Senin, 16 Desember 2013

Perpeloncoan, Sebuah Model ‘Pendidikan’ Topeng Monyet


Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Tahukah anda bagaimana cara mendidik monyet agar menjadi penurut, sehingga ia bisa show di panggung-panggung perempatan kota-kota besar? Konon, cara efektif untuk ‘mendidik’ monyet adalah dengan menyiksanya – tanpa memberi makan dan minum. Ketika monyet telah merasakan kelaparan dan kehausan yang teramat sangat, maka pada saat itulah si pawang topeng monyet harus memanfaatkan moment tersebut untuk sedikit demi sedikit melatih monyet untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak biasa dilakukan oleh monyet pada umumnya. Monyet merupakan salah satu hewan yang sangat bandel dan susah diatur. Untuk ‘mendidik’ monyet memang perlu cara-cara khusus agar ia bisa ditaklukkan. Salah satunya adalah dengan melakukan perpeloncoan. Sebuah istilah yang sering kita dengar di lingkungan pendidikan di Indonesia.

Korupsi, KPK dan Agama


Oleh: Niki Alma Febriana Fauzi

Korupsi bukanlah hal baru. Apalagi di negara bernama Indonesia. Virus korupsi telah mampu menjangkiti pelaku-pelaku kehidupan. Ia tak memandang jenis kelamin, profesi, kelas sosial bahkan agama. Ya, agama. Korupsi telah berhasil menembus sekat-sekat sakralitas keyakinan seseorang. Ia tak takut lagi dengan dogma-dogma yang biasa dilafalkan dengan fasih oleh para pemuka agama. Bahkan beberapa oknum pemuka agama akhir-akhir ini justru bersahabat karib dengan virus mematikan bernama korupsi.

Sejarah Islam mengisahkan bahwa sejak era Nabi Muhammad korupsi telah terjadi, meski dalam praktik yang masih sangat sederhana. Tindakan seorang sahabat Nabi pada waktu penaklukan kota Khaibar dengan melakukan korupsi atas harta rampasan perang yang didapat pasukan muslim adalah sebuah contoh riil praktek korupsi pada zaman tersebut. Ketika itu harta rampasan yang dikorupsi jumlahnya tidak sampai dua dirham. Mata uang dirham di zaman tersebut sama nilainya dengan sepersepuluh dinar. Satu dinar adalah 4,25 gram emas murni. Jika dihitung, dua dirham berarti 2 x 0,45 gram emas = 0,85 gram. Apabila dirupiahkan dengan asumsi bahwa harga emas per gram adalah Rp. 100.000, maka korupsi di Khaibar tersebut hanya sekitar Rp. 85.000. Jumlah nominal yang sangat sedikit bila dibanding harta yang diambil para koruptor hari ini. Pada saat pelaku koruptor ini meninggal dunia, Nabi enggan menyalatkan jenazahnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya saja yang menyalatkan. Ini merupakan bentuk hukuman moral Nabi kepada pelaku koruptor ketika itu.

Selasa, 03 Desember 2013

Madu Beracun


Madu beracun. Begitu sebuah judul salah satu roman Kahlil Gibran. Roman yang mengintonasikan dengan sangat ‘pas’ sebuah kekecewaan seseorang atas sesuatu yang disangkakan sebagai kebahagian, tapi ternayata adalah sebuah malapetaka. Seseorang yang kecewa dengan hasil yang didapat karena ternyata tidak sesuai dengan harapan awal. Roman ini bagi penikmat karya-karya seniman Lebanon tersebut tentu tidak asing. Madu Beracun hanya salah satu dari karya hebat seorang Kahlil Gibran.

Tak ada yang tahu siapa dan apa yang menginspirasi Gibran menulis roman itu. Mungkin baginya dunia adalah sebuah kanvas yang di manapun seorang pelukis dapat bebas menggoreskan kuasnya, atau seperti huruf-huruf acak yang harus dirangkai menjadi sebuah kata dan kalimat yang bermakna. Semua itu hanyalah kemungkinan yang kita buat.

Kalau Syiah Bukan Islam, Terus Gue Harus Bilang “Wow” Githu? (Sebuah Refleksi atas Publikasi Baliho Anti Syiah di Yogyakarta)



Sekitar dua mingguan lalu ketika mengendarai motor di satu jalan di Yogyakarta pandangan saya sedikit terganggu dengan sebuah baliho besar di pinggir pertigaan Parkir Ngabean Yogyakarta. Tulisan pada baliho itu tak kalah ‘menyengat’ dibanding terik matahari Jogja siang itu. Dengan kecepatan yang agak diperlambat saya mencoba mengamati lebih seksama. “Jangan Ragu!! Syiah Bukan Islam”. Demikian sepenggal kalimat besar yang ada pada baliho tersebut.

Tak lama berselang dari kejadian itu, sekitar beberapa hari kemudian, ketika saya melewati Jalan Wirosaban, tepat di hadapan muka sebelah timur Rumah Sakit Kota Yogyakarta (atau biasa disebut Rumah Sakit Wirosaban) terpampang pula dengan angkuh baliho besar seperti yang saya lihat di pinggir pertigaan Parkir Ngabean Yogyakarta. Pandangan saya kembali terganggu dengan kalimat provokatif pada baliho itu.
Saya mencoba berangan menjadi orang lain ketika tulisan dalam baliho tersebut saya baca. Barangkali perasaan penasaran, biasa-biasa saja, risih (seperti saya), kebencian yang semakin menjadi-jadi terhadap Syiah atau mungkin malah menjadi simpati pada Syiah, akan muncul pada benak masing-masing pembaca. Tapi selama berangan menjadi orang lain, saya belum mampu menerawang tujuan utama kelompok yang memasang baliho tersebut.

Jumat, 27 September 2013

Goyang Caisar dan Sindrom “Melu-Melu”


Pada momen Ramadan lalu, masyarakat Indonesia ‘dihebohkan’ dengan munculnya sebuah goyang yang bisa dikatakan menggemparkan industri hiburan Indonesia. Goyang yang diciptakan oleh seorang komedian baru bernama Caisar Aditya Putra atau yang akrab disapa Caisar mampu menghipnotis beribu pasang mata masyarakat kita pada saat sahur, di satu acara salah satu stasiun tv swasta negeri ini. Goyangan yang sederhana, asyik, sekaligus juga diiringi sebuah lagu yang ‘pas’, membuat goyang Caisar ini mudah dihafal dan diikuti banyak orang. Di dunia maya, tepatnya di salah satu situs ternama, You Tube, banyak sekali ditemukan video-video yang meniru gaya khas Caisar dalam bergoyang. Mereka para followers goyang Caisar memanfaatkan situs ini untuk numpang ngeksis, ngetren, narsis atau hanya sekedar turut mempopulerkan goyang Caisar tersebut. Sementara di dunia nyata, tak jarang anak-anak dan juga remaja dengan tidak malu-malu berteriak keras mencucapkan “keep smile”, sesuai dengan nada Caisar sebelum mulai bergoyang.

Rabu, 21 Agustus 2013

(Inikah) Pudarnya Pesona Alexandria?



Dulu ketika mataku belum sepenuhnya dapat melihatmu, senja yang kau janjikan padaku begitu indah. Katamu, di sana nanti aku bisa melihat taman surga kecil yang selalu diceritakan ibuku setiap kali aku beranjak tidur, aku bisa bermain ayunan sembari menatap semburat kemuning senja yang indah di ufuk barat, aku bisa menerbangkan burung kertas mungil yang telah ayahku buatkan dengan susah payah untukku. 

Katamu juga, di sana nanti aku akan selalu ditemani pasir putih pantai yang membentang menerawang kekuasaan-Nya, aku tidak akan pernah menjumpai sesaknya kematian kecil bernama kesunyian dan kehampaan, aku akan selalu bisa dan tidak akan pernah kehilangan kesempatan membaca catatan sejarah para Nabi-Nya dan orang-orang hebat zaman dahulu. 

Masih tetap katamu, di sana nanti aku bisa bercengkrama dengan pujaan hati. Menatap senja yang begitu istimewa, sembari merencanakan kehidupan baru untuk esok hari. Kau janjikan, di sana nanti aku dan pujaan hatiku bisa melihat miniatur keluarga Muhammad dan ‘Aisyah, sehingga aku beserta pujaan hatiku bisa meneladani kehidupan mereka.

Apakah semua janji dan cerita itu hanya bualanmu saja?

Meskipun kau berkata “iya”, tapi aku tetap yakin tidak. Jika itu bualanmu, mana mungkin Tuhan Yang Pemurah menurunkan berbagai nikmat padamu? Jika itu bualanmu, maka apakah mungkin Tuhan Yang Maha Tahu rela menidurkan para kekasih-Nya di ranjang tanahmu? Jika itu bualanmu, lalu kenapa para pencatat sejarah rela menghabiskan berlembar-lembar kertas dan segudang tinta hanya untuk menulis setiap debu yang terhempas, daun yang jatuh, langkah yang berpijak, serta deru ombak yang berlarian ke pantaimu? Jika itu bualanmu, mengapa setiap pewaris para Nabi mau dan berani berjalan beribu-ribu mil untuk sekedar menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang berdiri di punggungmu? Jika itu bualanmu, kenapa Tuhan Yang Esa senang sekali mendirikan rumah-rumah-Nya di negerimu, bahkan di setiap Shubuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya Dia selalu menggerakkan hati hamba-hamba-Nya untuk beranjak dari tempat duduk, tempat tidur, tempat kerja untuk berdiri, ruku dan sujud pada-Nya?

Apakah semua janji dan cerita itu memang benar-benar bualanmu?

Jika kau tetap berkata “iya”, maaf, aku tetap tidak percaya. Aku belum dapat menerima itu di logikaku. Kenapa kau harus memaksaku agar aku percaya bahwa semua itu hanya bualanmu? Apakah yang aku lihat padamu kini adalah be
ntuk usahamu agar aku yakin bahwa itu semua adalah bualanmu? Apakah semua yang kau pertontonkan kini adalah ikhtiyarmu untuk memudarkan cintaku padamu?

Alexandria, aku mohon jangan kau sulap hamparan pasir pantai yang indah, yang dulu kau janjikan padaku, menjadi arena pertumpahan darah yang kejam. Aku mohon jangan biarkan tanah indah nan subur yang Tuhan telah berikan untukmu diinjak para perusak bumi yang bengis. Aku mohon jangan biarkan Qaitbay dan El-Atta runtuh sebelum aku melihatnya. Kau berjanji kelak akan menemaniku ke sana, bukan? 

Alexandria, aku mohon jangan kau halangi senja cinta-Nya tertidur di bahumu. Bukankah kau sendiri yang berjanji akan selalu menyediakan bahumu untuk senja cinta-Nya? Alexandria, jangan kau biarkan kegembiraan anak-anak yang berlarian di sepanjang pantaimu hilang. Aku takut sebentar lagi kegembiraan anak-anak itu akan menjadi raungan dan tangisan yang tiada henti.

Biarkan! Biarkan orang-orang bangsat itu merusak negeri-negeri tetanggamu. Aku tak peduli. Aku hanya ingin kau dan Mesir kembali ceria dan (tetap) setia menantiku..








Siang menjelang senja di tanah yang jauh darimu, 16 Agustus 2013, saat aku begitu miris melihat keadaan negerimu.

Sabtu, 29 Juni 2013

6 Hadis Dha’if Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Ilmu bagaikan cahaya penerang, terutama bagi siapa saja yang memilikinya. Oleh karena itu menuntut ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, sampai-sampai Allah swt berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu (QS. 59: 11). Al-Baghawi dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang beriman akan diangkat derajatnya karena keutamaan ilmu mereka (Ma’alim al-Tanzil, vol. VIII, hal. 58). Bahkan Syaikh Yusuf Qaradhawi membuat satu bab khusus tentang prioritas ilmu atas amal (awlawiyah al-‘ilmi ‘ala al-‘amal) (Fiqh al-Awlawiyat, hal. 49). Ibnu ‘Abd al-Barr (w. 463 H), seorang ulama yang berasal dari Andalusia juga menyusun kitab khusus yang membahas tentang hakikat dan keutamaan menuntut ilmu. Beliau memberi nama kitabnya dengan nama Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi. Tidak hanya Syaikh Yusuf Qaradhawi dan Ibnu ‘Abd al-Barr yang memberikan semacam perhatian khusus tentang keutamaan ilmu dan menuntut ilmu, ulama lain juga banyak yang memberikan perhatian khusus. Diantaranya adalah penulis buku best seller, La Tahzan,  Dr. ‘Aidh al-Qarni dengan judul kitabnya Kayfa Tathlubu al-‘Ilmi dan Dr. Anas Ahmad Karzun dengan kitabnya yang berjudul Adabu Thalib al-‘Ilmi. Kedua buku tersebut telah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.

Rabu, 24 April 2013

Lewat Pendidikan, Mari Kita Selamatkan Bangsa


Hari Rabu 10 April 2013 lalu saya benar-benar belajar. Belajar dari sebuah peristiwa yang menampar saya demikian keras. Bahwa betapa pra-konsepsi yang kita bangun akan sangat berpengaruh pada cara berpikir kita terhadap seseorang atau sesuatu. Pra-konsepsi buruk yang kita bangun akan membuat kita menutup diri dari apa saja yang berkaitan dengannya. Itu pula yang terjadi pada saya ketika mendengarnama Anies Rasyid Baswedan, atau akrab disapa Anies Baswedan. Ketika pertama kali mendengar namanya yang akan mengisi salah satu kuliah umum pada Presidential Series Lectures, maka yang ada dalam persepsi saya ketika itu tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan liberalisme agama. Predikatnya sebagai rektor Universitas Paramadina, menggantikan Nurcholis Madjid yang terkenal sebagai seorang tokoh liberal, membuat saya tidak terlalu ngeh ketika mendengar namanya. Apalagi universitas yang dipimpinnya saat ini, oleh sebagian orang sering disebut sebagai sarangnya orang-orang liberal. Namun pada hari Rabu itu anggapan buruk tentang Anies seketika luntur, tatkala saya mendengar paparannya.

Selasa, 23 April 2013

Pemimpin di Sekitar Kita


Seorang pemimpin di setiap elemen kehidupan merupakan sosok krusial (penentu) yang paling urgent keberadannya. Ia bisa diibaratkan seperti nahkoda kapal yang harus siap-siaga dalam setiap pelayaran guna bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan seisi kapal. Mulai dari lingkup kecil, sosok ayah sebagai tulang puggung rumah tangga adalah pemimpin bagi setiap anggota keluarganya. Sementara di lingkup yang lebih besar (masyarakat), sosok lurah, bupati, gubernur dan juga presiden atau pemimpin negara merupakan sosok-sosok yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan para rakyatnya.
Di sebuah lembaga pendidikan seperti PUTM juga sama. Kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah thalabah sangat berpengaruh dan bermakna artinya. Seorang pemimpin yang mampu memanifestasikan nilai-nilai kedisiplinan akan berpengaruh kepada para thalabah. Begitu sebaliknya, bila sosok pemimpin tidak dapat mengejawantahkan nilai-nilai kedisiplinan, maka itu pun juga akan berpengaruh pada thalabah semua.

Budaya Organisasi di PUTM


Tidak terasa hampir tiga tahun sudah aku berada di PUTM, sebuah institusi yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Benar-benar asing. Alhamdulilah Allah memberi kekuatan kepadaku untuk terus bertahan di sini. PUTM atau pendidikan ulama tarjih muhammadiyah tiga tahun terakhir ini menjadi keluarga baru dan tempat berbagi senang dan duka. Banyak sekali perjalanan hidup yang terukir di tempat ini. PUTM menjadi saksi semuanya.

Masih teringat sekali awal-awal aku di PUTM. Pertanyaan yang selalu kutanyakan, bisa tidak lulus dari sini lebih cepat? Pertanyaan yang muncul karena rasa ketidakbetahan ketika awal-awal berada di PUTM. Tapi sekarang sudah tidak. Lambat laun aku mulai menikmati kehidupan di PUTM. Bersama teman-teman baru dan tentunya para ustadz serta pengurus PUTM.

Rabu, 20 Maret 2013

Etos Kiwaneru; Rompi Kalkulus dan Kopiah Kalkulus


Siang itu, 13 Maret 2013, atmosfer Auditorium Kahar Mudzakkir, Universitas Islam Indonesia penuh sesak. Sekitar 600-an lebih anak manusia sudah duduk rapi di bangku yang telah disediakan panitia. Saya dan teman-teman yang memang sudah datang dari jam 10 pagi, setelah salat dzuhur sengaja mencari tempat terdepan. Dengan membawa kotak snack dan tas hitam, saya memilih deretan bangku nomor 3, di belakang persis bangku tamu kehormatan. Semua orang yang ada di situ sedang sama-sama menunggu. Menuggu seseorang yang tidak  lama lagi akan menjadi pembicara di acara tersebut.

Acara tersebut adalah salah satu serangkaian acara milad UII yang ke-70, bertajuk Presidential Series Lectures. Setiap seminggu sekali dalam satu bulan yang akan datang, secara berturut-turut, UII mendatangkan pembicara ahli dari berbagai bidangnya masing-masing dan tentu dengan tema yang berbeda-beda. Pembicaranya menurut saya tidak main-main. Selain pembicara pada minggu pertama ini, minggu-minggu berikutnya secara bergilir akan diisi oleh Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan RI), Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina) dan Amien Rais (Mantan Ketua MPR & Tokoh Reformasi).

Selasa, 05 Maret 2013

Kenapa Harus tentang Penampilan

Salah satu penghambat dakwah yang sering dialami oleh para dai ketika menyampaikan materi, berinteraksi, dan atau berkomunikasi dengan obyek dakwah adalah adanya gap antara si dai dengan obyek dakwah atau masyarakat. Penghambat seperti ini tak jarang menjangkiti para dai muda yang sedang mencoba mengembangkan dakwahnya kepada masyarakat, terlebih kepada obyek dakwah yang masih muda pula. Paradigma masyarakat yang masih menganggap bahwa seorang dai atau ustaz itu harus kalem, berpakaian ala ustaz yang sudah senior (baca: tua, dalam artian tidak modis) atau yang lainnya sedikit banyak telah menutup jarak komunikasi yang sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih santai dan luwes. Seorang dai oleh masyarakat (baik tua maupun muda) lebih sering dilihat dan dinilai dengan bagaimana cara ia berpenampilan, dengan siapa ia berteman. Padahal sebenarnya di balik itu semua ada yang lebih penting untuk diperhatikan dan patut untuk menjadi penilaian. Itu pula yang menjadi penghambat dakwah bagi saya.

Dan Mr. Crack pun Lebih Memilih Untuk Menulis



Bagi sebagian orang, menulis mungkin merupakan hal yang menjenuhkan, not impressive bahkan hanya membuang-buang waktu. Tapi bagi dia menulis adalah obat, penyembuh dan teman hidup. Ketika seseorang yang begitu ia cintai meninggalkan dirinya untuk selamanya, seorang dokter memvonisnya terkena psikosomatis malignant. Sebuah gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik yang dapat merusak organ-organ tubuh lain. Penderitanya tenggelam dalam kesedihan yang teramat sangat. Bahkan, akibat paling besar dari gangguan itu adalah kematian.


Empat opsi yang diberikan sang dokter kepadanya; dirawat di rumah sakit jiwa, tetap di rumah tapi ada tim dokter yang merawat, mencurahkan semua isi hati kepada orang-orang terdekatnya atau menuangkannya dalam tulisan. Dan pada akhirnya, dia memilih yang terakhir; menuangkannya dalam sebuah tulisan. Kini setelah tulisannya paripurna, ia berangsur ‘sembuh’, kembali menjadi seorang manusia ‘normal’, menikmati hari tuanya, sembari menunggu sang Maha Cinta mempertemukannya kembali dengan seseorang yang paling ia cintai. Itulah dia. Sang Mr. Crack, Baharuddin Jusuf Habibie.

Siapa yang tak kenal dia? Seorang jenius pemilik 46 hak paten di bidang Aeronautika. Dialah sosok anak bangsa yang dapat mengkolaborasikan cinta, nasionalisme, profesionalisme dan religiusitas dengan begitu mendalam, tulus dan jujur. Itulah yang bisa saya tarik dari kisah seorang Habibie dan Ainun yang dibingkai dalam sebuah film berdurasi 2 jam.

Film ini sudah sangat ingin saya tonton semenjak dirilisnya. Tapi baru beberapa hari lalu, Allah mengizinkan saya menikmati kesempatan yang begitu tak terlupakan itu. Film yang bisa menggambarkan betapa besar cinta suci mereka dalam mahligai suci pernikahan, meskipun kata Habibie ketika megomentari film itu, “Saya hidup dengan ibu Ainun 48 tahun, tidak cukup hanya difilmkan dengan durasi 2 jam. Tapi menonton film ini sampai kurang lebih 6 kali membuat saya selalu menangis. Ketika saya memejamkan mata, ibu Ainun selalu hadir”.

Film ini juga memberikan pelajaran bagi kita bahwa cinta sejati itu tidak pernah ada yang tahu siapa dia, kapan, serta di mana akan bertemu dan berpisah untuk selamanya. Dulu Habibie kecil satu sekolah dengan Ainun kecil. Bahkan suatu ketika Habibie kecil pernah mengejek Ainun, “Kamu itu tidak cantik, hitam seperti gula jawa”. Tapi siapa yang menyangka, pertemuannya di satu sore bulan Ramadan merubah segalanya. Merubah persepsi Habibie tentang Ainun, merubah gula jawa yang hitam menjadi gula pasir putih. Saya jadi teringat dengan satu petuah dosen saya. Petuah yang mungkin sangat berkaitan dengan ini. Ketika itu ia baru saja menemukan cinta sejatinya, lebih tepatnya sedang menunggu hari pernikahan dengan seorang wanita yang belum lama ia kenal. Kata beliau, “Kenal lama, pacaran lama, tunangan lama itu belumlah menjamin dua orang akan sampai ke pelaminan. Karena, menikahi orang yang kita cintai itu merupakan sebuah kemungkinan. Sedangkan mencintai orang yang sudah kita nikahi itu merupakan keniscayaan..”.

Sekali lagi, film ini betul-betul sarat makna. Hanya orang abnormal yang tidak dapat menangkap sedikitpun hikmah dari film ini. Sebenarnya bukan murni dari film ini, lebih tepatnya dari kisah pengalaman sang penulis sendiri yang menuangkannya dalam sebuah buku. Yup, betul sekali! menuangkannya dalam sebuah buku atau tulisan. Artinya menulis dan menulis. Itulah sebenarnya - menurut saya - salah satu pesan besar dari kisah kehidupan seorang habibie.

Ketika seorang dokter ahli memberikan 4 opsi kepadanya, ia memilih opsi terakhir; menuangkannya dalam sebuah tulisan. Saya yakin, bahkan haqqul yaqin, Habibie memilih opsi tersebut bukan karena dia tidak mampu membayar perawatan rumah sakit atau tim dokter yang memang ahli dalam bidang itu. Dengan hasil royalti 46 hak paten yang ia miliki atas namanya sendiri tentu bukanlah hal sulit untuk melakukan dan membayar semuanya. Tapi sekali lagi, sang Mr. Crack lebih memilih untuk menulis. Menuliskan kisahnya, dengan harapan orang lain bisa mendapatkan pencerahan dari kisah tersebut.

Mungkin tujuan sebenarnya habibie menulis kisahnya sendiri dalam sebuah buku bukanlah itu. Tapi yang jelas, dampak dari bukunya begitu mencerahkan. Itulah magis sebuah tulisan. Sesuatu yang terkadang tidak kita sangka akan bermanfaat, ternyata sangat besar pengaruhnya bagi orang lain. Sesuatu yang kecil tapi berdampak besar.

Habibie melalui satu karyanya ini juga mengajarkan kepada kita, bahwa betapapun terpuruknya seseorang, dia tidak boleh menyerah pada keadaan. Banyak cara untuk membalik keterpurukan menjadi kebangkitan dan mengubah kesengsaraan menjadi kebahagian. Dan Habibie melakukan itu dengan menulis. Membagikan pengalamannya kepada orang lain dengan begitu mengagumkan. Dia mencerahkan. Tidak hanya dengan ilmu dan teori-teori yang ia temukan, tapi juga dengan hal sederhana bernama pengalaman.

Jika kita tidak memiliki uang atau apapun untuk dibagikan dan diberikan kepada orang lain, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita tidak perlu mengeluarkan banyak materi untuk diberikan kepada orang lain. Jika kita merasa bahwa hidup kita hanya itu-itu saja, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita telah melakukan banyak hal untuk orang lain dan tentunya untuk diri sendiri. Jika kita merasa bahwa hidup kita hanya berjalan di tempat, maka menulislah. Karena dengan menulis, kita telah melompat jauh ke arah yang lebih maju. Menulis apapun itu. Yang terpenting, tulislah dengan cinta. Bukan tentang seseorang, pengalaman, karier, pekerjaaan, ilmu dan pengatahuan. Tapi dengan cinta. Karena dengan cinta kita bisa menulis tentang semuanya yang kita cintai. Bisa tentang seseorang, pengalaman, karier, pekerjaan, ilmu, pengatahuan atau yang lainnya.

Seorang ulama yang sangat masyhur bernama Imam al-Ghazali pernah berujar, “Jika kamu bukan anak seorang raja dan juga anak seorang ulama besar, maka menulislah”. Habibie adalah seorang ilmuwan sekaligus mantan presiden ke-3 Indonesia. Dia sangat terkenal, tidak hanya dalam skala nasional, namun internasional. Kekayaannya mungkin hampir setara dengan seorang raja. Tapi dia tetap menulis dan menulis. Lalu, siapa diri kita? Anak seorang raja-kah? Atau anak seorang ulama besar? Jika bukan keduanya, maka mulai saat ini kita harus berpikir untuk menulis sesuatu. Dan paling penting, berani memulainya.

Agaknya kurang afdal jika di akhir tulisan ini, saya tidak meyertakan sebuah pengakuan tentang betapa mencerahkannya buku dan sosok Habibie. Akhirnya, semoga testimoni  Buya Syafi’i Ma’arif tentang buku Habibie & Ainun yang ditulis sendiri oleh Mr. Crack dapat menggambarkan betapa jujur sang penulis menuangkan kisahnya, “Ini adalah sebuah karya yang ditenun dan dibingkai dengan perasaan cinta suci yang mendalam, tulus dan sarat nilai. Suka-duka penulisnya berdampingan selama 48 tahun dengan bu Ainun bertumpah ruah dengan penuh kejujuran dalam karya ini. Sebuah karya yang dapat dijadikan ilham bagi para pencari resep spiritual bagi bangunan rumah tangga sakinah. Sesuatu yang tidak mudah bagi kebanyakan kita, termasuk saya”.






Kaliurang, 27 Februari 2013



Add caption

Minggu, 17 Februari 2013

Membuka Kembali Pintu Ijtihad dalam Ilmu Hadits (Resensi Buku Karya Dr. Kasman; Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah)


Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Himpunan Putusan Tarjih atau yang sering disingkat HPT, bisa dikatakan merupakan salah satu kitab (buku) yang menjadi pedoman warga Muhammadiyah untuk melaksanakan segala aktivitas ibadah maupun muamalah yang tercakup di dalamnya. Lebih dari itu bahkan oleh sebagian warganya, keberadaan HPT dianggap sangat istimewa dan otorotatif, untuk tidak mengatakan disakralkan.

Fenomena demikian ternyata tidak membuat Dr. Kasman (ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember) menutup diri untuk bersikap kritis terhadap HPT. Dalam bukunya yang berjudul “Hadits Dalam Pandangan Muhammadiyah”, ia berhasil mengkritisi hadits-hadits yang ada dalam HPT dengan sangat obyektif. Buku yang berasal dari disertasinya ini selain menggambarkan dengan detail manhaj Muhammadiyah dalam memandang suatu hadits, juga mengukur seberapa konsisten Muhammadiyah, dalam hal ini Majelis Tarjih menggunakan dan menerapkan manhajnya tersebut.

Ada beberapa hasil penelitiannya yang bisa dipertimbangkan dan menjadi bahan diskusi dikemudian hari. Pertama, dalam HPT, Dr. Kasman meneliti dan menemukan setidaknya terdapat 2 hadits dha’if dalam persoalan ibadah, menurut kriteria yang ditetapkan Muhammadiyah sendiri. Selain itu ditemukan pula 6 hadits dari 11 hadits yang digunakan dalil dalam Kitab Iman berstatus ahad. Padahal sebagaimana diketahui, Muhammadiyah hanya berhujah dengan hadits mutawatir dalam persoalan akidah, di mana persoalan iman termasuk di dalamnya (Asjmuni Abdurrahman, 2010: 13 dan Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, 2009: 22).

Kedua, ditemukan pula beberapa hadits yang redaksinya sedikit berbeda, bahkan sangat berbeda dengan redaksi yang terdapat dalam kitab hadits aslinya. Dalam hal ini Dr. Kasman menduga pada saat perumusan HPT dulu, pengutipan hadits-hadits yang akan dijadikan dalil tidak dirujuk pada kitab aslinya, namun hanya pada kitab-kitab ‘kedua’, seperti Subul al-Salam, Nailul Authar dan lain sebagainya. Ketiga, adalah persoalan yang sampai sekarang masih menjadi obyek bulan-bulanan para orientalis kepada Islam, yaitu tentang kurang perhatiannya sarjana Islam terhadap kritik matan hadis. Menurut Dr. Kasman, Muhammadiyah dalam HPT-nya juga masih kurang sekali memperhatikan soal kritik matan ini.

Hasil penelitian dari mantan ketua Majelis Tarjih PDM Jember ini sesusungguhnya menjadi bekal berharga bagi para ulama Muhammadiyah kini untuk juga mau meninjau ulang, mengkritisi atau bahkan merevisi apa yang telah ditetapkan ulama Muhammadiyah dulu dalam HPT. Seperti diketahui, memang bahwa ketika dirumuskannya HPT dulu, sarana dan juga pra-sarana pendukung masih sangat terbatas. Untuk mengakses banyak kitab saja sangatlah sulit, tidak seperti sekarang. Maka dapat dimaklumi manakala terdapat beberapa sedikit kekurangan di sana-sini.

Muhammadiyah sebagai organisasi modern yang menyadari akan hal ini dan berkeyakinan bahwa ijtihad masih tetap terbuka, tentu tidak akan berdiam diri ketika terdapat ijitihad dari ulama Muhammadiyah dulu dalam HPT yang sekiranya kurang sesuai dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah.

Buku ini bisa menjadi panduan dalam langkah awal untuk mengoreksi bersama apa yang telah ditetapkan dalam HPT, yang mungkin kurang sejalan dengan fakta-fakta keilmuan. Misalnya saja, Dr. Kasman dalam bagian akhir buku ini memberikan saran untuk merumuskan kembali penjelasan tentang kaidah Muhammadiyah yang hanya berhujah dengan hadits mutawatir dalam persoalan akidah. Selain itu, menurutnya, Muhammadiyah juga perlu merumuskan kembali penjelasan tentang kriteria hadits mauquf yang dihukumi marfu’, kriteria ijma’ shahabi, kriteria qarinah yang dapat digunakan untuk menyambung sanad hadits mursal, dan kriteria tadlis (penyembunyian cacat) yang dapat mencederai keadilan seorang mudallis.

Secara keseluruhan, buku ini meskipun mengkritisi sebuah kitab (buku) yang dianggap sangat istimewa dan otoritatif oleh sebagian orang Muhammadiyah, namun keberadaannya patut disambut baik. Selain karena keobyektifan si penulis dalam bersikap kritis, juga karena buku ini ditulis oleh orang yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Mejelis Tarjih dan Muhammadiyah itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Prof. Zainul Arifin, guru besar hadits dan ilmu haditspada IAIN Sunan Ampel Surabaya ketika memberikan kata pengatar untuk buku ini, “Kelebihan dari karya tulis ini tidak hanya ditulis oleh seorang yang banyak bergelut dengan kajian hadits dan ilmu hadits, tetapi juga karena dilakukan oleh seorang yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Majelis Tarjih dan Muhammadiyah itu sendiri dengan tetap menjaga nalar kritisnya”.



Judul Buku     : Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah
Penulis            : Dr. Kasman
Penerbit         : Mitra Pustaka
Hal                  : 426 + xxii
Tahun             : 2012


* Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta

Kamis, 14 Februari 2013

Di Balik Sebuah Nama




Terlahir dengan nama Niki Alma Febriana Fauzi adalah salah satu takdir yang ada padaku. Tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya ketika aku masih di rahim ibu akan mendapatkan nama seperti ini. Sebuah nama yang bisa dibilang cukup panjang untuk ukuran nama orang Indonesia. Maklum, ketika aku belum lahir ke dunia, kedua orang tuaku begitu mendambakan seorang anak berjenis kelamin laki-laki; kedua kakakku semuanya perempuan. Mungkin dibuatkannya nama sepanjang ini adalah salah satu bentuk rasa syukur dan kepuasan tersendiri dari mereka. Selintas namaku ini memang agak kebarat-baratan (bila kata “Niki” tertulis “Nicky”), namun juga agak kejawa-jawaan (“Niki” dalam bahasa Jawa artinya adalah “ini”).  Tidak hanya itu, cita rasa Arabian juga cukup terasa dengan adanya kata “Alma” dan “Fauzi”, yang keduanya secara berurutan berarti “air” dan “keberuntungan”. Kata “Febriana” mungkin yang paling tidak bercorak kebarat-baratan, kejawa-jawaan atau kearab-araban. Ya, karena kata ini terambil dari sebuah nama bulan, yaitu Februari. Kata ibuku, agar dia tidak lupa pada bulan apa anak laki-laki pertamanya lahir.

Kadang aku berpikir mengapa orang tuaku menamaiku dengan nama seperti ini. Apa ada makna di baliknya? Pernah kutanyakan, tapi selalu tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Konon, sebagian namaku adalah pemberian dari seseorang yang masih saudara dengan orang tuaku. Sebut saja namanya Aying. Dari Aying inilah sebagian namaku berasal. Dua kata pertama (Niki dan Alma) adalah darinya, dan dua yang lain dari orang tuaku. Dan kebetulan juga (namun sesugguhnya Allah telah merencanakan) nama “Alma” adalah nama yang sering orang-orang gunakan untuk memanggilku. Secara arti Indonesia bila namaku diterjemahkan maka kurang lebih ialah “ini - air - bulan Februari - keberuntungan”. Terjemahan yang tidak cukup membantu menggali makna di balik sebuah nama yang panjang. Kubiarkan terus-menerus kebingungan ini, sampai pada saatnya banyak orang yang mengira namaku adalah nama perempuan, bukan laki-laki. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Kebingunan dan rasa agak kesal karena ketidakjelasanan makna namaku sendiri semakin menjadi-jadi. Mangapa tidak jelas begini? Jadi dikira perempuan lagi? Sampai pada akhirnya ketika aku duduk di kelas tiga ‘Aliyah (sederajat 3 SMA), ada seorang guruku yang bercerita tentang keistimewaan air. Air adalah sebuah senyawa yang paling mandiri di dunia ini, katanya. Dia adalah senyawa independen yang mampu bertahan di dunia walaupun tidak ada senyawa-senyawa yang lain. Dia adalah senyawa yang paling dibutuhkan oleh siapapun; manusia, tumbuhan, binatang. Bayangkan bila di dunia ini tidak ada air! Manusia, tumbuhan, binatang dan siapa saja (secara normal) tidak akan bisa bertahan hidup. Manusia mungkin bisa bertahan tidak makan berhari-hari, tapi coba suruh manusia untuk tidak minum barang sehari. Mendengar penjelasan dari guruku itu, kebingungan akan makna namaku sendiri sedikit demi sedikit luntur dan berubah menjadi partikel-partikel yang menggumpal mewujud rasa terimakasih dan syukur kepada orang yang telah memberiku nama ini. Benar-benar luar biasa! Apa yang dijelaskan oleh guruku itu ternyata juga telah mendapat legitimasi dari ayat suci al-Qur’an, firman Allah yang tidak perlu diragukan lagi kebenaran dan keotentikannya. Sebuah potongan ayat pada surat al-Anbiya ayat 30 menjadi saksi begitu istimewanya satu makhluk Allah yang bernama air, “... Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ...”. Bukan hanya satu, dua atau tiga tapi Allah mengatakan segala sesuatu. Subhanallah!

Dari sinilah rasa kebingunanku berubah menjadi rasa syukur dan terima kasih tiada tara kepada kedua orang tua dan orang yang telah menyumbang nama untukku. Mungkin inilah maksud mereka para manusia luar biasa itu memberi nama bagiku, Niki Alma Febriana Fauzi. Dengan harapan agar aku bisa menjadi orang yang benar-benar luar biasa seperti yang terkandung dalam makna air.

Saudara-saudaraku tercinta, mulai sekarang jangan pernah berprasangka buruk dengan nama kita sendiri. Orang tua atau siapapun yang telah memberi nama kita, pasti punya harapan dan tujuan mulia. Tetap semangat dan bersyukur dengan apa yang ada pada diri kita.








Kaliurang, 12 Februari 2013.

Rabu, 02 Januari 2013

Menjadi Pemimpin yang dicintai Rakyat



Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Seorang pemimpin di setiap elemen kehidupan merupakan sosok krusial (penentu) yang paling urgent keberadannya. Ia bisa diibaratkan seperti nahkoda kapal yang harus siap-siaga dalam setiap pelayaran guna bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan seisi kapal. Mulai dari lingkup kecil, sosok ayah sebagai tulang puggung rumah tangga adalah pemimpin bagi setiap anggota keluarganya. Sementara di lingkup yang lebih besar (masyarakat), sosok lurah, bupati, gubernur dan juga presiden atau pemimpin negara merupakan sosok-sosok yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan para rakyatnya.

Menjadi sosok pemimpin yang dicintai anggotanya (baca: rakyat) adalah mimpi dan harapan besar dari setiap pemimpin. Hal ini dapat dimengerti karena salah satu parameter sederahana yang dapat digunakan untuk mengukur seorang pemimpin itu sukses atau tidak adalah dengan melihat respon serta kecintaan masyarakat kepadanya. Bila respon masyarakat kepadanya baik, maka bisa dipastikan pemimpin itu telah sukses dalam mengayomi para anggotanya. Namun sebaliknya, bila respon masyarakat kepadanya buruk, maka besar kemungkinan bahwa ia telah gagal dalam melaksanakan amanah sebagai pemimpin rakyat.Islam sebagai ‘pemimpin’ dan penyempurna bagi agama-agama sebelumnya, dalam sejarahnya telah mampu melahirkan sosok-sosok pemimpin yang dicintai rakyat. Contoh paling masyhur dan nyata adalah Nabi Muhammad saw, yang selain menjadi Rasul (utusan) juga menjadi pemimpin negara kala itu. Islam, melalui ‘tangan emas’ Rasulullah mampu mensejahterakan bahkan mengayomi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang ras, suku bahkan agama. Rasulullah tidak hanya dicintai kaum muslimin, tapi lebih dari itu orang-orang non-muslim juga merasa mendapatkan perlindungan serta pengayoman di bawah payung kepemimpinannya.

Sosok pemimpin seperti inilah yang senantiasa dirindukan kehadirannya oleh umat. Sosok pemimpin yang bertanggung jawab, adil, jujur, tidak otoriter, berpihak kepada yang lemah dan merakyat. Meskipun sekarang Rasulullah telah tiada, namun paling tidak spirit kepemimpinan beliau dapat terus terwariskan ke dalam setiap diri pemimpin yang benar-benar berusaha meneladaninya. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan beberapa hadis tentang pemimpin dan kepemimpinan serta kriteria-kriteria pemimpin yang dicintai rakyat.

Menumbuhkan kesadaran kepemimpinan dalam diri

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Dari Abdullah (Ibn Umar) ra (berkata), Rasulullah saw bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya (kepada anaknya). Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Ketahuilah, kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertang jawaban) dari hal yang dipimpinnya.”

Hadis yang dibawa Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya (vol. 3, no. 2554, no. 2409, no. 2558, vol. 4, no. 2751, vol. 7, no. 5188, no. 5200) dengan beberapa varian matan yang berbeda, namun dengan subtansi yang tetap sama. Selain itu, hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (vol. 3, no. 1829), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 4, no. 3890), Malik dalam al-Muwatha’ (no. 991), Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. 3, no. 2930), al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. 4, no. 1705), al-Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 4881, no. 6975), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya(vol. 10. No. 4489, no. 4490, no 4491) dan beberapa mukharrij lainnya dalam karya-karya mereka. Hadis ini tidak perlu diragukan lagi keotentikannya, karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang terkenal ketat dalam meriwayatkan hadis serta beberapa imam lainnya.

Satu pesan besar dari hadis ini adalah spirit tanggung jawab. Siapapun dia dan apapun profesinya, pada hakikatnya ia adalah pemimpin. Pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Seorang suami akan ditanya tentang kepemimpinannya terhadap keluarga. Seorang istri akan ditanya tentang tugasnya dalam rumah tangga. Seorang penuntut ilmu akan ditanya tentang ilmu yang ia dapatkan. Seorang pemimpin negara juga akan ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap rakyat yang dipimpinnya. Tanggung jawab dalam hal ini tidak semata-mata bermakna melaksanakan tugas saja, kemudian setelah itu tidak memberikan dampak apapun bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih kepada upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpinnya. Dengan menyadari bahwa setiap individu pada dasarnya adalah pemimpin (minimal bagi dirinya sendiri), niscaya akan tumbuh rasa tanggung jawab atas apa yang diamanahkan kepadanya.  Jika setiap orang telah tahu dan sadar bahwa apa yang ada padanya hanyalah titipan dan amanah, maka tentu ia akan berhati-hati dalam mengelola dan menggunakannya.

Pemimpin yang jujur

عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ 

Artinya: “Dari al-Hasan, ia berkata, ‘Ubaidullah ibn Ziyad mengunjungi Ma’qil ibn Yasar  yang sedang sakaratul maut. Kemudian Ma’qil berkata: aku akan memberitahumu sebuah hadis yang aku dengar langsung dari Rasulullah saw. Seandainya aku tahu kalau aku masih bisa hidup (setelah ini), maka aku tidak akan menceritkan ini kepadamu. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat  kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya (vol. 9, no. 7150), Muslim dalam Shahih-nya (vol. , no. 142), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (vol. 10, no. 4495), al-Darimi dalam Sunan-nya (vol. 2, no. 2796), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (vol. 9, no. 18359) dan Syu’ab al-Iman (vol. 6, no. 6976), dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (vol. 20, no. 474).

Hadis di atas merupakan ancaman besar bagi para pemimpin yang tidak jujur. Para pemimpin yang senantiasa menipu rakyat demi keuntungan pribadi dan juga kelompoknya. Mereka yang tanpa merasa salah berbuat tidak jujur kepada rakyat ini diancam oleh Allah dengan haramnya surga. Bentuk keharaman ini menurut al-Manawi ialah dengan cara menundanya masuk surga (Al-Manawi, Faid al-Qadir, vol. 5, hal. 623). Begitu besar ancaman yang diberikan Allah kepada para pemimpin yang suka menipu rakyat, mengindikasikan betapa pentingnya kejujuran harus selalu ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jujur adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang jujur adalah ia yang dapat mengemban amanah tanpa harus takut bila suatu ketika rakyat yang dipimpinnya menuntut sikap transparansi tentang apa yang telah ia lakukan. Lebih jauh lagi, rasa kejujuran yang dimiliki oleh seorang pemimpin juga harus mampu menjadi stimulus bagi para ‘bawahan’nya untuk turut melestarikan kejujuran di tengah roda pemerintahan.

Memudahkan urusan dan menjadi pelayan rakyat

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ أُخْبِرُكَ بِمَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ


Artinya: “Dari Abdurrahman bin Syamamah, ia berkata: aku mendatangi Aisyah istri Rasulullah saw untuk bertanya tentang sesuatu hal. Ia lantas berkata: aku akan memberitahumu tentang suatu berita yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw, bahwasanya ia pernah bersabda di rumahku ini: Ya Allah, siapa saja yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar urusan mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (vol. 3, no. 1828), Ibnu Hibban (vol. 2, no. 553), al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (vol. 9, no. 9449), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (vol. 10, no. 20970), Abu ‘Awwanah dalam Musnad-nya (vol. 4, no. 7023), dan Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 41, no. 24622).

Hadis ini menjelaskan tentang larangan bagi pemimpin yang suka mempersulit urusan rakyat (birokratis). Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj memberikan sebuah penjelasan terkait hadis ini. Menurut beliau ada dua pesan yang terkandung dalam hadis dari Aisyah di atas. Beliau mengatakan bahwa hadis tersebut di satu sisi menunjukan larangan keras mempersukar urusan rakyat dan di sisi yang lain memberikan sebuah petunjuk tentang pentingnya berlemah lembut pada rakyat (dengan cara mempermudah urusannya) (Al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, vol. 12, hal. 212).

Sikap birokrat yang ditampilkan oleh para pemimpin kepada rakyatnya bisa jadi disebabkan oleh paradigma mereka yang masih menganggap bahwa pemimpin adalah penguasa. Paradigma seperti ini sesungguhnya adalah paradigma yang salah besar, karena pada hakikatnya seorang pemimpin sesungguhnya adalah pelayan bagi rakyatnya (Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, hal. 46). Pelayan dalam artian siap dan harus melayani hajat kebutuhan masyarakat umum tanpa terkecuali. Tidak membedakan dan memilah mana yang kaya dan mana yang miskin, mana yang termasuk kelompoknya dan mana yang bukan kelompoknya, mana yang masih saudara dan mana yang orang biasa. Petunjuk dari Rasulullah saw bahwa seorang pemimpin adalah pelayan yang harus melayani kebutuhan masyarakat terekam dalam sebuah hadis di bawah ini,

أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الأَزْدِىَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلاَنٍ. وَهِىَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَنْ وَلاَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمُ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ .قَالَ فَجَعَلَ رَجُلاً عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ.

Artinya: “Bahwasanya Abu Maryam al-Azdi telah mengabarkan kepadanya, ia berkata: aku menemui Mu’awiyah, kemudian ia berkata: kenikmatan apakah yang diberikan kepada kami melaluimu wahai Abu fulan? Hal itu merupakan perkataan yang biasa diucapkan orang-orang Arab, kemudian aku katakan sebuah hadis yang aku dengar, aku akan mengabarkan kepadamu, aku telah mendegar Rasulullah saw bersabda: barangsiapa yang Allah ‘Azza wa Jalla serahkan kepadanya sebagian urusan orang muslim kemudian ia menutup diri dari melayani kebutuhan mereka dan keperluan mereka, maka Allah akan menutup diri darinya dan tidak melayani kebutuhannya serta keperluannnya.” Abu Maryam berkata: kemudian Mu’awiyah menjadikan seseorang untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan manusia.”

Hadis ini terekam dalam Sunan Abi Dawud (vol. 3, 2950) karya Abu Dawud, al-Sunan al-Kubra (vol. 10, no. 20755) dan Syu’ab al-Iman (vol. 9, no. 7000) yang keduanya karya al-Baihaqi. Hadis ini shahih menurut penilaian Nashirudddin al-Albani seperti yang ia tertulis dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud (no. 2948).

Hadis di atas dengan sangat jelas menerangkan tugas pemimpin sebagai pelayan rakyat, sekaligus ancaman bagi mereka yang tidak mau mengabdikan diri pada masyarakat. Dari kesadaran paradigma baru bahwa seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyat, diharapkan sosok-sosok pemimpin yang diamanahi tanggung jawab besar untuk dapat mengayomi masyarakat bisa lebih responsif, sehingga ia mampu mengenali kebutuhan masyarakat dan melayani mereka dengan ikhlas dan sebaik-baiknya.

Pemimpin harus adil dan tidak otoriter

Krisis keadilan adalah salah satu krisis bangsa kita saat ini. Banyak sekali orang-orang yang mempunyai uang dapat memperoleh bahkan ‘membeli’ keadilan dengan mudah. Tidak hanya itu, mereka yang beruang juga berkesempatan jauh lebih besar untuk mendapatkan peluang-peluang administratif seperti menjadi pagawai dan sebagainya. Sebaliknya bagi orang-orang orang yang tidak memiliki uang, keadilan dan peluang administratif buat mereka sangat mahal dan sulit (Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam..., hal. 40).

Dari realita seperti itu, dapatlah kita definisikan secara sederhana bahwa pemimpin yang adil adalah pemimpin yang tidak membeda-bedakan rakyatnya. Ia tidak membedakan antara si kaya dan si miskin; semuanya mendapatkan haknya masing-masing secara proporsional. Bagi siapa saja pemimpin yang bersikap adil, Allah menjanjikan baginya pahala yang begitu besar, yaitu akan dinaunginya ia oleh Allah pada hari kiamat. Sebagaimana tertuang dalam hadis yang cukup masyhur di bawah ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ.... 

Artinya: “Dari Abu Hurairah, (ia) dari Nabi saw bersabda: “tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat, di mana pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan allah; yaitu imam (pemimpin) yang adil ....”.

Hadis ini diriwayatkan oleh banyak mukharrij, di antaranya Bukhari dalam Shahih-nya (vol. 1, no. 660, vol. 2, no. 1423, dan vol. 8, no. 6806), Muslim dalam Shahih-nnya (vol. 2. No. 1031), Ahmad dalam Musnad-nya (vol. 15, no. 9665), Malik dalam al-Muwaththa’ (vol. 5, no. 3505), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (vol.10, no. 4486), al-Baihaqi dalam al-Sunan-al-Kubra (vol. 2, no. 545).

Selain harus adil, seorang pemimpin juga tidak boleh otoriter. Keotoriteran seorang pemimpin inilah yang membuat ia tidak disenangi dan dicintai rakyat. Bahkan menurut Rasulullah seorang pemimpin yang otoriter merupakan sosok pemimpin yang paling buruk,

إنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أنْ تَكُونَ مِنْهُمْ .... 

Artinya: “Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin (pemerintah) adalah yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong dari mereka.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (vol. 3, no. 1830), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (vol. 10, no. 4511), Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (vol. 8, no. 17083), Abu ‘Awwanah dalam Musnad-nya (vol. 4, no. 7050).

Hadis ini merupakan sindirin bagi para pemimpin yang otoriter dan cenderung tidak mau mendengar aspirasi rakyat. Para pemimpin yang selalu bertindak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan, tanpa memikirkan baik-buruknya bagi yang dipimpin. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa para pemimpin (pemerintah) yang otoriter adalah para pemimpin yang kejam dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, tidak mengayomi orang-orang yang dipimpinnya, bahkan satu sama lain saling bersaing (untuk mendapat kekuasaan) dengan cara yang tidak elok dan sehat (Al-Nawawi, al-Minhaj ..., vol. 12, hal. 216).

Demikianlah beberapa hadis yang membicarakan tentang kepemimpinan dan kriteria pemimpin yang dirindukan umat saat ini. Dengan kriteria seperti itu, niscaya siapapun yang menjadi pemimpin, rakyat akan mencintainya setulus hati. Sosok pemimpin seperti itulah yang diharapkan dapat mengentaskan bangsa ini dari berbagai macam krisis yang semakin melilitnya. Krisis kepemimpinan, keadilan, tanggung jawab dan kejujuran adalah serentetan krisis yang terangkai dalam sebuah label “krisis multidimensional bangsa”. Inilah pekerjaan rumah yang cukup berat bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Namun, seberat apapun itu, bila ada kemauan dan kesadaran dalam pribadi kita masing-masing untuk memperbaiki dan menambal krisis-krisis tersebut, maka niscaya lambat laun bangsa kita akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Wallohu A’lam bi al-Shawab.

{Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah no. 1 dan 2, (1-15 dan 16-31 Januari) tahun 2013}

*Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan dan mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah  Yogyakarta