Selasa, 03 Desember 2013

Madu Beracun


Madu beracun. Begitu sebuah judul salah satu roman Kahlil Gibran. Roman yang mengintonasikan dengan sangat ‘pas’ sebuah kekecewaan seseorang atas sesuatu yang disangkakan sebagai kebahagian, tapi ternayata adalah sebuah malapetaka. Seseorang yang kecewa dengan hasil yang didapat karena ternyata tidak sesuai dengan harapan awal. Roman ini bagi penikmat karya-karya seniman Lebanon tersebut tentu tidak asing. Madu Beracun hanya salah satu dari karya hebat seorang Kahlil Gibran.

Tak ada yang tahu siapa dan apa yang menginspirasi Gibran menulis roman itu. Mungkin baginya dunia adalah sebuah kanvas yang di manapun seorang pelukis dapat bebas menggoreskan kuasnya, atau seperti huruf-huruf acak yang harus dirangkai menjadi sebuah kata dan kalimat yang bermakna. Semua itu hanyalah kemungkinan yang kita buat.



Jika hari ini Gibran masih hidup dan berada di Negeri Kepulauan ini barangkali ia akan membuat kembali roman yang berjudul sama (Madu Beracun 2). Ia akan melihat betapa banyak madu-madu beracun menjadi santapan para kumbang.

Pekan Kondom Nasional dengan membagi-bagikan kondom kepada para mahasiswa dan masyarakat, tak ubahnya seperti mengumbar madu beracun kepada mereka. Alasan sebagai bentuk pencegahan menyebarnya virus HIV/Aids sangat tidak masuk akal. Jika itu adalah alasan pencegahan virus tersebut, pertanyaan yang patut diajukan, bukankah penyebaran virus HIV/Aids tidak hanya melalui seks bebas? Toh masih ada faktor lain seperti penggunanan jarum suntik secara bergantian. Kalau konsisten mencegah penyebarannya, seharusnya Kemenkes juga membagikan jarum suntik steril. Demikian kurang lebih inti kegundahan salah seorang masyarakat dengan kebijakan Kemenkes dalam salah satu akun media sosial. Kegundangan orang itu mewakili suara kolektif masyarakat negeri ini. Masyarakat yang sudah jenuh dengan perilaku para pemimpin yang korup ditambah kebijakan-kebijakan alogis (tidak masuk akal) yang semakin tidak memanusiakan manusia Indonesia.



Di beberapa akun media sosial dan situs berita online tersebar gambar bus pembawa kondom di salah satu Universitas ternama di Yogyakarta. Bus berwarna merah pembawa kondom itu bergambar seorang artis seksi yang menjadi bintang iklan produk kondom tersebut. Bahkan, ada suara lirih yang mengudara sampai ke telinga bahwa konon ketika petugas pembagi kondom itu membagikan kepada para mahasiswa mengatakan, “silahkan, bisa dicoba sama pacaranya”. Jika benar, betapa bus dan kata-kata petugas itu sangat mencederai moral dan nilai pendidikan di kampus tersebut. Maka tak heran jika sebagian masyarakat menduga kebijakan tersebut telah ditunggangi para kaum kapitalis.

Banyak pihak telah menolak kebijakan Kemenkes ini, mulai dari ormas dan instansi. Pihak seperti MUI, MIUMI, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir Indonesia, dan bahkan pihak yang biasanya terkesan kontra-rakyat, DPR turut menyuarakan penolakan atas kebijakan alogis Kemenkes itu. Jika ini merupakan strategi untuk mencitrakan baik Kemenkes setelah salah satu ‘anak’ kementerian tersebut melakukan sebuah tindakan yang (lagi-lagi) di mata masyarakat tidak pantas dan elok, maka kebijakan tersebut ibarat bumerang yang justru berefek buruk pada Kemenkes itu sendiri. Tindakan demo para dokter yang sedikit banyak telah menodai citra IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Kemenkes beberapa hari lalu, ditambah kembali dengan kebijakan kemenkes yang satu ini, semakin menjadikan masyarakat phobia pada setiap kebijakan yang keluar mewakili pemerintah.

Barangkali niat Kemenkes (pemerintah) adalah menebar madu sejati pada kumbang-kumbang. Tapi kumbang-kumbang itu tak mau lagi dibodohi, karena setiap madu yang didapat kumbang selama ini ternyata sudah tak lagi sejati. Andai Kahlil Gibran masih hidup, mungkin dia mau menuliskan kembali roman “Madu Beracun 2”.


Blabag Ombo Residence, 3 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar