Rabu, 20 Maret 2013

Etos Kiwaneru; Rompi Kalkulus dan Kopiah Kalkulus


Siang itu, 13 Maret 2013, atmosfer Auditorium Kahar Mudzakkir, Universitas Islam Indonesia penuh sesak. Sekitar 600-an lebih anak manusia sudah duduk rapi di bangku yang telah disediakan panitia. Saya dan teman-teman yang memang sudah datang dari jam 10 pagi, setelah salat dzuhur sengaja mencari tempat terdepan. Dengan membawa kotak snack dan tas hitam, saya memilih deretan bangku nomor 3, di belakang persis bangku tamu kehormatan. Semua orang yang ada di situ sedang sama-sama menunggu. Menuggu seseorang yang tidak  lama lagi akan menjadi pembicara di acara tersebut.

Acara tersebut adalah salah satu serangkaian acara milad UII yang ke-70, bertajuk Presidential Series Lectures. Setiap seminggu sekali dalam satu bulan yang akan datang, secara berturut-turut, UII mendatangkan pembicara ahli dari berbagai bidangnya masing-masing dan tentu dengan tema yang berbeda-beda. Pembicaranya menurut saya tidak main-main. Selain pembicara pada minggu pertama ini, minggu-minggu berikutnya secara bergilir akan diisi oleh Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan RI), Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina) dan Amien Rais (Mantan Ketua MPR & Tokoh Reformasi).


Pembicara pada minggu pertama ini, tidak berlebihan jika saya sebut sebagai The Next Habibie. Nama Habibie atau lengkapnya Baharuddin Jusuf Habibie mungkin sudah sangat akrab di telinga kita. Selain karena dia adalah seorang ilmuwan hebat dan pemilik berbagai macam hak paten, juga karena ia pernah menjabat sebagai Menteri di salah satu kementerian dan presiden Indonesia. Tapi untuk orang yang satu ini, agaknya masih banyak yang belum mengenalnya. Sebagian bahkan mungkin masih sangat asing dengan namanya. Padahal sesungguhnya ia tak jauh berbeda kehebatannya dengan Habibie. Dia bukan profesor. Bukan tidak bisa, tapi tidak mau. Beberapa referensi yang saya baca menyebutkan bahwa ia tiga kali ditawari gelar kehormatan sebagai profesor, tapi ia tidak mau. Gelarnya sama dengan Habibie (DR. Eng/Doctor Engineering), hanya bedanya mungkin ia belum pernah menjabat sebagai orang nomor wahid di negara Indonesia. Dia adalah Warsito Purwo Taruno. Seorang anak desa kelahiran Karang Anyar Solo yang salah satu hak patennya digunakan oleh NASA, badan antariksa dunia yang bermarkas di Amerika. Luar biasa!

Dalam kuliah umum kemarin, dengan tema “Peran Riset & Teknologi Industri dalam Membangun Daya Saing Bangsa”, saya benar-benar takjub dengan beliau. Terutama pada spirit beliau dalam melakukan penelitian dan mengabdi pada masyarakat. Bayangkan beliau menghabiskan hampir separuh umurnya dalam dunia penelitian, 20 tahun. Tidak sedikit penemuan yang telah ia hasilkan dari penelitiannya. Selain alat pemindai yang digunakan oleh NASA, penemuan berikutnya yang lebih fenomenal adalah apa yang ia sebut sebagai rompi kalkulus dan kopiah kalkulus. Rompi & kopiah ini berfungsi memindai (look at carefully) sel kanker yang ada dalam tubuh seseorang, kemudian dengan energi listrik statis yang ada di dalamnya menghantarkan gelombang dan materi untuk membunuh sel mematikan tersebut. Tidak perlu heran jika Warsito menamainya dengan embel-embel kalkulus di bagian belakang, karena memang dalam mengatur energi gelombang dan materi yang ada di dalamnya, Warsito menggunakan rumus-rumus kalkulus yang begitu rumit.

Inspirasi dan semangat Warsito untuk berusaha menemukan alat ampuh untuk membunuh sel kanker yang begitu mematikan berawal dari pengalaman kakak perempuannya sendiri yang mengidap penyakit kanker payudara. Dengan tekad kuat yang dimilikinya, Warsito melakukan penelitian selama dua tahun sebelum menemukan alat yang harganya tidak sampai 10 juta ini. Harga tersebut dijumpai secara nyata oleh seorang lelaki kurus, tinggi dan berkacamata. Dia adalah Willy Syahputra, seorang lelaki yang divonis dokter terkena kanker otak stadium 3 akhir. Setelah operasi pengangkatan sel kanker oleh salah satu pihak rumah sakit, bukan kesembuhan yang Willy peroleh, tapi malah badannya lumpuh tak berdaya. Dia hanya bisa diam berbaring. Willy dan keluarga hampir putus asa, sebelum ayah Willy mendegar berita tentang penemuan Warsito di surat kabar. Tiga hari pertama menggunakan terapi alat Warsito, Willy mampu duduk meskipun masih kaku. Tiga bulan, kakinya bisa digerakkan. Dan setelah delapan bulan, Willy telah dinyatakan sembuh. Subhanallah! Kini dia telah menjadi seperti lelaki pada umumnya. Dan lebih hebatnya lagi, perawatannya yang menggunakan alat Warsito tidak lebih dari 10 juta. Fantastis untuk menghargai sebuah alat yang digunakan untuk mematikan sel penyakit yang belum ditemukan obatnya dalam dunia medis.

Ketika mendengar itu, saya benar-benar belum bisa mencernanya dengan akal sehat. Bagaimana mungkin penemuan yang begitu langka, dihargai dengan tidak lebih mahal dari sebuah sepeda motor di zaman sekarang. Saya sangat penasaran dengan latar belakang Warsito menghargai rupiah penemuananya dengan amat murah. Memang jika meggunakan logika materialisme, apa yang dilakukan Warsito merupakan hal bodoh, karena sebenarnya dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin meninggi, maka harga pun bisa dengan mudah dibuat melangit. Tapi Warsito tidak melakukan itu. Saya yakin ia sadar dengan hal tersebut, tapi ia tidak mau.

Setelah dibuka sesi pertanyaan dan diskusi di akhir acara, saya baru tahu latar belakang Warsito melakukan hal tersebut. Intinya adalah satu; dia ingin mengabdi pada masyarakat. Luar biasa! Masih ada orang yang begitu peduli dengan kehidupan masyarakat sekitar. Warsito yang juga ketua MITI (Masyarakat Ilmuwan & Teknologi Indonesia) ini, benar-benar menyadari bahwa apa yang dihasilkan atau ditemukan oleh seseorang tidak akan ada nilainya sama sekali bila orang lain tidak dapat mengambil manfaat darinya. Saya berani bertaruh, jika orang-orang pintar di Indonesia menggunakan cara berpikir Warsito, niscaya bangsa ini akan menjadi bangsa yang maju, tidak terus menerus dilabeli sebagai negara berkembang. Sebuah label yang sesungguhnya digunakan untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang ketidak mampu dan ketidak mauan bangsa ini untuk maju.

Setiap orang yang sukses pasti memiliki prinsip atau kunci untuk mencapai kesuksesan. Begitu juga Warsito. Warsito yang asli sarjana negeri Sakura, menerapkan etos kiwaneru (Jepang) atau yang berarti “jangan”. Menurutnya, tiga bagi orang yang ingin sukses; jangan pelit, jangan ingin cepat kaya dan jangan cepat puas. Tiga kunci yang menurut saya memang sudah dipraktekkan Warsito dengan sagat baik. Dia tidak pelit dengan hasil penemuan yang telah ia miliki. Dia juga tidak ingin merauk dunia dengan menghargai penemuannya selangit. Dia juga tidak cepat puas dengan apa yang telah ia hasilkan sekarang. Terbukti sampai sekarang ia masih dan akan terus mengembangkan riset-risetnya. Benar-benar sosok peneliti yang patut dicontoh. Manis-asam penelitian telah dirasakannya selama 20 tahun. 20 tahun yang begitu mencerahkan dari seorang Warsito.

Satu kata-katanya yang sangat mengguggah, ketika ia ditanya oleh seorang audiens; “Dengan kesuksesan dan keberhasilan yang telah bapak capai, berapa kali sebenarnya bapak gagal?” Warsito dengan gayanya yang kalem dan senyumnya yang menurut saya sangat khas menjawab, “Saya belum pernah merasa mencapai keberhasilan, karena keberhasilan menurut saya adalah titik akhir”. Spektakuler! Suasana Auditorium Kahar Mudzakkir sekejap bersorak dan gegap dengan suara tepuk tangan dari para audiens. Benar-benar jawaban yang sangat lugas dan penuh makna. Jawaban yang muncul dari seseorang yang beretos tinggi. Tak lama berselang kuliah umum yang luar biasa ini ditutup oleh kesimpulan dari seorang profesor yang menjadi moderator. Benar-benar kuliah umum yang super dari orang super.
 


Niki Alma Febriana Fauzi, Kebarongan, 19 Maret 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar