Sore itu langit Wonosobo menguning keemasan. Walau sebagian ditutupi gumpalan awan tebal yang sedikit meneduhi bumi Wonosobo yang mulai mendingin. Sisa-sisa kehangatan dari sang mentari masih terasa ketika aku hampir memasuki jalan utama menuju alun-alun Wonosobo. Terlihat panorama khas pegunungan ketika aku menghadapkan mukaku ke arah kiri. Hijau dihiasi sedikit kabut putih. Wajah indah matahari sebentar lagi akan masuk tertutup pegunungan hijau di ufuk barat. Pesonanya membuatku seakan berada di salah satu tempat terindah di dunia.
Di pertigaan terminal lama Wonosobo tertulis arah kiri menuju dieng, Temanggung dan Semarang. Sedangkan lurus arah kota. Tanganku memberi isyarat dengan telunjuk agar lurus ke arah kota pada saudaraku yang menyetir di depan. Kami berdua meluncur menggunakan supra fit biru menuju alun-alun. Sebelum sampai di alun-alun kami melewati dua perempatan besar. Sepanjang jalan dari pertigaan tadi, jalanan ramai manusia yang berlalu lalang dan motor mobil yang terparkir rapi di samping kiri jalan. Maklum, di sepanjang jalan pusat kota Wonosobo ini terdapat pasar induk Wonosobo, RITA, dan toko-toko penjual pakaian dan bermacam-macam kebutuhan primer maupun skunder lainnya.
Sebelum sampai di alun-alun, layar persegi empat besar berukuran kira-kira lima kali lima meter terpampang gagah di sebelah selatan persisnya. Karena jalanan ramai kami hanya bisa memacu motor maksimal 40km/ jam.
Supra fit biru terus meluncur perlahan. Sampai di bundaran alun-alun kami harus memutar karena jalannya memang dibuat satu arah. Terlihat beberapa pasang muda-mudi sedang menghabiskan waktu senja yang indah di pinggiran alun-alun. Di tengah alun-alun, tua, muda, dan anak-anak menghabiskan waktu senjanya dengan penuh keriangan. Ada yang bermain bola, bulutangkis, atau hanya sekedar menghabiskan sore wonosobo yang ‘’hangat-hangat dingin’’ kala itu.
Aku di Wonosobo bukan tanpa tujuan. Aku di Wonosobo sengaja untuk bersilaturahmi ke tempat teman almarhum ayahku. Mereka dulu adalah teman sekelas dan juga teman bermain bersama. Masa-masa muda yang dulu mereka alami sekarang aku sedang jalani. Aku mungkin bukan anak yang berbakti, tapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Aku mungkin sering mengecewakan mereka, oleh karenanya Aku ingin membaktikan masa mudaku untuk ayah dan ibuku. Aku ingin terus menyambung silaturahmi dengan teman-temnnya.
Saat itu aku belum tahu persis rumahnya. Aku hanya diberi ‘’ancer-ancer’’ oleh salah satu teman ayahku yang lain. Katanya rumah teman ayahku itu tak jauh dari rumah sakit umum daerah Wonosobo dan SMA Muhammadiyah Wonosobo. Teman ayahku ini adalah salah satu dari beberapa temannya yang masih hidup. Yang lain telah banyak bepulang ke Rahmatullah.
Setelah berputar di alun-alun aku langsung berinisiatif memilih jalan di depan masjid agung wonosobo ke arah pasar pagi. Aku bertanya pada penjual gorengan dimana letak RSUD Wonosobo?. Pejual tersebut memberikan petunjuk dengan teliti dan seksama.
‘’Terus ke selatan, mas. Nanti ada pertigaan pasar masih terus. Ada perempatan masih terus. Kira-kira seratus meter ada perepatan lagi belok kanan nanti kelihatan rumah sakitnya. Tanya lagi aja di daerah situ mas’’. Si penjual memberikan petunjuk arah sambil mengelap tangannya yang masih blepotan adonan.
Aku langsung menuju arah yang ditunjukkan penjual gorengan itu. Dan benar, tak lama kemudian aku melihat RSUD Wonosobo, cukup besar, namun bila dibandingkan dengan RS Sarjito yang ada di Jogja tentu masih besar RS Sarjito. Di depan rumah sakit aku bertanya kembali. Setelah merasa cukup aku langsung bergegas menuju alamat yang akan aku tuju.
Tak sampai lima menit aku telah menemukan rumah yang cukup besar di samping SMK & SMA Wonosobo, bercat hijau dan bertingkat. Kuketuk pintu dan kuberikan salam. Beberapa kali tetap tidak ada yang menjawab. Sedikit perasaan kurang puas menyelinap. Namun aku tetap yakin bahwa ini benar rumah teman ayahku dan beliau sedang ada di rumah.
“Mas, mas. Cari siapa ya?” suara seseorang mengagetkanku dari belakang.
Aku mencari dari mana suara itu berasal. Kepalaku kuputar 180 derajat. Seorang lelaki muda berumur sekitar 23 tahun memanggilku dari masjid yang tak jauh dari rumah bercat hijau itu.
“Ee..anu mas, mau nyari pak Abu Yahya. Apa ini benar rumahnya ya?” . Tanyaku sambil kulangkahkan kakiku menuju masijd berniat menyalami lelaki tersebut.
“Oh, iya benar mas. Sampeyan dari mana ya?” Tanyanya balik sambil kedua tangan kami bersalaman.
“Saya dari Kebarongan. Tempat dulu pak Abu pernah sekolah”.
“Oo…oh, Kebarongan. Ya sebentar mas. Saya tanya ke cucunya dulu”
Lelaki tersebut berbalik dan bertanya setengah berbisik kepada anak kecil yang sedikit gempal. Tidak terlalu keras, tapi juga tida terlalu pelan sehingga aku bisa sedikit mendengarnya. Kulihat anak kecil itu mengangguk. Rasa kurang puas yang beberapa saat tadi menyelinap, hilang seiring anggukkan anak kecil yang besar kemungkinan dia adalah cucu dari teman ayahku itu.
“Sebentar mas, saya liat dulu ke rumah” kata seorang lelaki yang bersalaman denganku tadi.
Aku mengikuti di belakangnya. Menuju saudaraku yang sedari tadi tetap menunggu di atas motor di depan rumah bercat hijau.
Matahari semakin menurun. Meninggalkan jejak-jejak mega merah di kanvas ufuk barat. Pesona senja yang indah. Teduh dan asri mengelokkan bumi Wonosobo.
***
Bersambung...
Kebarongan-Kaliurang, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar