Bagi sebagian orang, menulis
mungkin merupakan hal yang menjenuhkan, not impressive bahkan hanya
membuang-buang waktu. Tapi bagi dia menulis adalah obat, penyembuh dan teman
hidup. Ketika seseorang yang begitu ia cintai meninggalkan dirinya untuk
selamanya, seorang dokter memvonisnya terkena psikosomatis malignant. Sebuah
gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik yang dapat merusak
organ-organ tubuh lain. Penderitanya tenggelam dalam kesedihan yang teramat
sangat. Bahkan, akibat paling besar dari gangguan itu adalah kematian.
Empat opsi yang diberikan sang
dokter kepadanya; dirawat di rumah sakit jiwa, tetap di rumah tapi ada tim
dokter yang merawat, mencurahkan semua isi hati kepada orang-orang terdekatnya
atau menuangkannya dalam tulisan. Dan pada akhirnya, dia memilih yang terakhir;
menuangkannya dalam sebuah tulisan. Kini setelah tulisannya paripurna, ia berangsur
‘sembuh’, kembali menjadi seorang manusia ‘normal’, menikmati hari tuanya, sembari
menunggu sang Maha Cinta mempertemukannya kembali dengan seseorang yang paling
ia cintai. Itulah dia. Sang Mr. Crack, Baharuddin Jusuf Habibie.
Siapa yang tak kenal dia? Seorang
jenius pemilik 46 hak paten di bidang Aeronautika. Dialah sosok anak bangsa
yang dapat mengkolaborasikan cinta, nasionalisme, profesionalisme dan
religiusitas dengan begitu mendalam, tulus dan jujur. Itulah yang bisa saya
tarik dari kisah seorang Habibie dan Ainun yang dibingkai dalam sebuah film
berdurasi 2 jam.
Film ini sudah sangat ingin saya
tonton semenjak dirilisnya. Tapi baru beberapa hari lalu, Allah mengizinkan
saya menikmati kesempatan yang begitu tak terlupakan itu. Film yang bisa
menggambarkan betapa besar cinta suci mereka dalam mahligai suci pernikahan,
meskipun kata Habibie ketika megomentari film itu, “Saya hidup dengan ibu
Ainun 48 tahun, tidak cukup hanya difilmkan dengan durasi 2 jam. Tapi menonton
film ini sampai kurang lebih 6 kali membuat saya selalu menangis. Ketika saya
memejamkan mata, ibu Ainun selalu hadir”.
Film ini juga memberikan
pelajaran bagi kita bahwa cinta sejati itu tidak pernah ada yang tahu siapa
dia, kapan, serta di mana akan bertemu dan berpisah untuk selamanya. Dulu Habibie
kecil satu sekolah dengan Ainun kecil. Bahkan suatu ketika Habibie kecil pernah
mengejek Ainun, “Kamu itu tidak cantik, hitam seperti gula jawa”. Tapi
siapa yang menyangka, pertemuannya di satu sore bulan Ramadan merubah
segalanya. Merubah persepsi Habibie tentang Ainun, merubah gula jawa yang hitam
menjadi gula pasir putih. Saya jadi teringat dengan satu petuah dosen saya.
Petuah yang mungkin sangat berkaitan dengan ini. Ketika itu ia baru saja
menemukan cinta sejatinya, lebih tepatnya sedang menunggu hari pernikahan
dengan seorang wanita yang belum lama ia kenal. Kata beliau, “Kenal lama,
pacaran lama, tunangan lama itu belumlah menjamin dua orang akan sampai ke
pelaminan. Karena, menikahi orang yang kita cintai itu merupakan sebuah
kemungkinan. Sedangkan mencintai orang yang sudah kita nikahi itu merupakan
keniscayaan..”.
Sekali lagi, film ini betul-betul
sarat makna. Hanya orang abnormal yang tidak dapat menangkap sedikitpun hikmah
dari film ini. Sebenarnya bukan murni dari film ini, lebih tepatnya dari kisah
pengalaman sang penulis sendiri yang menuangkannya dalam sebuah buku. Yup,
betul sekali! menuangkannya dalam sebuah buku atau tulisan. Artinya menulis dan
menulis. Itulah sebenarnya - menurut saya - salah satu pesan besar dari kisah
kehidupan seorang habibie.
Ketika seorang dokter ahli memberikan
4 opsi kepadanya, ia memilih opsi terakhir; menuangkannya dalam sebuah tulisan.
Saya yakin, bahkan haqqul yaqin, Habibie memilih opsi tersebut bukan
karena dia tidak mampu membayar perawatan rumah sakit atau tim dokter yang
memang ahli dalam bidang itu. Dengan hasil royalti 46 hak paten yang ia miliki
atas namanya sendiri tentu bukanlah hal sulit untuk melakukan dan membayar
semuanya. Tapi sekali lagi, sang Mr. Crack lebih memilih untuk menulis.
Menuliskan kisahnya, dengan harapan orang lain bisa mendapatkan pencerahan dari
kisah tersebut.
Mungkin tujuan sebenarnya habibie
menulis kisahnya sendiri dalam sebuah buku bukanlah itu. Tapi yang jelas,
dampak dari bukunya begitu mencerahkan. Itulah magis sebuah tulisan. Sesuatu
yang terkadang tidak kita sangka akan bermanfaat, ternyata sangat besar
pengaruhnya bagi orang lain. Sesuatu yang kecil tapi berdampak besar.
Habibie melalui satu karyanya ini
juga mengajarkan kepada kita, bahwa betapapun terpuruknya seseorang, dia tidak
boleh menyerah pada keadaan. Banyak cara untuk membalik keterpurukan menjadi
kebangkitan dan mengubah kesengsaraan menjadi kebahagian. Dan Habibie melakukan
itu dengan menulis. Membagikan pengalamannya kepada orang lain dengan begitu
mengagumkan. Dia mencerahkan. Tidak hanya dengan ilmu dan teori-teori yang ia
temukan, tapi juga dengan hal sederhana bernama pengalaman.
Jika kita tidak memiliki uang
atau apapun untuk dibagikan dan diberikan kepada orang lain, maka menulislah.
Karena dengan menulis, kita tidak perlu mengeluarkan banyak materi untuk
diberikan kepada orang lain. Jika kita merasa bahwa hidup kita hanya itu-itu
saja, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita telah melakukan banyak hal
untuk orang lain dan tentunya untuk diri sendiri. Jika kita merasa bahwa hidup
kita hanya berjalan di tempat, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita
telah melompat jauh ke arah yang lebih maju. Menulis apapun itu. Yang
terpenting, tulislah dengan cinta. Bukan tentang seseorang, pengalaman, karier,
pekerjaaan, ilmu dan pengatahuan. Tapi dengan cinta. Karena dengan cinta kita
bisa menulis tentang semuanya yang kita cintai. Bisa tentang seseorang,
pengalaman, karier, pekerjaan, ilmu, pengatahuan atau yang lainnya.
Seorang ulama yang sangat masyhur
bernama Imam al-Ghazali pernah berujar, “Jika kamu bukan anak seorang raja dan
juga anak seorang ulama besar, maka menulislah”. Habibie adalah seorang
ilmuwan sekaligus mantan presiden ke-3 Indonesia. Dia sangat terkenal, tidak
hanya dalam skala nasional, namun internasional. Kekayaannya mungkin hampir
setara dengan seorang raja. Tapi dia tetap menulis dan menulis. Lalu, siapa
diri kita? Anak seorang raja-kah? Atau anak seorang ulama besar? Jika bukan
keduanya, maka mulai saat ini kita harus berpikir untuk menulis sesuatu. Dan
paling penting, berani memulainya.
Agaknya kurang afdal jika di
akhir tulisan ini, saya tidak meyertakan sebuah pengakuan tentang betapa
mencerahkannya buku dan sosok Habibie. Akhirnya, semoga testimoni Buya Syafi’i Ma’arif tentang buku Habibie
& Ainun yang ditulis sendiri oleh Mr. Crack dapat menggambarkan betapa
jujur sang penulis menuangkan kisahnya, “Ini adalah sebuah karya yang
ditenun dan dibingkai dengan perasaan cinta suci yang mendalam, tulus dan sarat
nilai. Suka-duka penulisnya berdampingan selama 48 tahun dengan bu Ainun bertumpah
ruah dengan penuh kejujuran dalam karya ini. Sebuah karya yang dapat dijadikan
ilham bagi para pencari resep spiritual bagi bangunan rumah tangga sakinah. Sesuatu
yang tidak mudah bagi kebanyakan kita, termasuk saya”.
Kaliurang, 27 Februari 2013
|
Add caption |