Selasa, 05 Maret 2013

Kenapa Harus tentang Penampilan

Salah satu penghambat dakwah yang sering dialami oleh para dai ketika menyampaikan materi, berinteraksi, dan atau berkomunikasi dengan obyek dakwah adalah adanya gap antara si dai dengan obyek dakwah atau masyarakat. Penghambat seperti ini tak jarang menjangkiti para dai muda yang sedang mencoba mengembangkan dakwahnya kepada masyarakat, terlebih kepada obyek dakwah yang masih muda pula. Paradigma masyarakat yang masih menganggap bahwa seorang dai atau ustaz itu harus kalem, berpakaian ala ustaz yang sudah senior (baca: tua, dalam artian tidak modis) atau yang lainnya sedikit banyak telah menutup jarak komunikasi yang sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih santai dan luwes. Seorang dai oleh masyarakat (baik tua maupun muda) lebih sering dilihat dan dinilai dengan bagaimana cara ia berpenampilan, dengan siapa ia berteman. Padahal sebenarnya di balik itu semua ada yang lebih penting untuk diperhatikan dan patut untuk menjadi penilaian. Itu pula yang menjadi penghambat dakwah bagi saya.


Di satu sisi, saya sebagai mahasiswa PUTM (insya Allah juga menjadi juru dakwah pula), dan di sisi yang lain sebagai anak muda yang tentunya memiliki jiwa ‘anak muda’ merasa kurang enjoy ketika masyarakat hanya melihat dari segi penampilan saya saja. Saya akui, saya bukan orang yang kalem dan pintar untuk berdandan layaknya orang (dai) yang sudah senior (baca: tua). Saya kadang merasa masyarakat menuntut saya agar saya berpenampilan seperti apa yang mereka sering lihat pada dai-dai yang lain. Terkadang juga mereka membandingkan antara output PUTM yang dulu dengan mahasiswa PUTM yang sekarang. Dan lagi-lagi, yang dibanding-bandingkan adalah masalah bagaimana berpenampilan.

Dalam ruang lingkup yang lebih besar, saya terkadang miris melihat fenomena tersebut. Fenomena masyarakat yang hanya melihat dan menilai dari ‘bungkus’ luarnya saja tanpa menyelami lebih dalam kepribadian seseorang. Saya mungkin bukan orang yang memiliki kepribadian baik, tapi saya sangat miris ketika cara pandang masyarakat kita masih saja hanya mempermasalahkan penampilan. It’s OK, penampilan itu penting. Tapi ada yang lebih penting dari sekedar penampilan. Mungkin inilah salah satu penyebab mengapa umat Islam sampai sekarang tidak maju-maju, dan hanya berkutat pada keterbelakangan. Umat Islam masih saja sibuk dan berdebat tentang jenggot, isbal dan tetek bengek lainnya yang sesungguhnya hal-hal tersebut tidak begitu prinsipiil. Masih banyak hal-hal besar yang harus diselesaikan umat Islam, dari pada hanya muter-muter menikmati debat “jenggot wajib” dan “haram isbal”. Umat Islam saat ini masih sangat doyan mengejek dan menghina orang yang tidak berpenampilan seperti apa yang mereka mau, dari pada mengejek dan menghukum para koruptor yang sejatinya secara penampilan mereka mungkin lebih rapi, terlihat kalem tapi sebenarnya kepribadiannya lebih bejat dari penjahat yang sebenarnya.

Penghambat seperti yang dipaparkan di atas mungkin adalah penghambat yang disebut dalam ilmu komunikasi sebagai penghambat sosiologis. Paradigma masyarakat tentang status sosial ustaz atau dai yang harus perfect secara penampilan adalah penghambat tersendiri bagi saya. Toh, sebenarnya jika kita berpenampilan tidak seperti biasanya seorang dai, kita masih bisa menyampaikan risalah-Nya dengan cara yang lain. Lalu, kenapa harus tentang penampilan yang menjadi tolok ukur penilaian?


* Salah satu tugas mata kuliah Ilmu Komunikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar