Senin, 16 Desember 2013

Perpeloncoan, Sebuah Model ‘Pendidikan’ Topeng Monyet


Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Tahukah anda bagaimana cara mendidik monyet agar menjadi penurut, sehingga ia bisa show di panggung-panggung perempatan kota-kota besar? Konon, cara efektif untuk ‘mendidik’ monyet adalah dengan menyiksanya – tanpa memberi makan dan minum. Ketika monyet telah merasakan kelaparan dan kehausan yang teramat sangat, maka pada saat itulah si pawang topeng monyet harus memanfaatkan moment tersebut untuk sedikit demi sedikit melatih monyet untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak biasa dilakukan oleh monyet pada umumnya. Monyet merupakan salah satu hewan yang sangat bandel dan susah diatur. Untuk ‘mendidik’ monyet memang perlu cara-cara khusus agar ia bisa ditaklukkan. Salah satunya adalah dengan melakukan perpeloncoan. Sebuah istilah yang sering kita dengar di lingkungan pendidikan di Indonesia.



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu makna kata “pelonco” adalah pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya. Sehingga perpeloncoan dapat diartikan sebagai proses untuk bagaimana seseorang dapat mengenal dan menghayati situasi lingkungan barunya dengan cara mengikis pola berpikir yang telah ada sebelumnya. Sepintas makna yang terbaca dalam KBBI tidak mengindikasikan sama sekali nilai-nilai negatif, paling tidak, tidak seperti ketika kita mendengar istilah “perpeloncoan” dalam konteks pendidikan di Indonesia hari ini.

Istilah “perpeloncoan” telah mengalami sebuah degradasi makna. Degradasi itu terjadi karena dalam ranah praksis, perpeloncoan tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Hal tersebut secara terminologi mengakibatkan pergeseran makna yang signifikan terhadap kata perpeloncoan. Hari ini ketika kita mendengar istilah perpeloncoan, maka itu identik dengan tindakan-tindakan penyiksaan (atau paling tidak konyol, tidak berguna, tidak bermutu) yang dilakukan senior kepada junior dalam sebuah lembaga pendidikan. Kebanyakan perpeloncoan di kampus-kampus sekarang hanya dijadikan ajang balas dendam senior kepada junior. Perisitiwa terakhir yang terjadi di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang menguatkan anggapan negatif itu. Kematian Dolasmantya Surya, seorang mahasiswa pada perguruan tinggi tersebut adalah sebuah isyarat bahwa perpelocoan bukanlah cara untuk mendidik manusia tapi hewan (monyet). Dalam kasus tersebut, Perlakuan senior kepada para juniornya yang kehausan dengan hanya memberikan minum segelas air putih untuk seratus orang adalah bentuk atau cara-cara yang biasa dilakukan pawang topeng monyet untuk ‘mendidik’ monyetnya agar menjadi penurut. Si pawang membiarkan monyet-monyetnya kehausan dan setelah itu memerintahkan kepada mereka agar menirukan perbuatan yang tidak biasa mereka lakukan. Perbuatan yang diperintahkan senior kepada juniornya adalah pemaksaan untuk menirukan adegan dalam film-film syur. Sebuah perintah yang menurut saya sangat konyol. Bagaimana mungkin sebuah kegiatan penggemblengan yang bertujuan untuk mengenalkan situasi lingkungan kampus disisipi hal-hal semacam itu.

Tragedi yang terjadi di salah satu perguruan tinggi di Malang itu hendaknya menjadi sebuah bahan introspeksi bagi pemerintah dan kita semua. Pemerintah, khususnya kementerian yang menaunginya dalam hal ini harus tegas. Mereka harus menindak tegas lembaga pendidikan yang masih menerapkan model-model perpeloncoan semacam itu. Model perpeloncoan yang sebenarnya bila diterapkan pada monyet pun masih terkesan tidak memanusiakan (baca: menghewankan) hewan. Bagi kita, khususnya yang masih menjadi mahasiswa, lebih khusus lagi mahasiswa senior, pelanggengan dendam yang terus menerus dilakukan senior kepada junior tidak akan menyelesaikan masalah, justru hanya akan melipatgandakan masalah dan dosa. Saya jadi teringat sebuah sabda Nabi, “Barangsiapa yang memulai membuat sunah (tradisi) dalam Islam berupa amalan baik, maka ia memperoleh pahala dirinya sendiri dan juga pahala orang yang mengerjakan itu sesudah - sepeninggalnya - tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka yang mencontohnya itu. Dan barangsiapa yang memulai membuat sunah (tradisi) dalam Islam berupa amalan yang buruk, maka ia memperoleh dosa dirinya sendiri dan juga dosa orang yang mengerjakan itu sesudah - sepeninggalnya - tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka yang mencontohnya itu”. Diriwayatkan oleh Muslim. Pertanyaannya, termasuk baik atau burukkah tradisi perpeloncoan dengan menyiksa junior?

Blabag Ombo Residence, Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar