Salah
satu problem kompleks yang dihadapi umat Islam hari ini adalah tentang
ketiadaan sistem tata waktu yang dapat menyatukan seluruh agenda umat Islam di
muka bumi, baik agenda ibadah maupun muamalah. Dikatakan problem kompleks
karena ketiadaan sistem waktu ini menyebabkan rentetan masalah yang timbul di
tengah umat Islam. Satu di antara rentetan masalah itu adalah terjadinya
perbedaan pelaksanaan puasa Arafah antara satu tempat dengan tempat lain
(Syamsul Anwar: Kalender Hijriah Global, Penyatuan Jatuhnya Hari Arafah,
h. 2). Puasa Arafah adalah satu macam ibadah yang pelaksanaannya terkait dengan
peristiwa yang terjadi ditempat lain, yaitu Arafah. Di mana ketika di Arafah sesungguhnya
sudah masuk tanggal 9 Dzulhijah tapi ada beberapa kawasan yang belum masuk
tanggal 9 Dzulhijah, maka di sinilah kemudian muncul problem. Selain masalah
tersebut ada masalah lain yang hampir selalu menghampiri umat Islam setiap kali
akan memasuki bulan Ramadan dan Syawal. Umat Islam di seluruh dunia pada
bulan-bulan tersebut mengalami ketidakpastian tentang kapan mereka harus
memulai puasa dan hari raya. Problem mendasar dari semua yang dihadapi umat
Islam tersebut adalah karena umat Islam sampai hari ini tidak memiliki suatu
sistem tata waktu yang bersifat unifikatif. Ironis memang, ketika usia
peradaban Islam yang hampir menyentuh angka 1,5 milenium, masih saja peradaban
ini belum memiliki kalender Islam pemersatu. Padahal sebagaimana disebutkan
Syamsul Anwar, “setiap peradaban besar yang lahir ke dalam panggung sejarah
pasti memiliki suatu sistem penanggalan sesuai dengan pandangan hidup dan nilai
yang dikembangkan oleh peradaban itu.” (Syamsul Anwar: Kalender Hijriah
Global, Penyatuan Jatuhnya Hari Arafah, h. 1dan 7-12).
Alexandria
Tempat coretan kecil seorang penulis pemula ...
Sabtu, 25 Oktober 2014
Senin, 15 September 2014
Kalender Islam Internasional dan Problem Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah
Pada bulan
Dzulhijah tahun ini (1435 H/2014 M) kemungkinan besar akan terjadi perbedaan di
tengah-tengah umat Islam dalam menjatuhkan tanggal untuk perayaaan hari raya
Idul Adha. Hal ini otomatis juga akan membawa kita pada konsekuensi perbedaan dalam
melaksanakan puasa Arafah, ibadah puasa sunah yang dalam keterangan hadis
dijelaskan balasan bagi orang yang mengerjakan akan dihapuskan oleh Allah dosa
setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Muhammadiyah yang
sejak jauh-jauh hari mengeluarkan maklumat terkait jatuhnya awal bulan-bulan
baru khususnya bulan ibadah telah menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 1435 H akan
jatuh pada hari Sabtu, 4 Oktober 2014 (puasa Arafah: 3 Oktober) dengan
menggunakan metode Hisab. Sementara pemerintah dan ormas-ormas Islam yang lain
masih harus menunggu keputusan sidang isbat pada tanggal 24 September 2014.
Meski masih belum ditetapkan oleh pemerintah, tapi secara astronomis ketetapan
pemerintah itu dapat diprediksi melalui data astronomis yang ada. Pada saat
ijtimak Dzulhijah 1435 yang terjadi pada hari Rabu, 24 September 2014 pukul
13:15:45 WIB tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta adalah (φ = -07⁰ 48’ dan λ = 110⁰ 21’ BT) = +0⁰ 30’ 04’’. Artinya,
menurut kriteria Muhammadiyah meskipun tinggil hilal masih sangat rendah tapi
sejatinya hilal sudah wujud dan berarti pada sore hari itu ketika terbenam
matahari dan keesokan harinya bulan baru sudah masuk. Berbeda dengan kriteria
Imkanur Rukyat yang dipegangi pemerintah, di mana harus ada syarat tinggi bulan
minimal 2 derajat. Jika pemerintah konsisten dengan kriteria yang dipeganginya,
maka secara kaidah astronomis pada sore hari tanggal 24 September 2014 dan
keesokan harinya bulan baru belum akan dimulai, walaupun ada orang yang
mengklaim telah melihat hilal pada saat terbenam matahari sore itu. Bulan
Dzulhijah menurut kriteria pemerintah baru akan dimulai tanggal 26 Septermber
2014 dan oleh karenanya hari raya Idul
Adha akan jatuh pada tanggal 5 Oktober 2014 (puasa Arafah: 4 Oktober).
Rabu, 27 Agustus 2014
Antrian SPBU dan Fenomena Panic Buying
Suatu fenomena yang beberapa hari belakangan terjadi di seantero pulau Jawa adalah fenomena panic buying. Bagi saya panic buying adalah salah satu fonemena masyarakat yang kurang sehat. Panic buying adalah suatu tindakan orang membeli dalam jumlah luar biasa besar untuk mengantisipasi kenaikan harga atau kekurangan barang tertentu.
Saya agak yakin, sebagian besar orang yang hari ini, beberapa hari lalu dan (mugkin) beberapa hari ke depan mengantri di SPBU-SPBU adalah orang yang sebenarnya di tangki motor atau mobilnya masih ada simpanan bahan bakar yang cukup. Mereka hanya panik atau takut saja tidak akan mendapatkan bahan bakar lagi, karena pemberitaan di media yang begitu gencar tentang pembatasan BBM dari Pertamina. Orang yang biasanya mengisi bensin motornya hanya Rp. 10.000, sekarang mengisi full tangkinya. Ini yang menurut saya mejadikan kelangkaan BBM akhir-akhir ini semakin parah. Bayangkan jika semua orang yang setiap harinya mengisi tangki motornyanya Rp. 10.000, sekarang mengisi full. Pasti dalam tempo tidak kurang dari sehari stok BBM di SPBU sudah habis. Dampaknya banyak orang lain yang tidak mendapat jatah BBM. Jika setiap individu tidak panik dalam menghadapi kebijakan pembatasan BBM ini, insya Allah fenomena antrian di SPBU tidak se-ekstrem apa yang terjadi sekarang.
Tidak Peduli Orang Lain
Terasa atau tidak panic buying akan menggiring kita pada satu pembentukan karakter, yaitu tidak peduli orang lain. "Tidak urus orang lain mau dapat atau tidak, yang penting tangki motor atau mobil saya full, saya bisa jalan ke mana-mana." Secara disadari atau tidak akan muncul karakter seperti itu pada orang-orang yang mengalami kepanikan akan kelangkaan suatu barang. Itu belum lagi ditambah sikap antri masyarakat kita yang jauh dari tertib. Tertib di perempatan lampu merah yang hanya menunggu dua menit saja kita masih sering melanggar, apalagi ini harus mengantri satu jam lebih di SPBU di tengah matahari yang terik.
Di Jepang konon, orang-orangnya sangat tertib. Bahkan, kata Prof. Imam Robandi dalam bukunya The Ethos of Sakura, orang yang tidak dapat antri toilet di Jepang tidak dapat menduduki posisi penting di perusahaan atau instansi. Di Jepang, sikap tertib seseorang menjadi salah satu tolok ukur apakah dia layak menjadi pemimpin atau tidak. Bagaimana dengan di Negeri kita, Indonesia? Hari ini barangkali kita baru bisa menjadi penonton. Semoga di hari kemudian akan muncul peradaban tertib di Indonesia kita.
Kembali pada kebijakan pembatasan BBM. Kebijakan ini seharusnya mampu menjadikan kita belajar lebih banyak untuk bisa menahan diri memperoleh sesuatu secara melimpah tapi justru hal tersebut menjadikan kita tidak peduli pada orang lain.
Salam tertib dari orang yang motornya kehabisan bensin :D
Selasa, 19 Agustus 2014
Selamat, Kang!
Minggu-minggu ini sepertinya menjadi pekan yang berbahagia bagi beberapa orang, termasuk saya. Saya, tadi pagi, Alhamdulilah baru saja menyelesaikan sebagian dari fase akhir pendidikan saya di tingkat sarjana, yaitu ujian pendadaran. Dan syukur Alhamdulilah mendapatkan hasil yang memuaskan. Rasa terima kasih beriring doa saya ucapkan kepada semuanya yang turut mendukung dan mendoakan. Semoga kebaikan teman-teman dan semuanya dibalas oleh Allah dengan limpahan cinta, rahmat dan barakah-Nya. Amin.
Beberapa hari yang lalu tepatnya hari sabtu, 16 Agustus 2014, salah seorang kakak kelas saya yang baik hati baru saja diwisuda. Hudzaifaturrahman namanya. Dia adalah kakak kelas saya semenjak di Tsanawiyah. Dulu ketika di Tsanawiyah kami pernah bersama-sama ‘bersaing’ satu sama lain untuk menjadi ketua OSIS. Ketika itu saya yang akhirnya menjadi ketua OSIS. Ada sedikit rasa bangga karena bisa mengalahkan kakak kelas. Tapi lambat laun, saya sadar bahwa apa yang saya banggakan itu salah. Saya justru banyak belajar dari Kang Udhe, begitu saya menggil kakak kelas saya itu. Apalagi setelah kami dipertemukan kembali di PUTM. Dia benar-benar seperti kakak saya sendiri. Apa yang saya butuhkan dan perlukan, dengan senang hati ia bantu. Bagi saya, dia bukan sekedar kakak kelas. Dia sekaligus guru saya. Dia mengajarkan bagaimana cara bersyukur maksimal, bersabar tiada henti, berterimakasih pada sesama, hidup sederhana, patuh pada para ustadz dan loyalitas yang tinggi. Bagi saya, Kang Udhe adalah kakak kelas saya yang paling ngalahan (mengalah) kepada adik-adik kelasnya. Dia tidak mau adik-adik kelasnya merasa terberatkan dan tersusahkan. Saya termasuk yang sangat merasakan itu. Di PUTM dulu, keberadaannya benar-benar saya rasakan. Keberadaannya betul-betul menebarkan manfaat bagi orang-orang di sampingnya.
Selasa, 08 Juli 2014
Kedewasaan Berpolitik
Alhamdulilah, pagi tadi kami sudah menyalurkan hak pilih kami di TPS 14 Kelurahan Sorosutan. Kami memilih calon yang berbeda, sesuai dengan pose jari kami. Tapi itu bukan masalah. Perbedaan adalah hal yang biasa terjadi. “Pasti karena keberadaan Anies Baswedan di salah satu kubu?”, tanya seorang teman. Bisa jadi iya. Tapi saya bisa pastikan itu hanya sekian persen dari pertimbangan saya memlih nomor dua. Tak perlu lah saya jelaskan di sini. Toh, sudah tak relevan lagi. Ada hal yang jauh lebih penting.
Teman-teman, setelah proses ini berakhir siapapun yang terpilih nanti, semua punya tugas yang sama; membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Kampanye hitam yang terjadi sebelum ini, yang menjadikan tenun kebangsaan kita tercabik-cabik, tidak boleh dibawa dan harus dihentikan mulai hari ini. Bila yang jadi nanti adalah pasangan nomor urut satu, maka semua elemen yang tadinya mendukung pasangan nomor urut dua harus mau legowo dan ikut serta bersatu dan bekerja sama membangun bangsa ini. Sebaliknya, bila yang jadi nanti adalah pasangan nomor urut dua, maka semua elemen yang tadinya mendukung pasangan nomor urut satu harus mau menerima dan ikut berperan serta dalam memperbaiki bangsa ini ke depan. Ada yang jauh lebih penting dari pesta pemilihan presiden kali ini. Kedua pasangan calon adalah manusia biasa, dan saya yakin siapapun yang jadi presiden nanti semuanya tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah yang ada di negara ini secara sendirian. Permasalahan di Indonesia terlalu banyak untuk bisa diselesaikan oleh satu-dua atau segelintir orang saja. Semuanya harus turut serta turun tangan untuk Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berangan dengan memilih salah satu pasangan tertentu, kemudian pasangan itu akan menyelesaikan semua permasalahan yang ada di Republik ini, maka hal tersebut tak lebih dari sebuah ilusi belaka. Setelah hari ini, yang dibutuhkan Republik ini adalah iuran dari seluruh bangsa Indonesia. Iuran segalanya.
Bagi para pendukung kedua pasangan yang mungkin sampai hari ini masih belum mau saling menyapa karena beda pilihan, secepatnyalah tambal persaudaraan yang robek itu. Perbedaan dalam pilihan presiden itu biasa. Jadi tidak perlu saling menghujat, apalagi kafir-mengkafirkan. Sahur pagi tadi Pak Anies Baswedan berkicau di twitternya. Dan menurut saya kicauan beliau itu sangat bermakna dan relevan bagi anda-anda yang sampai hari ini masih saling gontok-gontokan hanya karena beda pilihan politik. Berikut kicauan beliau,
“Kedewasan berpolitik = kemampuan utk tahu ambang batas dimana konflik tak boleh diteruskan agar tak merusak kepentingan bersama” (Kicaun ini sesuai dengan apa yang ditulis beliau, tanpa ada perubahan singkatan).
Kedewasan bepolitik adalah kemampuan untuk tahu ambang batas di mana konflik tidak boleh diteruskan agar tidak merusak kepentingan bersama. Tak dapat dipungkiri, ketersediaan pasangan capres-cawapres kali ini yang hanya dua, membuat konflik yang terjadi semakin runcing. Apalagi fanatisme dari para pendukung kedua pasangan semakin tersulut dengan adanya kampanye hitam dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Kali ini saya sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa kecintaan berlebih dan kebencian berlebih terhadap seseorang, sesuatu atau kelompok akan membutakan mata orang yang mencintai atau membenci. Saya teringat dengan perkataan Ali bin Abi Thalib,
احبب حبيبك هونا ما عسى ان يكون بغيضك يوما ما ... وابغض بغيضك هونا ما عسى ان يكون حبيبك يوما ما
“Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau cintai itu akan menjadi orang yang engkau benci suatu saat nanti. Bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau benci akan menjadi orang yang engkau cintai suatu saat nanti.”
Kalau boleh sedikit memformulasikan kembali apa yang dikatakan Sayyidina Ali, maka saya akan mengatakan,
“Cintai dan dukunglah calon presidenmu sewajarnya saja, karena bisa jadi calon presidenmu akan menjadi orang yang engkau benci suatu saat nanti. Bencilah lawan calon presidenmu sewajarnya saja, karena bisa jadi lawan calon presidenmu akan menjadi orang yang engkau dukung dan cintai suatu saat nanti.”
Akhirnya, mari kita tetap bersatu untuk Indonesia yang lebih baik.
Salam hangat dari kampung Nitikan baru.
Selasa, 01 Juli 2014
Kontroversi Seputar Visualisasi Sahabat Nabi dalam Serial “Omar”
(Tulisan ini adalah tulisan lama dari salah seorang dosen saya, Muhammad Rofiq, sekitar setahun yang lalu, tepatnya Ramadan 1434 H, ketika pertama kali serial "Omar" ini dirilis. Meskipun tulisan lama, tapi relevansi pesan dari tulisan ini nampaknya masih dapat dirasakan sampai hari ini. Selamat membaca!)
Bulan Ramadan yang lalu, penonton televisi di Indonesia dihibur oleh suatu drama kolosal yang mengangkat kisah sahabat nabi senior, khalifah kedua dan pemimpin ekspansi terbesar dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab. Kehadiran serial ini sesungguhnya ibarat datangnya air bagi orang-orang yang kehausan di tengah padang pasir. Serial ini memberikan pencerahan bagi publik dan membawa warna baru bagi tayangan-tayangan televisi di tanah air yang semakin tidak jelas orientasinya. Serial ini menghibur, mengekplorasi sejarah, menampilkan teladan dan sekaligus menggugah semangat umat Islam untuk beragama dengan lebih baik.
Selain di tanah air, serial berjudul “Omar” ini juga mendapatkan apresiasi yang sangat positif di dunia internasional. Serial ini diputar selama bulan Ramadan di hampir seluruh negara Arab dengan jumlah penonton yang signifikan. Sebuah berita di internet menyebutkan bahwa pada saat pemutaran perdananya di awal Ramadan, serial ini menarik sampai 6 juta penonton di dunia Arab. Angka yang cukup fantastis untuk sebuah tayangan televisi yang disiarkan di waktu sahur. Di luar Arab, negara yang menayangkan serial Omar adalah Turki (melalui stasiun ATV) dan Indonesia (melalui stasiun MNCTV) dengan diterjemahkan ke bahasa lokal. Di dunia maya, serial ini juga telah diunduh ribuan kali dari situs youtube oleh para pengguna internet.
Namun, selain menerima sambutan positif, serial ini juga menerima sambutan negatif dan penolakan dari sebagian kalangan. Beberapa lembaga keagamaan, seperti Universitas al-Azhar Mesir dan Lembaga Fatwa Arab Saudi bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk pemutaran dan penayangannya. Di Uni Emirat Arab (UEA), isu tentang serial Omar juga menjadi komoditas politik, di mana menteri luar negeri dari negara tersebut juga ikut berbicara menyerukan pemboikotan. Di Riyadh, Arab Saudi, kantor perwakilan MBC (stasiun televisi yang memproduksi serial ini) mendapatkan ancaman pembakaran. Di internet bermunculan opini-opini penolakan, diantaranya bahkan ada yang sampai melakukan aksi penggalangan melalui sebuah akun facebook untuk menghentikan serial ini.
Dari pengamatan penulis melalui internet terhadap situs-situs berita dunia Arab, terdapat polarisasi yang sangat esktrem dalam menyikapi serial ini, antara pihak yang menyambut positif dan pihak yang bersikap antipati. Polarisasi itu terjadi terutama karena perbedaan persepsi mengenai persoalan visualisasi sejarah Islam, khususnya periode nabi, dan personifikasi sahabat beliau.
Para ulama yang menolak serial ini berpandangan bahwa peristiwa bersejarah dan monumental yang diperankan oleh sahabat nabi bukan untuk divisualisasikan, tetapi untuk dipelajari dan diambil hikmahnya. Apalagi mengingat posisi para sahabat nabi yang sangat mulia, tidak akan mungkin manusia di zaman sekarang mampu merekonstruksi kehebatan dan perjuangan mereka dalam membela dan menegakkan agama Islam. Menurut para ulama yang menolak, film yang memvisualisasi sahabat nabi dinilai hanya akan merusak (mendistorsi) kemuliaan para sahabat nabi. Jika umat Islam mau mengetahui dan meneladani mereka, dalam pandangan sebagian ulama tersebut, umat Islam seharusnya membaca buku-buku sejarah, bukan justru membuat film. Fatwa haram juga dikeluarkan sebagai langkah preventif (saddu al-dzari’ah) agar tidak muncul tindakan yang lebih berani. Ada ketakutan dan kekhawatiran bahwa suatu ketika kisah para nabi pun nanti akan difilmkan. Seorang penulis Arab dalam sebuah artikel menyatakan, “jika hari ini sahabat nabi yang difilmkan, bukan tidak mungkin besok isi al-Quran juga akan difilmkan”. Kekhawatiran tersebut sesungguhnya sudah terjadi. Sejak Ramadan tahun lalu, publik Arab sebenarnya sudah menyaksikan penayangan film “Yusuf al-Shiddiq” yang menampilkan kisah nabi Yusuf As.
Selain penolakan, adapula yang mengajukan kritik konstruktif mengenai aspek teknis dalam film ini. Misalnya ada sorotan mengenai beberapa dialog yang tidak akurat, kesalahan rekonstruksi suasana kota Makkah dan Madinah pada abad ke 7 masehi, ketidaktepatan dalam pemilihan artis yang memerankan figur sahabat nabi, pengabaian beberapa segmen sejarah yang justru krusial untuk dimunculkan, dan kritik untuk kegagalan serial Omar dalam menampilkan peran sentral masjid sebagai tempat yang digunakan nabi untuk mendidik sahabatnya.
Sedangkan pihak yang mengapresiasi positif, menyebutkan bahwa serial ini telah melakukan dua lompatan prestasi sekaligus, yaitu lompatan di dunia perfilman dan lompatan di aspek keagamaan (fikih). Nidhal Geussoum, seorang astronom ternama, mengapresiasi serial ini dengan menulis di akun facebooknya : “Ramadan tahun ini memberikan suatu hadiah yang amat berharga bagi keluarga muslim, yaitu film berjudul “Omar”. Saya sebenarnya orang yang jarang menonton film berseri, tetapi film ini benar-benar layak untuk diikuti dan didukung. Kualitas produksi yang tinggi, dialog yang mengagumkan dan akting yang luar biasa. Lebih dari itu, yang paling penting adalah nilai yang disuguhkan oleh film ini, diantaranya adalah keadilan, persamaan, toleransi terhadap non-muslim, musyawarah dan introspeksi diri”.
Dari aspek perfilman, memang harus diakui bahwa serial ini dibuat dengan kualitas yang sangat tinggi. Seperti ditulis dalam web resmi stasiun MBC, pembuatan serial Omar melibatkan 30.000 aktor kawakan dari 10 negara dan menelan biaya produksi sebesar 100 juta dolar Amerika. Dialog yang muncul dalam film ini tidak ditulis berdasarkan fiksi, melainkan digali dari sumber-sumber sejarah yang terpercaya (al-mashadir al-tarikhiyyah al-mautsuqah). Tidak cukup sampai di situ, untuk memastikan akurasi cerita dan legalitas syariahnya, serial ini juga diawasi langsung oleh satu komite syariah yang berisikan ulama-ulama senior kaliber dunia, diantaranya Dr. Yusuf Qardlawi, Dr. Salman Audah (perwakilan pakar syariah) dan Dr. Ali Shalabiy dan Dr. Akram Dhiya al-Umari (perwakilan pakar sejarah). Dr. Walid Saif, sang penulis skenario serial ini sendiri adalah seorang sastrawan ulung, alumni University of London, yang juga telah berpengalaman menulis skenario film-film sejarah kolosal. Sedangkan Samir Ismail yang memainkan peran sebagai sahabat Umar dalam serial tersebut adalah seorang alumni institut seni drama dari Syiria. Untuk dapat menghayati peran secara maksimal ia mengaku bahwa ia membaca sepuluh literatur sejarah mengenai sahabat Umar bin Khattab.Dari aspek keagamaan, serial ini dianggap telah menampilkan wajah Islam yang orisinil, Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan kerahmatan bagi semesta alam. Serial ini juga dianggap relevan untuk menjawab distorsi sejarah Islam yang selama ini dilakukan oleh dunia Barat dan sekte-sekte Islam yang menyimpang, seperti sekte Syiah. Selain itu, serial Omar dinilai telah menjadi satu model dari bagaimana konsep fikih Islam mengenai entertainment (fiqh al-lahwi wa al-tarwih) yang bersifat teoretis dibumikan ke ranah praksis (tajsidu al-fiqh ilal waqi). Yang lebih penting lagi, serial ini dianggap telah mendobrak kejumudan fikih Islam. Selama lebih 14 abad, fikih (aturan mengenai yurisprudensi Islam) berada dalam kegamangan menyikapi persoalan visualisasi sahabat nabi. Memang pada tahun 1976, sebagian ulama dan institusi keagamaan telah mengizinkan film The Message (disutradarai oleh almarhum Mustafa Akkad) yang menampilkan sebagian sahabat nabi untuk diluncurkan. Hanya saja, pada saat itu para ulama masih melarang untuk menampilkan secara visual sahabat-sahabat senior, terutama sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga (al-‘asyrah al-mubassyarun bi al-jannah). Namun, setelah melihat perkembangan aktual dari dakwah Islam dan menimbang (muwazanah) aspek maslahat dan mafsadat, para ulama akhirnya melakukan satu pembaruan (reposisi) pandangan keagamaan. Mereka menyadari bahwa bertahan pada pendapat lama justru akan mengabaikan kemaslahatan yang jauh lebih besar.
Berangkat dari kontroversi yang merebak pasca munculnya serial Omar, ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita ambil. Pertama, pentingnya orientasi yang jelas dalam pembuatan film. Selain dapat menghibur dan harus memiliki kualitas yang tinggi, sebuah film juga semestinya bersifat edukatif dan dapat membangkitkan kesadaran beragama para penontonnya. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada serial Omar, industri perfilman di tanah air sudah seharusnya melakukan refleksi total agar kualitas film nasional dapat lebih baik lagi. Kita merindukan tayangan-tayangan yang mencerahkan, bukan sekedar banyolan, tayangan gosip, mistis atau drama dengan kualitas rendahan yang justru semakin membodohkan. Kedua, fatwa atau opini para ulama adalah media yang efektif untuk melakukan pembaruan sosial. Suara ulama sangat menentukan dinamika Islam di kemudian hari. Oleh karena itu, para ulama selain harus mumpuni dan memiliki kualifikasi keilmuan (kafaah syariyaah), juga harus memiliki sifat progresif dan berwawasan jauh ke depan (visioner). Wallahu A’lam.
Bulan Ramadan yang lalu, penonton televisi di Indonesia dihibur oleh suatu drama kolosal yang mengangkat kisah sahabat nabi senior, khalifah kedua dan pemimpin ekspansi terbesar dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab. Kehadiran serial ini sesungguhnya ibarat datangnya air bagi orang-orang yang kehausan di tengah padang pasir. Serial ini memberikan pencerahan bagi publik dan membawa warna baru bagi tayangan-tayangan televisi di tanah air yang semakin tidak jelas orientasinya. Serial ini menghibur, mengekplorasi sejarah, menampilkan teladan dan sekaligus menggugah semangat umat Islam untuk beragama dengan lebih baik.
Selain di tanah air, serial berjudul “Omar” ini juga mendapatkan apresiasi yang sangat positif di dunia internasional. Serial ini diputar selama bulan Ramadan di hampir seluruh negara Arab dengan jumlah penonton yang signifikan. Sebuah berita di internet menyebutkan bahwa pada saat pemutaran perdananya di awal Ramadan, serial ini menarik sampai 6 juta penonton di dunia Arab. Angka yang cukup fantastis untuk sebuah tayangan televisi yang disiarkan di waktu sahur. Di luar Arab, negara yang menayangkan serial Omar adalah Turki (melalui stasiun ATV) dan Indonesia (melalui stasiun MNCTV) dengan diterjemahkan ke bahasa lokal. Di dunia maya, serial ini juga telah diunduh ribuan kali dari situs youtube oleh para pengguna internet.
Namun, selain menerima sambutan positif, serial ini juga menerima sambutan negatif dan penolakan dari sebagian kalangan. Beberapa lembaga keagamaan, seperti Universitas al-Azhar Mesir dan Lembaga Fatwa Arab Saudi bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk pemutaran dan penayangannya. Di Uni Emirat Arab (UEA), isu tentang serial Omar juga menjadi komoditas politik, di mana menteri luar negeri dari negara tersebut juga ikut berbicara menyerukan pemboikotan. Di Riyadh, Arab Saudi, kantor perwakilan MBC (stasiun televisi yang memproduksi serial ini) mendapatkan ancaman pembakaran. Di internet bermunculan opini-opini penolakan, diantaranya bahkan ada yang sampai melakukan aksi penggalangan melalui sebuah akun facebook untuk menghentikan serial ini.
Dari pengamatan penulis melalui internet terhadap situs-situs berita dunia Arab, terdapat polarisasi yang sangat esktrem dalam menyikapi serial ini, antara pihak yang menyambut positif dan pihak yang bersikap antipati. Polarisasi itu terjadi terutama karena perbedaan persepsi mengenai persoalan visualisasi sejarah Islam, khususnya periode nabi, dan personifikasi sahabat beliau.
Para ulama yang menolak serial ini berpandangan bahwa peristiwa bersejarah dan monumental yang diperankan oleh sahabat nabi bukan untuk divisualisasikan, tetapi untuk dipelajari dan diambil hikmahnya. Apalagi mengingat posisi para sahabat nabi yang sangat mulia, tidak akan mungkin manusia di zaman sekarang mampu merekonstruksi kehebatan dan perjuangan mereka dalam membela dan menegakkan agama Islam. Menurut para ulama yang menolak, film yang memvisualisasi sahabat nabi dinilai hanya akan merusak (mendistorsi) kemuliaan para sahabat nabi. Jika umat Islam mau mengetahui dan meneladani mereka, dalam pandangan sebagian ulama tersebut, umat Islam seharusnya membaca buku-buku sejarah, bukan justru membuat film. Fatwa haram juga dikeluarkan sebagai langkah preventif (saddu al-dzari’ah) agar tidak muncul tindakan yang lebih berani. Ada ketakutan dan kekhawatiran bahwa suatu ketika kisah para nabi pun nanti akan difilmkan. Seorang penulis Arab dalam sebuah artikel menyatakan, “jika hari ini sahabat nabi yang difilmkan, bukan tidak mungkin besok isi al-Quran juga akan difilmkan”. Kekhawatiran tersebut sesungguhnya sudah terjadi. Sejak Ramadan tahun lalu, publik Arab sebenarnya sudah menyaksikan penayangan film “Yusuf al-Shiddiq” yang menampilkan kisah nabi Yusuf As.
Selain penolakan, adapula yang mengajukan kritik konstruktif mengenai aspek teknis dalam film ini. Misalnya ada sorotan mengenai beberapa dialog yang tidak akurat, kesalahan rekonstruksi suasana kota Makkah dan Madinah pada abad ke 7 masehi, ketidaktepatan dalam pemilihan artis yang memerankan figur sahabat nabi, pengabaian beberapa segmen sejarah yang justru krusial untuk dimunculkan, dan kritik untuk kegagalan serial Omar dalam menampilkan peran sentral masjid sebagai tempat yang digunakan nabi untuk mendidik sahabatnya.
Sedangkan pihak yang mengapresiasi positif, menyebutkan bahwa serial ini telah melakukan dua lompatan prestasi sekaligus, yaitu lompatan di dunia perfilman dan lompatan di aspek keagamaan (fikih). Nidhal Geussoum, seorang astronom ternama, mengapresiasi serial ini dengan menulis di akun facebooknya : “Ramadan tahun ini memberikan suatu hadiah yang amat berharga bagi keluarga muslim, yaitu film berjudul “Omar”. Saya sebenarnya orang yang jarang menonton film berseri, tetapi film ini benar-benar layak untuk diikuti dan didukung. Kualitas produksi yang tinggi, dialog yang mengagumkan dan akting yang luar biasa. Lebih dari itu, yang paling penting adalah nilai yang disuguhkan oleh film ini, diantaranya adalah keadilan, persamaan, toleransi terhadap non-muslim, musyawarah dan introspeksi diri”.
Dari aspek perfilman, memang harus diakui bahwa serial ini dibuat dengan kualitas yang sangat tinggi. Seperti ditulis dalam web resmi stasiun MBC, pembuatan serial Omar melibatkan 30.000 aktor kawakan dari 10 negara dan menelan biaya produksi sebesar 100 juta dolar Amerika. Dialog yang muncul dalam film ini tidak ditulis berdasarkan fiksi, melainkan digali dari sumber-sumber sejarah yang terpercaya (al-mashadir al-tarikhiyyah al-mautsuqah). Tidak cukup sampai di situ, untuk memastikan akurasi cerita dan legalitas syariahnya, serial ini juga diawasi langsung oleh satu komite syariah yang berisikan ulama-ulama senior kaliber dunia, diantaranya Dr. Yusuf Qardlawi, Dr. Salman Audah (perwakilan pakar syariah) dan Dr. Ali Shalabiy dan Dr. Akram Dhiya al-Umari (perwakilan pakar sejarah). Dr. Walid Saif, sang penulis skenario serial ini sendiri adalah seorang sastrawan ulung, alumni University of London, yang juga telah berpengalaman menulis skenario film-film sejarah kolosal. Sedangkan Samir Ismail yang memainkan peran sebagai sahabat Umar dalam serial tersebut adalah seorang alumni institut seni drama dari Syiria. Untuk dapat menghayati peran secara maksimal ia mengaku bahwa ia membaca sepuluh literatur sejarah mengenai sahabat Umar bin Khattab.Dari aspek keagamaan, serial ini dianggap telah menampilkan wajah Islam yang orisinil, Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan kerahmatan bagi semesta alam. Serial ini juga dianggap relevan untuk menjawab distorsi sejarah Islam yang selama ini dilakukan oleh dunia Barat dan sekte-sekte Islam yang menyimpang, seperti sekte Syiah. Selain itu, serial Omar dinilai telah menjadi satu model dari bagaimana konsep fikih Islam mengenai entertainment (fiqh al-lahwi wa al-tarwih) yang bersifat teoretis dibumikan ke ranah praksis (tajsidu al-fiqh ilal waqi). Yang lebih penting lagi, serial ini dianggap telah mendobrak kejumudan fikih Islam. Selama lebih 14 abad, fikih (aturan mengenai yurisprudensi Islam) berada dalam kegamangan menyikapi persoalan visualisasi sahabat nabi. Memang pada tahun 1976, sebagian ulama dan institusi keagamaan telah mengizinkan film The Message (disutradarai oleh almarhum Mustafa Akkad) yang menampilkan sebagian sahabat nabi untuk diluncurkan. Hanya saja, pada saat itu para ulama masih melarang untuk menampilkan secara visual sahabat-sahabat senior, terutama sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga (al-‘asyrah al-mubassyarun bi al-jannah). Namun, setelah melihat perkembangan aktual dari dakwah Islam dan menimbang (muwazanah) aspek maslahat dan mafsadat, para ulama akhirnya melakukan satu pembaruan (reposisi) pandangan keagamaan. Mereka menyadari bahwa bertahan pada pendapat lama justru akan mengabaikan kemaslahatan yang jauh lebih besar.
Berangkat dari kontroversi yang merebak pasca munculnya serial Omar, ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita ambil. Pertama, pentingnya orientasi yang jelas dalam pembuatan film. Selain dapat menghibur dan harus memiliki kualitas yang tinggi, sebuah film juga semestinya bersifat edukatif dan dapat membangkitkan kesadaran beragama para penontonnya. Maka menurut hemat penulis, berkaca pada serial Omar, industri perfilman di tanah air sudah seharusnya melakukan refleksi total agar kualitas film nasional dapat lebih baik lagi. Kita merindukan tayangan-tayangan yang mencerahkan, bukan sekedar banyolan, tayangan gosip, mistis atau drama dengan kualitas rendahan yang justru semakin membodohkan. Kedua, fatwa atau opini para ulama adalah media yang efektif untuk melakukan pembaruan sosial. Suara ulama sangat menentukan dinamika Islam di kemudian hari. Oleh karena itu, para ulama selain harus mumpuni dan memiliki kualifikasi keilmuan (kafaah syariyaah), juga harus memiliki sifat progresif dan berwawasan jauh ke depan (visioner). Wallahu A’lam.
Sabtu, 22 Maret 2014
Mari Lebih Peduli Pada Air!
*
Hari ini bangsa dunia memperingati Hari Air (Arab: Alma) Sedunia (World Day for Water). Ini merupakan sebuah momentum agar kita lebih peduli lagi pada sumber daya yang satu ini. Air adalah sumber daya pokok yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan keberlanjutan dunia. Tanpa air tidak akan ada kehidupan. Semua organisme yang hidup di dunia memiliki ketergantungan mutlak pada unsur air. Al-Qur’an sendiri menekankan pentingnya air dalam kehidupan dengan menyebutnya berkali-kali dalam pelbagai tempat. Penyebutan suatu entitas secara berulang dan berkali-kali dalam al-Qur’an menunjukkan tingkat urgensi entitas tersebut dalam kehidupan dan menuntut manusia memberikan perhatian serius terhadapnya. Berbagai masalah keairan yang muncul di negara kita hari ini adalah salah satu bukti bahwa bangsa kita masih belum menganggap bahwa air adalah sumber daya pokok yang amat penting. Tema tentang pentingnya air bagi kehidupan dan dunia harus menjadi agenda yang diprioritaskan kita bersama demi keberlangsungan manusia seluruhnya. Mari sama-sama menjadi manusia yang lebih peduli terhadap air!!#savewater #worlddayforwater
**
Kalau boleh menilai dan membandingkan budaya air kita dengan budaya air di beberapa negara, maka budaya air kita masih sangat jauh dari kata ideal. Kita dapat melihat kontras budaya air kita dengan budaya air bangsa Mesir misalnya. Orang-orang Mesir membangun rumah mereka menghadap ke sungai Nil karena air sungai Nil bagi mereka adalah sebuah keindahan dan sumber inspirasi serta sekaligus anugerah kehidupan yang besar. Sementara budaya air kita adalah menghadapkan bagian belakang rumah ke arah sungai di mana sungai dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah dari rumah. Akibatnya sungai tidak menjadi sumber keindahan dan inspirasi di samping sumber kehidupan, melainkan justru menjadi permasalahan berupa pencemaran. Hari ini nampaknya kita harus bercermin pada mereka tentang budaya air mereka. Sekaligus ada niatan yang kuat dengan dibarengi langkah nyata untuk sama-sama merubah budaya air kita yang buruk menjadi budaya air yang lebih baik. #savewater #worlddayforwater
Hari ini bangsa dunia memperingati Hari Air (Arab: Alma) Sedunia (World Day for Water). Ini merupakan sebuah momentum agar kita lebih peduli lagi pada sumber daya yang satu ini. Air adalah sumber daya pokok yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan keberlanjutan dunia. Tanpa air tidak akan ada kehidupan. Semua organisme yang hidup di dunia memiliki ketergantungan mutlak pada unsur air. Al-Qur’an sendiri menekankan pentingnya air dalam kehidupan dengan menyebutnya berkali-kali dalam pelbagai tempat. Penyebutan suatu entitas secara berulang dan berkali-kali dalam al-Qur’an menunjukkan tingkat urgensi entitas tersebut dalam kehidupan dan menuntut manusia memberikan perhatian serius terhadapnya. Berbagai masalah keairan yang muncul di negara kita hari ini adalah salah satu bukti bahwa bangsa kita masih belum menganggap bahwa air adalah sumber daya pokok yang amat penting. Tema tentang pentingnya air bagi kehidupan dan dunia harus menjadi agenda yang diprioritaskan kita bersama demi keberlangsungan manusia seluruhnya. Mari sama-sama menjadi manusia yang lebih peduli terhadap air!!#savewater #worlddayforwater
**
Kalau boleh menilai dan membandingkan budaya air kita dengan budaya air di beberapa negara, maka budaya air kita masih sangat jauh dari kata ideal. Kita dapat melihat kontras budaya air kita dengan budaya air bangsa Mesir misalnya. Orang-orang Mesir membangun rumah mereka menghadap ke sungai Nil karena air sungai Nil bagi mereka adalah sebuah keindahan dan sumber inspirasi serta sekaligus anugerah kehidupan yang besar. Sementara budaya air kita adalah menghadapkan bagian belakang rumah ke arah sungai di mana sungai dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah dari rumah. Akibatnya sungai tidak menjadi sumber keindahan dan inspirasi di samping sumber kehidupan, melainkan justru menjadi permasalahan berupa pencemaran. Hari ini nampaknya kita harus bercermin pada mereka tentang budaya air mereka. Sekaligus ada niatan yang kuat dengan dibarengi langkah nyata untuk sama-sama merubah budaya air kita yang buruk menjadi budaya air yang lebih baik. #savewater #worlddayforwater
Langganan:
Postingan (Atom)