Salah satu
penghambat dakwah yang sering dialami oleh para dai ketika menyampaikan materi,
berinteraksi, dan atau berkomunikasi dengan obyek dakwah adalah adanya gap
antara si dai dengan obyek dakwah atau masyarakat. Penghambat seperti ini tak
jarang menjangkiti para dai muda yang sedang mencoba mengembangkan dakwahnya
kepada masyarakat, terlebih kepada obyek dakwah yang masih muda pula. Paradigma
masyarakat yang masih menganggap bahwa seorang dai atau ustaz itu harus kalem,
berpakaian ala ustaz yang sudah senior (baca: tua, dalam artian tidak modis)
atau yang lainnya sedikit banyak telah menutup jarak komunikasi yang sebenarnya
bisa dilakukan dengan lebih santai dan luwes. Seorang dai oleh masyarakat (baik
tua maupun muda) lebih sering dilihat dan dinilai dengan bagaimana cara ia
berpenampilan, dengan siapa ia berteman. Padahal sebenarnya di balik itu semua
ada yang lebih penting untuk diperhatikan dan patut untuk menjadi penilaian. Itu
pula yang menjadi penghambat dakwah bagi saya.
Di satu
sisi, saya sebagai mahasiswa PUTM (insya Allah juga menjadi juru dakwah pula),
dan di sisi yang lain sebagai anak muda yang tentunya memiliki jiwa ‘anak muda’
merasa kurang enjoy ketika masyarakat hanya melihat dari segi penampilan
saya saja. Saya akui, saya bukan orang yang kalem dan pintar untuk berdandan
layaknya orang (dai) yang sudah senior (baca: tua). Saya kadang merasa
masyarakat menuntut saya agar saya berpenampilan seperti apa yang mereka sering
lihat pada dai-dai yang lain. Terkadang juga mereka membandingkan antara output
PUTM yang dulu dengan mahasiswa PUTM yang sekarang. Dan lagi-lagi, yang dibanding-bandingkan
adalah masalah bagaimana berpenampilan.
Dalam ruang
lingkup yang lebih besar, saya terkadang miris melihat fenomena tersebut. Fenomena
masyarakat yang hanya melihat dan menilai dari ‘bungkus’ luarnya saja tanpa
menyelami lebih dalam kepribadian seseorang. Saya mungkin bukan orang yang
memiliki kepribadian baik, tapi saya sangat miris ketika cara pandang
masyarakat kita masih saja hanya mempermasalahkan penampilan. It’s OK,
penampilan itu penting. Tapi ada yang lebih penting dari sekedar penampilan. Mungkin
inilah salah satu penyebab mengapa umat Islam sampai sekarang tidak maju-maju,
dan hanya berkutat pada keterbelakangan. Umat Islam masih saja sibuk dan berdebat
tentang jenggot, isbal dan tetek bengek lainnya yang sesungguhnya hal-hal
tersebut tidak begitu prinsipiil. Masih banyak hal-hal besar yang harus
diselesaikan umat Islam, dari pada hanya muter-muter menikmati debat “jenggot
wajib” dan “haram isbal”. Umat Islam saat ini masih sangat doyan mengejek dan
menghina orang yang tidak berpenampilan seperti apa yang mereka mau, dari pada
mengejek dan menghukum para koruptor yang sejatinya secara penampilan mereka
mungkin lebih rapi, terlihat kalem tapi sebenarnya kepribadiannya lebih bejat
dari penjahat yang sebenarnya.
Penghambat seperti
yang dipaparkan di atas mungkin adalah penghambat yang disebut dalam ilmu
komunikasi sebagai penghambat sosiologis. Paradigma masyarakat tentang status
sosial ustaz atau dai yang harus perfect secara penampilan adalah
penghambat tersendiri bagi saya. Toh, sebenarnya jika kita berpenampilan tidak
seperti biasanya seorang dai, kita masih bisa menyampaikan risalah-Nya dengan
cara yang lain. Lalu, kenapa harus tentang penampilan yang menjadi tolok ukur
penilaian?
* Salah satu tugas mata kuliah Ilmu Komunikasi
* Salah satu tugas mata kuliah Ilmu Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar