Selasa, 05 Maret 2013

Dan Mr. Crack pun Lebih Memilih Untuk Menulis



Bagi sebagian orang, menulis mungkin merupakan hal yang menjenuhkan, not impressive bahkan hanya membuang-buang waktu. Tapi bagi dia menulis adalah obat, penyembuh dan teman hidup. Ketika seseorang yang begitu ia cintai meninggalkan dirinya untuk selamanya, seorang dokter memvonisnya terkena psikosomatis malignant. Sebuah gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik yang dapat merusak organ-organ tubuh lain. Penderitanya tenggelam dalam kesedihan yang teramat sangat. Bahkan, akibat paling besar dari gangguan itu adalah kematian.


Empat opsi yang diberikan sang dokter kepadanya; dirawat di rumah sakit jiwa, tetap di rumah tapi ada tim dokter yang merawat, mencurahkan semua isi hati kepada orang-orang terdekatnya atau menuangkannya dalam tulisan. Dan pada akhirnya, dia memilih yang terakhir; menuangkannya dalam sebuah tulisan. Kini setelah tulisannya paripurna, ia berangsur ‘sembuh’, kembali menjadi seorang manusia ‘normal’, menikmati hari tuanya, sembari menunggu sang Maha Cinta mempertemukannya kembali dengan seseorang yang paling ia cintai. Itulah dia. Sang Mr. Crack, Baharuddin Jusuf Habibie.

Siapa yang tak kenal dia? Seorang jenius pemilik 46 hak paten di bidang Aeronautika. Dialah sosok anak bangsa yang dapat mengkolaborasikan cinta, nasionalisme, profesionalisme dan religiusitas dengan begitu mendalam, tulus dan jujur. Itulah yang bisa saya tarik dari kisah seorang Habibie dan Ainun yang dibingkai dalam sebuah film berdurasi 2 jam.

Film ini sudah sangat ingin saya tonton semenjak dirilisnya. Tapi baru beberapa hari lalu, Allah mengizinkan saya menikmati kesempatan yang begitu tak terlupakan itu. Film yang bisa menggambarkan betapa besar cinta suci mereka dalam mahligai suci pernikahan, meskipun kata Habibie ketika megomentari film itu, “Saya hidup dengan ibu Ainun 48 tahun, tidak cukup hanya difilmkan dengan durasi 2 jam. Tapi menonton film ini sampai kurang lebih 6 kali membuat saya selalu menangis. Ketika saya memejamkan mata, ibu Ainun selalu hadir”.

Film ini juga memberikan pelajaran bagi kita bahwa cinta sejati itu tidak pernah ada yang tahu siapa dia, kapan, serta di mana akan bertemu dan berpisah untuk selamanya. Dulu Habibie kecil satu sekolah dengan Ainun kecil. Bahkan suatu ketika Habibie kecil pernah mengejek Ainun, “Kamu itu tidak cantik, hitam seperti gula jawa”. Tapi siapa yang menyangka, pertemuannya di satu sore bulan Ramadan merubah segalanya. Merubah persepsi Habibie tentang Ainun, merubah gula jawa yang hitam menjadi gula pasir putih. Saya jadi teringat dengan satu petuah dosen saya. Petuah yang mungkin sangat berkaitan dengan ini. Ketika itu ia baru saja menemukan cinta sejatinya, lebih tepatnya sedang menunggu hari pernikahan dengan seorang wanita yang belum lama ia kenal. Kata beliau, “Kenal lama, pacaran lama, tunangan lama itu belumlah menjamin dua orang akan sampai ke pelaminan. Karena, menikahi orang yang kita cintai itu merupakan sebuah kemungkinan. Sedangkan mencintai orang yang sudah kita nikahi itu merupakan keniscayaan..”.

Sekali lagi, film ini betul-betul sarat makna. Hanya orang abnormal yang tidak dapat menangkap sedikitpun hikmah dari film ini. Sebenarnya bukan murni dari film ini, lebih tepatnya dari kisah pengalaman sang penulis sendiri yang menuangkannya dalam sebuah buku. Yup, betul sekali! menuangkannya dalam sebuah buku atau tulisan. Artinya menulis dan menulis. Itulah sebenarnya - menurut saya - salah satu pesan besar dari kisah kehidupan seorang habibie.

Ketika seorang dokter ahli memberikan 4 opsi kepadanya, ia memilih opsi terakhir; menuangkannya dalam sebuah tulisan. Saya yakin, bahkan haqqul yaqin, Habibie memilih opsi tersebut bukan karena dia tidak mampu membayar perawatan rumah sakit atau tim dokter yang memang ahli dalam bidang itu. Dengan hasil royalti 46 hak paten yang ia miliki atas namanya sendiri tentu bukanlah hal sulit untuk melakukan dan membayar semuanya. Tapi sekali lagi, sang Mr. Crack lebih memilih untuk menulis. Menuliskan kisahnya, dengan harapan orang lain bisa mendapatkan pencerahan dari kisah tersebut.

Mungkin tujuan sebenarnya habibie menulis kisahnya sendiri dalam sebuah buku bukanlah itu. Tapi yang jelas, dampak dari bukunya begitu mencerahkan. Itulah magis sebuah tulisan. Sesuatu yang terkadang tidak kita sangka akan bermanfaat, ternyata sangat besar pengaruhnya bagi orang lain. Sesuatu yang kecil tapi berdampak besar.

Habibie melalui satu karyanya ini juga mengajarkan kepada kita, bahwa betapapun terpuruknya seseorang, dia tidak boleh menyerah pada keadaan. Banyak cara untuk membalik keterpurukan menjadi kebangkitan dan mengubah kesengsaraan menjadi kebahagian. Dan Habibie melakukan itu dengan menulis. Membagikan pengalamannya kepada orang lain dengan begitu mengagumkan. Dia mencerahkan. Tidak hanya dengan ilmu dan teori-teori yang ia temukan, tapi juga dengan hal sederhana bernama pengalaman.

Jika kita tidak memiliki uang atau apapun untuk dibagikan dan diberikan kepada orang lain, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita tidak perlu mengeluarkan banyak materi untuk diberikan kepada orang lain. Jika kita merasa bahwa hidup kita hanya itu-itu saja, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita telah melakukan banyak hal untuk orang lain dan tentunya untuk diri sendiri. Jika kita merasa bahwa hidup kita hanya berjalan di tempat, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita telah melompat jauh ke arah yang lebih maju. Menulis apapun itu. Yang terpenting, tulislah dengan cinta. Bukan tentang seseorang, pengalaman, karier, pekerjaaan, ilmu dan pengatahuan. Tapi dengan cinta. Karena dengan cinta kita bisa menulis tentang semuanya yang kita cintai. Bisa tentang seseorang, pengalaman, karier, pekerjaan, ilmu, pengatahuan atau yang lainnya.

Seorang ulama yang sangat masyhur bernama Imam al-Ghazali pernah berujar, “Jika kamu bukan anak seorang raja dan juga anak seorang ulama besar, maka menulislah”. Habibie adalah seorang ilmuwan sekaligus mantan presiden ke-3 Indonesia. Dia sangat terkenal, tidak hanya dalam skala nasional, namun internasional. Kekayaannya mungkin hampir setara dengan seorang raja. Tapi dia tetap menulis dan menulis. Lalu, siapa diri kita? Anak seorang raja-kah? Atau anak seorang ulama besar? Jika bukan keduanya, maka mulai saat ini kita harus berpikir untuk menulis sesuatu. Dan paling penting, berani memulainya.

Agaknya kurang afdal jika di akhir tulisan ini, saya tidak meyertakan sebuah pengakuan tentang betapa mencerahkannya buku dan sosok Habibie. Akhirnya, semoga testimoni  Buya Syafi’i Ma’arif tentang buku Habibie & Ainun yang ditulis sendiri oleh Mr. Crack dapat menggambarkan betapa jujur sang penulis menuangkan kisahnya, “Ini adalah sebuah karya yang ditenun dan dibingkai dengan perasaan cinta suci yang mendalam, tulus dan sarat nilai. Suka-duka penulisnya berdampingan selama 48 tahun dengan bu Ainun bertumpah ruah dengan penuh kejujuran dalam karya ini. Sebuah karya yang dapat dijadikan ilham bagi para pencari resep spiritual bagi bangunan rumah tangga sakinah. Sesuatu yang tidak mudah bagi kebanyakan kita, termasuk saya”.






Kaliurang, 27 Februari 2013



Add caption

Tidak ada komentar:

Posting Komentar