Senin, 16 Desember 2013

Perpeloncoan, Sebuah Model ‘Pendidikan’ Topeng Monyet


Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Tahukah anda bagaimana cara mendidik monyet agar menjadi penurut, sehingga ia bisa show di panggung-panggung perempatan kota-kota besar? Konon, cara efektif untuk ‘mendidik’ monyet adalah dengan menyiksanya – tanpa memberi makan dan minum. Ketika monyet telah merasakan kelaparan dan kehausan yang teramat sangat, maka pada saat itulah si pawang topeng monyet harus memanfaatkan moment tersebut untuk sedikit demi sedikit melatih monyet untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak biasa dilakukan oleh monyet pada umumnya. Monyet merupakan salah satu hewan yang sangat bandel dan susah diatur. Untuk ‘mendidik’ monyet memang perlu cara-cara khusus agar ia bisa ditaklukkan. Salah satunya adalah dengan melakukan perpeloncoan. Sebuah istilah yang sering kita dengar di lingkungan pendidikan di Indonesia.

Korupsi, KPK dan Agama


Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Korupsi bukanlah hal baru. Apalagi di negara bernama Indonesia. Virus korupsi telah mampu menjangkiti pelaku-pelaku kehidupan. Ia tak memandang jenis kelamin, profesi, kelas sosial bahkan agama. Ya, agama. Korupsi telah berhasil menembus sekat-sekat sakralitas keyakinan seseorang. Ia tak takut lagi dengan dogma-dogma yang biasa dilafalkan dengan fasih oleh para pemuka agama. Bahkan beberapa oknum pemuka agama akhir-akhir ini justru bersahabat karib dengan virus mematikan bernama korupsi.

Sejarah Islam mengisahkan bahwa sejak era Nabi Muhammad korupsi telah terjadi, meski dalam praktik yang masih sangat sederhana. Tindakan seorang sahabat Nabi pada waktu penaklukan kota Khaibar dengan melakukan korupsi atas harta rampasan perang yang didapat pasukan muslim adalah sebuah contoh riil praktek korupsi pada zaman tersebut. Ketika itu harta rampasan yang dikorupsi jumlahnya tidak sampai dua dirham. Mata uang dirham di zaman tersebut sama nilainya dengan sepersepuluh dinar. Satu dinar adalah 4,25 gram emas murni. Jika dihitung, dua dirham berarti 2 x 0,45 gram emas = 0,85 gram. Apabila dirupiahkan dengan asumsi bahwa harga emas per gram adalah Rp. 100.000, maka korupsi di Khaibar tersebut hanya sekitar Rp. 85.000. Jumlah nominal yang sangat sedikit bila dibanding harta yang diambil para koruptor hari ini. Pada saat pelaku koruptor ini meninggal dunia, Nabi enggan menyalatkan jenazahnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya saja yang menyalatkan. Ini merupakan bentuk hukuman moral Nabi kepada pelaku koruptor ketika itu.

Selasa, 03 Desember 2013

Madu Beracun


Madu beracun. Begitu sebuah judul salah satu roman Kahlil Gibran. Roman yang mengintonasikan dengan sangat ‘pas’ sebuah kekecewaan seseorang atas sesuatu yang disangkakan sebagai kebahagian, tapi ternayata adalah sebuah malapetaka. Seseorang yang kecewa dengan hasil yang didapat karena ternyata tidak sesuai dengan harapan awal. Roman ini bagi penikmat karya-karya seniman Lebanon tersebut tentu tidak asing. Madu Beracun hanya salah satu dari karya hebat seorang Kahlil Gibran.

Tak ada yang tahu siapa dan apa yang menginspirasi Gibran menulis roman itu. Mungkin baginya dunia adalah sebuah kanvas yang di manapun seorang pelukis dapat bebas menggoreskan kuasnya, atau seperti huruf-huruf acak yang harus dirangkai menjadi sebuah kata dan kalimat yang bermakna. Semua itu hanyalah kemungkinan yang kita buat.

Kalau Syiah Bukan Islam, Terus Gue Harus Bilang “Wow” Githu? (Sebuah Refleksi atas Publikasi Baliho Anti Syiah di Yogyakarta)



Sekitar dua mingguan lalu ketika mengendarai motor di satu jalan di Yogyakarta pandangan saya sedikit terganggu dengan sebuah baliho besar di pinggir pertigaan Parkir Ngabean Yogyakarta. Tulisan pada baliho itu tak kalah ‘menyengat’ dibanding terik matahari Jogja siang itu. Dengan kecepatan yang agak diperlambat saya mencoba mengamati lebih seksama. “Jangan Ragu!! Syiah Bukan Islam”. Demikian sepenggal kalimat besar yang ada pada baliho tersebut.

Tak lama berselang dari kejadian itu, sekitar beberapa hari kemudian, ketika saya melewati Jalan Wirosaban, tepat di hadapan muka sebelah timur Rumah Sakit Kota Yogyakarta (atau biasa disebut Rumah Sakit Wirosaban) terpampang pula dengan angkuh baliho besar seperti yang saya lihat di pinggir pertigaan Parkir Ngabean Yogyakarta. Pandangan saya kembali terganggu dengan kalimat provokatif pada baliho itu.
Saya mencoba berangan menjadi orang lain ketika tulisan dalam baliho tersebut saya baca. Barangkali perasaan penasaran, biasa-biasa saja, risih (seperti saya), kebencian yang semakin menjadi-jadi terhadap Syiah atau mungkin malah menjadi simpati pada Syiah, akan muncul pada benak masing-masing pembaca. Tapi selama berangan menjadi orang lain, saya belum mampu menerawang tujuan utama kelompok yang memasang baliho tersebut.