Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi
Korupsi bukanlah hal baru. Apalagi di negara bernama Indonesia. Virus korupsi telah mampu menjangkiti pelaku-pelaku kehidupan. Ia tak memandang jenis kelamin, profesi, kelas sosial bahkan agama. Ya, agama. Korupsi telah berhasil menembus sekat-sekat sakralitas keyakinan seseorang. Ia tak takut lagi dengan dogma-dogma yang biasa dilafalkan dengan fasih oleh para pemuka agama. Bahkan beberapa oknum pemuka agama akhir-akhir ini justru bersahabat karib dengan virus mematikan bernama korupsi.
Sejarah Islam mengisahkan bahwa sejak era Nabi Muhammad korupsi telah terjadi, meski dalam praktik yang masih sangat sederhana. Tindakan seorang sahabat Nabi pada waktu penaklukan kota Khaibar dengan melakukan korupsi atas harta rampasan perang yang didapat pasukan muslim adalah sebuah contoh riil praktek korupsi pada zaman tersebut. Ketika itu harta rampasan yang dikorupsi jumlahnya tidak sampai dua dirham. Mata uang dirham di zaman tersebut sama nilainya dengan sepersepuluh dinar. Satu dinar adalah 4,25 gram emas murni. Jika dihitung, dua dirham berarti 2 x 0,45 gram emas = 0,85 gram. Apabila dirupiahkan dengan asumsi bahwa harga emas per gram adalah Rp. 100.000, maka korupsi di Khaibar tersebut hanya sekitar Rp. 85.000. Jumlah nominal yang sangat sedikit bila dibanding harta yang diambil para koruptor hari ini. Pada saat pelaku koruptor ini meninggal dunia, Nabi enggan menyalatkan jenazahnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya saja yang menyalatkan. Ini merupakan bentuk hukuman moral Nabi kepada pelaku koruptor ketika itu.
Kasus lain adalah tindakan korup yang dilakukan oleh seorang budak bernama Mid’am. Ia melakukan tindakan korupsi dengan mengambil baju mantel hasil rampasan perang. Saat Mid’am meninggal, para sahabat yang belum tahu dia pernah melakukan korupsi mendoakannya agar masuk surga. Mendengar hal tersebut, Nabi lalu menyanggah dan menerangkan bahwa dulu ia pernah melakukan korupsi baju mantel pada saat penaklukan kota Khaibar dan mantel yang dikorupsi itu kelak akan membakarnya di akhirat. Peringatan Nabi ini adalah bentuk ancaman keras bagi para koruptor, meski praktek korupsi yang dilakukannnya terkesan ringan dan jumlahnya tidak banyak.
Dua kasus itu menjadi potret bahwa praktek korupsi (meski dalam bentuk sangat sederhana) telah terjadi sejak zaman dahulu. Artinya, korupsi sudah sangat tua setua peradaban manusia itu sendiri. Kini korupsi berevolusi dengan bentuk dan wajah baru. Kualitas dan Kuantitas barang yang dikorupsi pun tidak sekadar baju mantel dan uang senilai dua dirham. Korupsi hari ini tidak hanya sebatas mengambil kekayaan milik negara untuk kepentingan diri atau kelompoknya, tapi juga termasuk penyelewengan kebijakan yang tidak sejalan dengan visi penyelenggaraan kepemerintahan yang baik. Masuk dalam kategori ini ialah apa yang disebut dengan korupsi demokratis, yaitu kebijakan yang disahkan oleh legislatif namun bertentangan dengan visi yang benar dari kepemerintahan yang baik. Korupsi seperti ini termasuk jenis korupsi yang cukup marak di Indonesia.
Dalam konteks korupsi di Indonesia, tugas KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi menjadi sangat berat. Selain karena kasus korupsi telah mencapai surplus, KPK seperti (dibiarkan) menjadi lembaga satu-satunya yang harus berdiri di barisan terdepan untuk melawan korupsi. Banyak pihak terkesan membebankan tanggung jawab kepada KPK untuk menghilangkan segala praktek korupsi di bumi Indonesia.
Berbuat baik dan mencegah kemungkaran sejatinya adalah kewajiban setiap individu. Tapi dalam masalah memberantas korupsi tugas itu seperti dibebankan seluruhnya pada KPK. Tugas itu dianggap hanya milik KPK. Agama yang idealnya menjadi dasar pijakan setiap individu untuk melakukan perbaikan dan pencegahan kemaksiatan juga lama-kelamaan dipandang skeptis oleh para pemeluknya. Mereka telah dibuat kecewa oleh sebagian oknum pemuka agama yang menjatuhkan dan mencoreng nama agamanya sendiri. Pemuka agama yang seharusnya berdiri berdampingan bersama KPK di garda terdepan pemberantasan korupsi justru terkadang malah terjebak dalam pusaran tindakan haram tersebut.
Kini masyarakat tidak boleh lagi memandang korupsi hanya sebagai musuh KPK. Tapi masyarakat harus bertekad bahwa korupsi adalah musuh bersama, dan karenanya setiap individu memiliki kewajiban untuk mencegah dan memberantas setiap praktek-prekteknya, mulai dari bentuk yang paling sederhana dan ringan sampai yang paling berat. Masyarakat harus sadar bahwa korupsi adalah penyakit yang harus dibasmi secara kolektif dan masif. Masyarakat tidak boleh berdiam diri bila ada praktek-prektek korupsi terjadi di sekitarnya. Agama juga tidak boleh ditunggangi oleh siapa pun, termasuk pemuka agama, untuk menghalalkan segala cara. Agama haram dijadikan tameng untuk membela kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Hari ini tidak hanya pemuka agama yang harus bersatu dengan KPK untuk memberantas korupsi. Tapi setiap individu di berbagai lini harus bersinergi melaksanakan kewajibannya sebagai manusia beragama untuk amar ma’ruf nahi mungkar – mencegah dan memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Blabag Ombo Residence, 9-10 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar