuji adalah: (a) Kalender al-Husain Diallo, (b) Kalender Libia, (c) Kalender Ummul Qura, dan (d) Kalender ‘Abdur Raziq/Shaukat.

Pada tulisan kedelapan Syamsul Anwar menyajikan korespondensi yang ia lakukan dengan salah seorang konseptor kalender Islam pemersatu, bernama Jamaluddin Abdur Raziq. Dalam korespondensi yang dilakukan Syamsul Anwar dengan Abdur Raziq hal yang disoroti adalah tentang problem yang muncul dari sistem kalender bizonal atau kalender yang membagi bumi menjadi dua zona. Menurut korespondensi yang mereka lakukan kalender bizonal pada tahun-tahun tertentu akan memaksa orang yang berada di zona barat tidak dapat berpuasa Arafah karena hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan Idul Adha di zona barat.

Tulisan kesembilan Syamsul Anwar melakukan rekam jejak terhadap apa yang pernah dilakukan di kota Istanbul, Turki, dalam kurun waktu 35 tahun, yaitu dari 1978 hingga 2013 terkait upaya penyatuan penanggalan Islam. Dalam jangka waktu yang cukup lama itu masih nampak jelas betapa umat Islam belum mampu membebaskan diri sepenuhnya dari ketegangan teks dan konteks. Umat Islam masih saja terus bertikai antara yang berpegang pada hisab dan yang berpegang pada rukyat.

Pada tulisan kesepuluh Syamsul Anwar menyotori keadaan peradaban Islam saat ini yang sedemikian besar tapi belum memiliki suatu kalender yang mampu mengorganisasisakan agenda ibadah dan muamalah mereka secara sekaligus. Padahal seperti dikatakan oleh seorang penulis adanya kalender bagi suatu peradaban adalah merupakan “civilizational imperative” (tuntutan peradaban). Dalam upaya penyatuan kalender Islam, menurut Syamsul Anwar ada tiga hambatan; hambatan alam, hambatan pemahaman agama yang kurang kontekstual dan hambatan wawasan yang terlalu berorientasi inward looking.

Tulisan terakhir, yaitu tulisan kesebelas. Dalam tulisan ini Syamsul Anwar menawarkan solusi untuk menjawab salah satu hambatan yang ada pada tulisan kesepuluh, yaitu hambatan pemahaman agama yang kurang kontekstual. Harus diakui bahwa sebagian besar umat Islam masih saja terus berpegang teguh pada rukyat untuk menetapkan awal bulan. Hanya sedikit  umat Islam yang meyakini hisab sebagai suatu metode penetapan awal bulan yang paling reliabel untuk saat ini. Padahal menurut Idris ibn Sari, Presiden Asosiasi Astronomi Maroko, salah satu penyebab utama yang menjadi penghambat terbesar bagi terwujudnya kalender Islam internasional adalah karena sebagian besar umat Islam sampai hari ini masih saja berpegang teguh kepada rukyat. Mereka tidak menyadari bahwa selama umat Islam masih menjadikan rukyat sebagai metode dalam menentukan awal bulan, maka selama itu pula peradaban Islam akan menjadi peradaban yang tak memiliki sistem waktu yang baik dan reliabel. Pada tulisan terakhir di bukunya inilah Syamsul Anwar memberikan suatu alternatif penafsiran terhadap teks secara kontekstual agar tidak cenderung tekstual dan konvensional. Alternatif penafsiran teks ini sekaligus menjawab hambatan pemahaman agama yang kurang kontekstual yang selama ini menjadi penghalang bagi terwujudnya kalender Islam internasional.

Akhirnya, buku ini memang bukan sebuah jawaban instan dari masalah besar yang kita hadapi. Tapi mengkaji buku ini akan menciptakan dialektika keilmuan yang dapat mempertajam ide bahkan merangsang gagasan baru untuk mewujudkan kalender Islam internasional, yang hari ini masih menjadi hutang peradaban kita yang harus segera dibayar.


Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) Kebarongan dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta



Judul Buku       : Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global 
Penulis             : Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA.
Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Terbit               : Juni 2014

Tebal               : 300 + xiv


Tidak ada komentar:

Posting Komentar